"Ayo lariiiiiiiiii......," teriak Pak Danang sambil meraih tangan anak dan istrinya.
Sukma sempat terjungkal dari atas pembaringannya. Baju Savitri tersangkut di ujung pengait tempat tidur. Tergopoh-gopoh mereka berusaha saling menolong.
"Mari cepat, Nak. Kita tinggalkan tempat ini!"
Kedua tangan Pak Danang menghalau anak dan istrinya menuju arah pintu kamar. Mereka berhasil hingga mencapai pintu utama. Sepi. Tidak ada barang seorang petugas pun.Â
Pak Danang memutar gagang pintu. Namun pintu itu tidak bisa dibuka. Terkunci!. Sukma berlari menuju laci meja petugas pencatat tamu yang letaknya tidak jauh dari pintu. Nihil! Tak ada sebuah kunci pun. Keringat mulai bercucuran di wajah Sukma. Savitri berulang kali menoleh ke arah dalam lorong Rumaha Sakit. Kalau-kalau kedua wajah tadi mengikuti mereka. Sementara Pak Danang terus mengguncang-guncang pegangan pintu, berharap bisa terbuka.Â
Melihat Pak Danang belum berhasil membuka pintu, Savitri melihat bahwa ada selot grendel pintu di bagian atas dan bawah pintu. Ia berlari dan langsung menarik kedua grendel tersebut. Pintu bisa dibuka. Ya....pintu terbuka!
BHAAAAAAAAAAAAA
Suara mengejutkan datang dari teriakan dua kepala yang tadi masuk lewat kaca jendela yang dipecahkan di ruang perawatan Sukma. Itulah kepala Mbok Minah dan Pak Sadikin! Mereka sudah menunggu keluarga ini di luar pintu.
Kedua mahluk yang bentuk tubuhnya sudah tidak jelas itu, kecuali wajahnya bagai hantu blau yang menjijikan namun masih mudah dikenali bahwa mereka adalah Mbok Minah dan Pak Sadikin, tertawa keras terbahak-bahak. Mereka puas akhirnya bisa menangkap Danang, Savitri dan Sukma sekaligus. Mereka adalah orang-orang yang membuat dendam Mbok Minah dan Pak Sadikin tidak bisa pupus hingga ke alam lain. Kini mereka sudah berkumpul berlima.
"Mau kemana kalin, ha?!" tanya Mbok Minah menyeringai dan dengan suara serak.
"Masih kah Kalian tidak mau juga memenuhi permintaan Kami?" tanya Pak Sadikin dengan kaki menghantam bumi.