Pengangguran adalah suatu keadaan di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai penganggur. Pengangguran dapat terjadi disebabkan oleh tidakseimbangan pada pasar tenaga kerja. Hal ini menunjukkan jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebihi jumlah tenaga kerja yang diminta (Mankiw, 2013).Â
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam indikator ketenagakerjaan, pengangguran merupakan penduduk yang tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja (Sukirno, 2013).Â
Salah satu kekhawatiran utama saat membahas ekonomi Indonesia selalu adalah pengangguran. Pemerintah telah bekerja keras untuk menurunkan tingkat pengangguran melalui sejumlah program, namun masalah tersebut tampaknya tidak pernah hilang. Ada masalah yang lebih rumit yang menghalangi pengembangan lapangan kerja, seperti yang terlihat dari tingkat pengangguran yang terus tinggi, dan tidak menurun secara signifikan meskipun ada program-program yang dimaksudkan untuk menyediakan peluang kerja. Mengapa, kemudian, inisiatif pemerintah untuk memerangi pengangguran sering kali gagal? Ini adalah beberapa faktor utama yang menjadi penyebabnya:Â
1. Ketidaksesuaian antara Keterampilan dengan Kebutuhan Pasar
Ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan permintaan pasar tenaga kerja adalah salah satu penyebab utama pengangguran. Pelatihan dan pendidikan yang ditawarkan sering kali tidak sesuai dengan kemajuan di sektor industri. Karena kurangnya keterampilan manajerial, teknologi, dan keterampilan praktis lainnya yang dibutuhkan industri, banyak lulusan universitas menganggur.
Misalnya, di era digital ini, banyak bisnis yang mencari karyawan yang terampil dalam analisis data, teknologi informasi (TI), dan bidang terkait lainnya. Namun, ada beberapa lulusan yang terutama berfokus pada disiplin akademis tradisional yang tidak selalu relevan dengan pertumbuhan pasar tenaga kerja. Upaya pemerintah untuk menyediakan pelatihan vokasi dan pengembangan keterampilan masih terus berlangsung, tetapi pelaksanaannya sering kali tidak langsung terkait dengan kebutuhan pasar kerja yang dinamis.
2. Kebijakan yang Tidak Konsisten dan Terfragmentasi
Pemerintah sering kali memberlakukan kebijakan yang tampaknya baik di atas kertas tetapi dilaksanakan secara tidak konsisten. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan sejumlah inisiatif penciptaan lapangan kerja dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pertumbuhan  industri, program magang, dan dukungan sektor UMKM. Namun, kebijakan-kebijakan ini sering kali terfragmentasi, kurang terkoordinasi antara industri, atau terlalu berfokus pada sektor-sektor tertentu tanpa mempertimbangkan dampak keseluruhannya.
Peluang kerja yang efektif sering kali terhambat oleh kebijakan yang tidak konsisten yang dikeluarkan. Misalnya, birokrasi yang rumit sering kali menghalangi bisnis untuk meningkatkan investasi mereka, yang pada akhirnya menghambat perkembangan lapangan kerja, meskipun ada insentif pajak untuk  industri tertentu.Â
3. Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Merata
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir terjadi ekspansi ekonomi yang stabil, kemajuan Indonesia tidak selalu tersebar merata di berbagai daerahnya. Infrastruktur dan akses ke layanan pendidikan serta pelatihan masih kurang di banyak daerah di luar Jawa, terutama di Indonesia timur. Ada kesenjangan besar dalam prospek pekerjaan sebagai akibat dari ketimpangan pembangunan ini.
Misalnya, ada banyak prospek kerja di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, tetapi sangat sedikit pekerjaan yang tersedia di daerah pedesaan. Karena hal ini, meskipun banyak pekerjaan yang dihasilkan di kota-kota besar, tingkat pengangguran di daerah pedesaan tetap tinggi. Â Faktanya, kebijakan yang memproitaskan pengembangan pusat ekonomi di atas komunitas pedesaan memperburuk kesenjangan dalam prospek pekerjaan.
4. Kurangnya Sektor Industri yang Tumbuh PesatÂ
Di Indonesia, terdapat relatif sedikit sektor industri yang dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah besar. Industri manufaktur, teknologi, dan jasa adalah kontributor utama dalam penciptaan lapangan kerja di negara-negara industri. Namun di Indonesia, industri-industri ini belum tumbuh dengan cepat. Misalnya, meskipun memiliki potensi signifikan untuk menciptakan lapangan kerja baru yang berkualitas tinggi, pertumbuhan bisnis berbasis teknologi belum sepenuhnya terwujud.Â
Meskipun memerlukan waktu, pemerintah telah berusaha untuk fokus pada kemajuan Industri 4.0. Selain itu, kerja sama antara pemerintah, komunitas korporat, dan institusi pendidikan sangat diperlukan untuk transisi signifikan menuju sektor industri berbasis teknologi. Namun, kolaborasi ini terkadang terhambat oleh kurangnya koordinasi dan visi jangka panjang.Â
5. Lambatnya Adaptasi terhadap Perubahan Ekonomi GlobalÂ
Di era globalisasi, perubahan ekonomi dunia mempengaruhi hampir setiap negara, termasuk Indonesia. Namun, ketika harus menyesuaikan diri dengan perubahan signifikan seperti krisis ekonomi global, perdagangan bebas, dan revolusi industri 4.0, Indonesia sering tertinggal. Memetakan tren ekonomi internasional dan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan dapat bereaksi cepat terhadap perubahan ini memerlukan inisiatif yang lebih besar dari pemerintah Indonesia.Â
Ketergantungan signifikan pemerintah yang terus-menerus pada industri konvensional seperti manufaktur dan pertanian, sementara sektor ekonomi digital dan hijau, yang memiliki potensi untuk menciptakan sejumlah besar lapangan kerja baru, masih dalam tahap awal, adalah salah satu contoh ketidakmampuan pemeritah dalam beradaptasi.Â
6. Birokrasi yang Menghambat Investasi dan Usaha BaruÂ
Pengusaha sering kali kesulitan untuk membuka perusahaan baru atau memperluas usaha yang sudah ada karena birokrasi yang rumit dan berlarut-larut. Banyak pengusaha masih merasa terbebani oleh sistem yang rumit ini, meskipun pemerintah telah berusaha untuk menyederhanakan persyaratan izin usaha. Hal ini tentu saja berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan daya tarik investasi.Â
Pemerintah harus mempermudah berbisnis untuk menurunkan pengangguran, terutama di industri seperti manufaktur, pariwisata, dan teknologi yang memiliki potensi untuk menciptakan banyak lapangan kerja baru.Â
7. Kurangnya Perlindungan untuk Pekerja Sektor InformalÂ
Salah satu pendorong utama ekonomi Indonesia adalah sektor informal, yang terdiri dari buruh harian, pedagang kaki lima, dan pekerja paruh waktu. Namun demikian, pekerja di industri ini sering kali kekurangan kesejahteraan yang layak, jaminan sosial, dan perlindungan hak-hak pekerja. Meskipun banyak orang hidup dalam ketidakpastian dan berisiko jatuh miskin, pengangguran di sektor informal sering kali tidak dilaporkan ketika program pemerintah terutama berfokus pada sektor formal.Â
Oleh karena itu, untuk mengatasi pengangguran, kebijakan pemerintah harus lebih inklusif dan mempertimbangkan pekerja di sektor informal.Â
Pengangguran bukan hanya masalah angka statistik, melainkan tantangan besar yang membutuhkan kebijakan holistik dan terkoordinasi dengan baik. Ketidaksesuaian antara keterampilan dan kebutuhan pasar, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, serta birokrasi yang menghambat, merupakan beberapa alasan mengapa kebijakan pemerintah sering gagal dalam mengurangi pengangguran. Pemerintah perlu lebih adaptif terhadap perubahan global dan mengembangkan kebijakan yang lebih tepat sasaran untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas, terutama di sektor-sektor yang sedang berkembang.Â
Namun, yang tak kalah penting adalah keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk bersama-sama menciptakan solusi yang berkelanjutan dalam mengatasi pengangguran. Â Dengan pendekatan yang lebih terintegrasi dan berbasis data yang akurat, bukan tidak mungkin Indonesia dapat mengurangi tingkat pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.Â
Referensi
Mankiw, G. (2013). Teori Makroekonomi. Jakarta : Erlangga.Â
Sukirno, S. (2013). Makroekonomi : Teori Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H