"Nduk...."
Suara Ayah Sukma menyapa putrinya dengan tangan kekar tapi lembut menepak bahu Sukma. Sukma masih sesegukan sambil kedua lututnya menopang wajahnya yang tenggelam dalam duka kesedihan. Derai air mata di pipinya, terus bergulir. Tetes bening itu tidak saja hangat, tetapi juga harum. Aneh! Seharum parfum yang biasa digunakan Savitri, Ibunda Sukma. Wewangian lembut itu semakin meyakinkan Sukma bahwa ibunya masih ada. Masih hidup.
"Sukma, putriku sayang. Bangunlah, Nak."
"Mari kita pergi. Tinggalkan tempat ini. Saatnya kita kembali bersama-sama lagi. Seperti waktu di rumah kita dulu...Kami rindu kamu, Nduk."
Kalimat mengajak pergi begitu terdengar lembut dan manis dari mulut keibuan Savitri. Kini Sukma berada dalam rangkulan ibundanya. Setengah badan Savitri berada dalam rangkulan tubuh Sukma yang belum juga menoleh kepada kedua orangtuanya.
Sementara ruang isolasi tempat Sukma dirawat, semakin sunyi. Tidak nampak lagi aktifitas para perawat maupun petugas kebersihan.
Suara titik air jatuh dari mesin AC ke dalam sebuah ember yang letaknya tidak jauh dari kepala Sukma, bunyinya paling jelas terdengar dalam suasana hening tanpa kata itu.
Ketiga ibu anak dan bapak ini masih membisu. Menerawang dengan pikiran masing-masing. Semua kenangan indah di rumah mereka dulu kembali berputar. Sukma larut dalam nostalgia masa kecil. Sukma tersenyum gembira saat teringat bagaimana ibunya yang jelita itu mengejarnya memutari meja makan. Savitri mengejar Sukma yang mengambil roti bagian ayahnya. Sukma terus berlari meledek ibunya. Melihat kejadian berlari-larian Ibu dan Anak ini, Pak Danang ikut terkekeh sambil menurunkan kacamatanya, dengan kedua tangan dalam posisi memegang koran pagi.
Tiba-tiba...
PRAAAAANNNNGGG
Suara jendela kaca kamar isolasi Sukma pecah. Mengejutkan ketiga manusia yang masih asyik dengan lamunan nostalgia keluarga bahagia. Serempak ketiganya menoleh ke arah jendela. Terkejut menyaksikan dua wajah yang selama ini terus mengganggu mereka.