“Ucapan kasar juga merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga. Bila kau tidak tahan dan ingin bercerai, itu hakmu Winda. Namun pikirkan tentang putrimu. Kau pernah merasakan sakitnya perceraian, bukan?” ujar bu Hikmah.
Winda menghela napas. Ya, bagaimanapun kata-kata kasar hanya diucapkan Didy padanya, tidak pada putri mereka. Hatinya bimbang, pikirannya kusut.
“Dia sedang terpuruk karena kehilangan pekerjaan. Mungkin ia ingin menunjukkan kepemimpinannya di rumah tangga kalian,” kata bu Hikmah. Ia berharap kebaikan bagi rumah tangga perempuan yang sudah dia anggap adik itu.
“Kalau kau ingin mempertahankan rumah tanggamu, jangan membantah perkataan suami. Cobalah untuk lebih bersikap romantis, minta dipeluk misalnya.” Bu Hikmah menekankan pada kata romantis, karena ia tahu Winda adalah perempuan mandiri yang tidak terbiasa bermanja-manja pada suami.
“Semoga dengan bersikap sedikit manja dan romantis akan melembutkan hati suamimu.”
Winda mendelik. Ia tidak terbiasa bersikap romantis. Bagaimana mungkin tiba-tiba bersikap romantis saat sang suami sering mengucapkan kata-kata kasar? Ia pun tidak tahan untuk tidak membalas bila sang suami menghinanya dengan nama binatang.
“Sentuhan antara suami istri dapat memadamkan amarah dan menumbuhkan cinta,” kata bu Hikmah lagi.
“Aku tidak bisa bersikap romantis, bukan tipikalku. Lagi pula, rasanya cintaku padanya sudah hilang.”
“Menikah bukan sekedar soal cinta, tetapi komitmen di hadapan Ilahi. Komitmen untuk bersabar dan menumbuhkan kembali benih cinta.” Bu hikmah melanjutkan nasihatnya.
“Sulit bagiku mencintainya lagi, Bu, sementara tiap hari keluar hinaan dari mulutnya,” balas Winda.
“Ya, itu pilihanmu, mau mempertahankan pernikahan, atau tidak.” Bu Hikmah berkata sambil menghela napas.