Mohon tunggu...
Riswandi
Riswandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menyemai Kisah, Menuai Hikmah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembunuh Rasa

1 Juni 2013   16:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:41 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Oh, ya, Mas, bukanya nanti saja di rumah ya,” ucap Marni dengan suara terisak, sambil membalikkan badannya.

Aku tak sempat mengucapkan salam perpisahan waktu itu. Aku masih tak percaya akan berpisah dengan sahabat sebaik dia, sahabat secantik dia, sahabat yang mau menerima aku apa adanya di saat yang lain menjauh. Hari itu aku pulang dengan kehampaan. Aku melangkahkan kaki dengan gontai, dan pikiranku melayang entah ke mana.

Sesampainya di kamar kos, tanpa berganti pakaian terlebih dahulu, aku merebahkan diri di kasur. Lalu kusambar undangan yang diberikan Marni. Saat undangan itu kubuka, sebuah kertas yang dilipat rapi jatuh ke atas dadaku. Kuambil kertas itu dan meletakkan undangan yang belum sempat kubaca di samping badanku. Ternyata itu sebuah surat yang ditulis Marni, sebab aku tahu betul bagaimana bentuk tulisannya.

Mas Risye, “sahabatku” yang paling baik.

“Hm… kenapa Marni menuliskan kata sahabat dengan tanda kutip?” batinku bertanya, “apakah sebenarnya ia tidak menganggapku sahabat?”

Maaf… maaf… dan maafkan sahabatmu ini.

Mas Risye, ingatkah kamu akan ucapanku bahwa aku ingin punya suami seperti dirimu? Terus terang, beberapa waktu setelah aku mengenalmu, aku merasa menemukan sosok lelaki yang sifatnya mirip bapakku, yang telah meninggalkan keluargaku sejak lama. Kamu tahu bukan, kalau aku mencari sosok seperti itu? Dan, itu ada pada dirimu Mas.

Mas, aku tahu kamu begitu tulus menerimaku sebagai seorang sahabat, hingga kamu tak bisa menangkap maksud hati ini yang sebenarnya. Kamu begitu polos dan lugu yang membuatmu tak pernah berburuk sangka kepadaku. Kamu menganggap apa yang aku lakukan selama ini hanya sebatas sahabat. Padahal, Mas, aku ingin lebih dari itu. Aku merasa tenang saat bicara denganmu. Aku merasa nyaman saat curhat denganmu. Ya, benar, Mas, sungguh aku ingin menjadikanmu sebagai suamiku.

Namun, sinyal-sinyal yang kuberikan padamu tak pernah kamu tangkap. Masih ingat saat aku datang ke kosmu ketika Maghrib dan memintamu mengimami aku sholat? Padahal kamu tahu, aku belum pernah sekalipun main ke kos cowok. Saat itu aku sedang meyakinkan diri bahwa kamu memang pantas menjadi imamku. Dan, ternyata pilihanku tidak salah. Aku semakin yakin bahwa kamu cocok menjadi imamku.

Sayangnya, kamu memiliki jiwa yang kerdil. Aku tahu kamu minder dekat denganku. Aku tahu kamu tidak percaya diri dengan keadaan dirimu. Bukankah itu yang membuatmu tidak mau mengakui bahwa kamu sebenarnya mencintaiku? Bukankah itu yang membuatmu membunuh rasa di hatimu?

Mas, kita sudah lama bersahabat. Aku sudah mengenalmu dengan baik. Sayangnya kamu tidak bisa mengenali suara jiwaku. Aku wanita, Mas. Bukankah tidak etis jika aku yang menyatakan cinta terlebih dahulu? Sudah lama aku menunggumu bisa menerjemahkan bahasa-bahasa tubuh yang aku ungkapkan padamu. Hingga aku merasa jenuh. Kamu tetap saja hanya menganggap diriku sebagai sahabatmu. Tidak lebih dari itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun