Mohon tunggu...
rita haryanti
rita haryanti Mohon Tunggu... Dokter - Penulis adalah seorang ibu rumah tangga dan bekerja sebagai dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (SpKFR) di sebuah rumah sakit di Bekasi.

Penulis adalah ibu rumah tangga yang bekerja sebagai dokter dan senang dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasa Hati

19 Mei 2023   09:46 Diperbarui: 24 Mei 2023   06:12 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Tahun berganti, pernikahan Winda dan Didy mulai mengalami pasang surut oleh permasalahan rumah tangga. Sebenarnya masalah yang mereka hadapi sering kali sepele. Semua bermuara pada komunikasi suami istri yang kurang mereka kuasai.

Sifat asli Didy yang keras dan mau menang sendiri pun mulai terlihat. Ia juga kerap kali melontarkan sindiran sinis atau bahkan kata-kata kasar bila ada hal yang tidak disukainya.

Winda yang dididik untuk selalu santun tidak bisa menerima kelakuan buruk suaminya. Ia pun acap kali membalas perkataan kasar  itu. Suasana rumah menjadi memanas.

Terlebih setelah ibunda Winda meninggal dunia, tidak ada lagi yang menjadi penengah dan menasehati Winda untuk bersabar.

Puncaknya, di tahun ke sepuluh pernikahan mereka, Didy mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK) dari kantor karena adanya pandemi. Didy sangat terpukul. Harga dirinya sebagai seorang suami seakan runtuh.

Namun Didy tidak tinggal diam. Ia pun kemudian bekerja sebagai sopir ojeg daring. Penghasilannya masih jauh di bawah penghasilan sang istri. Winda menjadi tulang punggung utama keluarga.

Bukan berterima kasih pada sang istri, Didy menjadi semakin sering marah-marah. Di matanya, apa yang dilakukan Winda tampak tidak memuaskan.  Kata-kata kasar pun semakin sering terucap dari bibirnya.

“Saya sudah tidak tahan, Bu,” keluh Winda pada Bu Hikmah, guru agama di sekolah tempat Winda mengajar.

“Bersabarlah, jangan balas dengan ucapan kasar, lebih baik diam, pergi menjauh,” saran bu Hikmah.

“Sampai kapan harus bersabar?” tanya Winda. Air matanya mulai menetes.

“ Lelaki tidak tahu berterima kasih. Rumah pun dia tidak punya, hanya menumpang di rumah pemberian ibuku. Penghasilanku lebih besar darinya, tetapi ucapannya selalu kasar.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun