Mohon tunggu...
Rismawati
Rismawati Mohon Tunggu... Guru - Universitas Negeri Malang

Sekali-kali jangan pernah mengaku paling suka membaca, jika menulis satu kalimat saja kamu tau bisa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sapuih Ijuak

27 Januari 2024   21:59 Diperbarui: 28 Januari 2024   18:23 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Nak, berbuat baiklah, sekali-kali jangan mendekati kebathilan. Bersihkanlah kekotoran hatimu. Lihatlah sapuih ijuak, selalu membersihkan sesuatu yang kotor.”

Kata-kata sapuih ijuak itu melekat kuat diingatanku. Apa hubungannya aku dengan sapu ijuk. Aku tidak layak disamakan dengan sapu tradisional yang sudah mulai lenyap dari peredaran zaman itu, gerutuku sambil terus mempercepat langkah meninggalkan rumah. Langkahku semakin mantap jika kata-kata sapuih ijuak kembali terngiang-ngiang di gendang telinga ini. Apa ada yang salah dengan kata sapuih ijuak yang sering diibaratkan amak?

Hari ini aku berangkat ke ibukota untuk mengundi nasib setelah mendapatkan selembar tanda kelulusan dari sekolahku. Meninggalkan kampung tidak seberat yang aku bayangkan dan orang-orang katakan. Nyatanya pagi ini langkahku sangat semangat untuk memulai kehidupan di dunia baru. Aku akan mengubah takdirku. Gubuk kecil berdinding papan yang telah berlubang di sana sini oleh kumbang akan aku ubah menjadi istana megah. Periuk belanga hitam yang selalu digunakan amak untuk memasak akan aku ganti dengan teknologi keluaran terbaru. Akan kupastikan juga adikku tidak akan memakai lungsuran dariku. Tenanglah pak, aku akan membelikanmu motor matic supaya tidak lelah mengayuh ontel tua karatan itu lagi. Hingga tiba di persimpangan jalan menunggu bus yang akan kutumpangi menuju kota kabupaten. Gumamanku semakin menjadi-jadi tentang kehidupan yang akan kunikmati di masa depan.

“Cuup.. nio kama waang sapagi ko?” (Yusuf, mau kemana sepagi ini?) sahut suara dari seberang jalan.

Ternyata Rudi dengan gerombolan bebeknya yang bersiap menyeberangi jalan untuk dibawa ke sawahnya.

“Marantau. Aden ka pai marantau,” (Merantau, aku akan pergi merantau) jawabku mantap kepada Rudi yang sudah berada didekatku.

Basa-basi sekaligus celotehan terjadi pagi ini. Rudi meragukan semangatku ingin merantau, apalagi ke ibukota. 

“Jan bagarah juo waang Cup, Jakarta kareh. Ndak bantuak kampuang wak ko do. Rancak waang urus ajo jawi lai. Jiko baranak pinak, waang bisa kayo. Tapi jiko waang basikareh nio marantau, hati-hati di jalan kawan. Semoga waang sukses,” (Jangan becanda Yusuf. Jakarta tidak seperti kampung. Lebih baik kamu mengurus sapi, jika beranak pinak bisa menghasilkan banyak uang. Jika kamu tetap ingin merantau, hati-hati di jalan. Semoga sukses) ucap Rudi sebelum meninggalkanku bersama pasukannya itu.

Ya, namaku Yusuf, tapi orang-orang di kampung memanggilku Ucup. Entah bagaimana asal mula panggilan itu. Padahal aku lebih suka jika dipanggil Yusuf. Seperti yang ku pelajari di sekolah dan yang dijelaskan Buya Ramli, Yusuf adalah salah seorang nabi yang paling rupawan setelah Nabi Muhammad. Ibarat bulan, apabila Nabi Muhammad memiliki ketampanan setengah dari bulan, maka Nabi Yusuf memiliki ketampanan seperempat dari bulan. Seperempat lagi kemana? Tentunya dibagikan untuk umat manusia. Jika kita melihat banyak orang yang rupawan di dunia ini, itu tidak sebanding dengan ketampanan dua nabi itu jelas Buya Ramli. Mengenai manusia yang memiliki paras tampan di bumi ini selain Nabi Muhammad dan Nabi Yusuf, sepertinya aku adalah salah satu yang tampan itu. Buktinya orang-orang di kampung sering mengatakan aku adalah artis. Amak juga sering bilang bahwa aku sangat tampan. Kulitku bersih bersinar, hidung mancung, mata hitam besar dengan alis tebal hampir menyatu. Jika mendengar pujian amak, dadaku membusung dan telingaku memerah tidak kuasa menyembunyikan nikmat ini. Namun amak berpesan bahwa dengan kelebihan ini aku tidak boleh jadi sombong dan lupa bersyukur kepada Allah. 

Sebulan yang lalu aku dinyatakan lulus dari SMA dengan nilai yang cukup memuaskan. Keterbatasan ekonomi membuatku untuk berhenti melanjutkan pendidikan. Dari 20 siswa kelas dua belas di sekolahku, hanya dua orang yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Itupun karena mereka mendapatkan beasiswa pendidikan dari pemerintah hingga tamat. Galau setelah tamat dari SMA adalah perasaanku sebelum memutuskan untuk pergi merantau. Berdiam di kampung tidak akan banyak mengubah keadaanku. Setelah berdiskusi panjang lebar dengan amak dan bapak, akhirnya aku diizinkan untuk pergi merantau dengan perjanjian aku tidak akan terpengaruh pergaulan yang salah selama di rantau. Sebenarnya amak sangat berat melepasku pergi, namun bapak menguatkan hati amak karena di ibukota aku tidak sendiri. Ada Pak Etek Burhan yang akan menampungku di sana sebelum mendapatkan pekerjaan. 

Setelah menunggu lama, minibus yang akan membawaku ke kota kabupaten akhirnya datang. Setelah sampai di kota kabupaten aku naik bus bermerek NPM menuju Jakarta. Kubaca setiap informasi yang diberikan bus sebelum melangkah masuk. Ternyata NPM itu singkatan dari Naikilah Perusahaan Minang, aku baru tahu sekarang. Tidak akan terlalu sulit untuk tiba di Jakarta apalagi menemukan alamat rumah pak etek, batinku sambil terus tersenyum menikmati perjalanan yang semakin mengaduk isi perutku. Jakarta, aku datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun