Aku hanya bisa menghela napas. “Entahlah, Mar. Aku sendiri tidak tahu. Aku merasa tidak pantas lagi menjadi sahabatmu. Aku lihat kamu sudah menemukan sahabat baru yang selevel denganmu. Paling tidak, itulah yang aku rasakan melihat keakrabanmu dengan supervisor lainnya.” Aku memang sering melihat Marni bercanda dengan supervisor lainnya.
“Sebenarnya aku tidak ingin seperti itu Mas. Aku merasa lebih bahagia ketika kita masih dekat. Aku merasa tenang dan lepas dari masalah setelah curhat denganmu, karena kamu dengan antusias mau mendengarkan curhatanku. Itu tidak aku dapati dari mereka, Mas.”
“Bukankah kamu dapat curhat dengan sahabat-sahabat barumu?”
“Ah, bagiku mereka bukan sahabat, Mas. Mereka kuanggap sebagai teman biasa. Aku tidak bisa curhat dengan mereka. Beberapa kali aku coba curhat dengan mereka, tapi mereka lebih ingin didengarkan, daripada mendengarkan. Ketika aku minta saran, mereka memberikannya dengan cara mengguruiku. Mereka tidak seperti kamu yang mau mendengarkanku setiap aku berkeluh kesah, yang memberikan saran tanpa kesan menggurui. Itu yang tidak aku dapatkan dari mereka. Aku merasa kehilanganmu beberapa bulan terakhir ini, Mas.”
Kembali kami terdiam beberapa saat.
“Mar… Aku juga merasa kehilanganmu. Kehilangan hari-hari ceria bersamamu. Kehilangan seorang sahabat yang telah menumbuhkan kepercayaan diriku. Kamu yang mau bersahabat dengan orang sepertiku, yang secara fisik dan kecerdasan tidak tidak pantas bersahabat denganmu. Terus terang, aku memang merasa ada jarak di antara kita sejak kamu diangkat menjadi supervisor. Entah apa sebabnya. Mungkin karena aku merasa iri denganmu. Atau karena aku merasa tidak PD untuk tetap menjadi sahabatmu. Mungkin perasaan itu yang membuatku beranggapan bahwa kamu tidak lagi mau bersahabat denganku, dan kamu menjauhiku.”
“Aku juga merasa kalau kamu tidak sudi lagi bersahabat denganku, karena kini kamu sudah dekat dengan Sisi. Apa kamu tahu Mas, setiap aku melihatmu bercanda dengan Sisi, aku merasa tersingkir. Mungkin kamu tidak menyadari jika aku merasa cemburu dengan kedekatanmu dengan Sisi. Seringkali setiap aku ingin mengobrol dan curhat denganmu, kamu justru sedang bercanda dengan Sisi. Ini membuatku merasa terpinggirkan. Sebagai seorang sahabat,” kata Marni dengan kata lirih saat mengucapkan kalimat terakhir.
“Yah… sepertinya kita telah salah paham. Salah paham karena kita terlalu mendengarkan kata hati kita sendiri, tanpa mau bertanya satu sama lain. Maafkan aku Mar.”
“Aku juga minta maaf Mas. Aku juga salah.”
Kekakuan di antara kami malam itu hilang. Aku dan Marni kemudian terlibat dalam obrolan panjang. Mengenang cerita-cerita lucu saat menghabiskan waktu bersama. Curhat tentang kesepian yang dirasakan saat kami jauh, tentang pria-pria yang berusaha mendekatinya dan ia hindari, dan sebagainya. Sepulang dari kos Marni aku merasa beban di pikiranku berkurang.
Namun, tetap saja kejadian malam itu tidak bisa membuat hubunganku dengan Marni kembali seperti semula. Aku melihat masih ada sesuatu yang disembunyikannya dariku. Entah apa, aku tak tahu. Di kantor kami terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Aku masih sering bercanda dengan Sisi, dan Marni pun terlihat semakin akrab dengan salah seorang supervisor. Ah, mengharapkan Marni seperti dulu sama saja dengan mengharapkan rembulan di tangan.