"Permisi.... Rokoknya, Kak. Produk luar negeri, baru masuk pasar Indonesia. Kakak bisa dapat harga diskon dan hadiah spesial kalau bersedia mengisi kuisioner kami," tawar gadis yang tiba-tiba ada di hadapanku. Ia memperlihatkan sebungkus rokok asal negeri Paman Sam kalau aku tak salah ingat.
"Maaf, Mba. Saya tidak merokok," balasku tanpa menatap wajahnya. Pandangku masih tertuju pada gawai, membalas chat salah satu prospekku.
"Mungkin Kakak bisa membeli untuk teman atau keluarga di rumah," tawarnya lagi dengan gigih.
"Maaf ya Mba, saya juga tidak suka kalau teman apalagi keluarga saya, berani merokok di depan saya. Jadi saya tidak akan sudi membelikan mereka rokok. Paham?" jawabku ketus, masih tanpa melihat wajahnya.
"Tolong saya Kak, beli sebungkus saja. Please.... Saya baru menjual sedikit hari ini. Masih jauh dari target," ujarnya memelas. Sial! Dia sebut-sebut kata target. Dia tidak tahu kalau hari ini aku mendapat SP karena tidak mencapai target minimal. Aku mengangkat wajahku menatap wajahnya yang memelas penuh harap padaku. Aku jadi tak tega menghancurkan harapannya. Tapi aku juga tak sudi membeli benda yang kubenci itu.
"Begini saja, beri saya satu alasan terbaik untuk membeli rokok yang kamu jual. Jika jawaban kamu memuaskan, saya beli satu bungkus. Ah, tidak.... Saya beli satu slop. Deal?" tawarku pada gadis berambut hitam lurus melewati bahu itu dengan tatapan menantang. Dia terdiam dan terlihat berpikir keras. Aku menatapnya dengan senyum penuh kemenangan. Ia tampak lebih cantik saat berpikir. Sekilas wajahnya mirip Isyana Sarasvati.
Hampir semenit kutunggu, tak ada jawaban. Kulihat ia memainkan seragam terusan merah marunnya sambil menunduk.
"Waktu habis. Jadi apa jawaban kamu?" tanyaku sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Aku merasa seperti Ahmad Dhani yang sedang mengaudisi peserta Indonesian Idol. Gadis itu lalu menghela nafas dan mengepalkan tangannya.
"Kalau kakak tidak membeli lalu saya dipecat karena tak mencapai target, saya tidak ragu lagi untuk menerima bayaran menjadi pemuas hasrat laki-laki. Sudah banyak teman-teman saya yang seperti itu. Bahkan sudah ada yang menawar dengan harga tinggi. Kakak tidak mau kan, hal itu terjadi?" jawab gadis bermata bulat itu dengan nafas menderu. Matanya balik menatap tajam ke arah mataku. Tak kutemukan celah dusta di matanya. Sepertinya ia serius.
"Gadis bodoh! R.A. Kartini susah payah mengangkat harkat dan martabat kalian, ini malah punya keinginan berwiraswasta tubuh!" hardikku. Beberapa saat kemudian aku menyesal. Sepertinya kata-kataku terlalu kasar.
Mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Ah, drama segera dimulai. Ia lalu menutup wajahnya lalu menangis. Tak ingin jadi pusat perhatian seisi cafe, aku berdiri menenangkan gadis itu. Kupersilakan ia duduk.
"Maafkan kata-kata saya barusan. Tidak sepantasnya saya berkata itu. Ini hari yang buruk bagi saya," ucapku sambil memberinya beberapa lembar tissue. Ia menerimanya sambil menangis sesenggukan.
"Kamu sudah makan malam?" tanyaku. Ia menggeleng. Aku lalu memanggil pramusaji dan memesan beberapa makanan dan minuman.
"Oh iya, kita belum kenalan. Saya Fajar. Nama kamu siapa?" tanyaku sambil mengulurkan tangan.
"Nama saya Mentari, Kak. Panggil saja Tari," jawabnya sambil membalas uluran tanganku. Selanjutnya aku bertanya beberapa hal tentangnya. Gadis berbibir tipis itu tak berbicara bila tak kutanya. Mungkin ia masih marah padaku. Jiwa lelakiku merasa tertantang dengan keadaan ini. Tak berapa lama, pramusaji pun datang membawa pesananku.
"Ayo disantap makanannya. Saya sudah makan barusan," ajakku pada gadis beralis lebat itu. Ia tampak ragu. Tiba-tiba terdengar suara perut keroncongan. Sekuat tenaga aku menahan tawa. Muka Mentari memerah. Ia lalu menunduk malu.
"Ayo dimakan, tak perlu sungkan. Saya yang bayar semuanya. Kalau kurang, silakan pesan lagi," kataku sambil meraih gelas berisi cappucino dan menghirupnya. Ia pun mulai menyantap nasi goreng, laun hingga tandas. Sepertinya ia benar-benar lapar, karena porsinya cukup banyak.
 "Jadi apa masalah sebenarnya?" tanyaku menatap Mentari. Yang kutanya hanya diam menunduk. Mungkin pertanyaanku terlalu menyelidik atau bisa jadi ia belum percaya padaku. Wajar saja, beberapa menit yang lalu kami hanya orang asing.
"Kamu serius dengan pernyataanmu tadi? Pernyataan yang membuat saya mengeluarkan kata kasar," lanjutku.
"Kakak pikir saya bercanda? Saya sudah sampai pada titik dimana saya tak ragu lagi melakukan itu. Jangan pikir saya orang yang berpikiran pendek, egois, atau lebih parah lagi, gold digger. Don't ever think like that!" Ia berkata pelan namun tegas. Bahunya naik turun bersamaan dengan deru nafasnya.
"Well, if you are not a gold digger, then what should I call you? Sugar baby?" balasku yang kemudian membuatku menyesal lagi.
"Kalian orang kaya, tak akan mengerti bagaimana rasanya hidup dalam kekurangan!" Air muka Mentari merah padam, ia lalu bangkit bergegas meninggalkanku. Kupegang tangannya, namun dengan sekali hentakan, peganganku terlepas. Aku menatap kepergiannya sampai tak terlihat lagi. Aku mengutuk lidah yang tak terkendali ini, lalu terdiam sendirian menyesali apa yang terjadi.
Lewat jam sepuluh malam, aku meninggalkan cafe. Kujalankan Brio putihku lambat saja. Baru beberapa saat, terlihat Mentari sedang berdiri di trotoar masih dengan pakaian kerjanya. Kuhentikan mobil dan membuka kaca jendela.
"Mau kuantar pulang?" tawarku pada Mentari. Ia bergeming, lalu memalingkan wajahnya.
"Ini sudah malam, tidak baik wanita cantik berjalan sendirian. Sepertinya juga akan turun hujan," sambungku. Mentari menatapku. Ia lalu melihat kiri kanan, suasana cukup sepi. Ia lalu membuka pintu mobil, duduk di sebelahku dan memasang seat belt.
"Di mana rumahmu?" tanyaku sambil menyalakan audio. Tak lama kemudian terdengar suara merdu Isyana Sarasvati. Ia menjawab pertanyaanku ketus. Aku mulai menyetir membelah lalu lintas lengang kawasan Pahoman. Rintik hujan mulai turun. Andai saja gadis di sebelahku ini memasang wajah tersenyum, tentu suasana syahdu sekali.
"Malam ini rasanya sempurna sekali. Mendengarkan lagu Isyana Sarasvati di samping penyanyi aslinya," godaku. Tak ayal kotak tissue melayang ke arahku. Aku tertawa.  Â
"Sudah Kak, simpan saja gombalannya untuk wanita lain!" Mentari berkata ketus. Namun tidak selaras dengan pipinya yang merona. Sekilas kulihat guratan senyum dibibir tipisnya. Sepertinya ia tak marah lagi padaku.
"Ya sudah, kalau saya dilarang menggombal, saya kasih nasihat saja. Boleh?" tanyaku. Mentari hanya diam. Pandangannya lurus menatap air hujan yang jatuh di kaca depan mobilku.
"Diamnya wanita artinya iya." Aku diam sesaat.
"Hmm.... Kita saat ini adalah akumulasi dari pilihan-pilihan yang kita ambil dimasa lalu. Setiap pilihan yang kita ambil, ada konsekuensinya," paparku serius.
"Tapi tidak semua opsi pilihan yang ada adalah yang kita mau, Kak. Dalam hidup, aku lebih sering melakukan hal-hal yang bukan kemauanku!" Mentari menyanggahku.
"Kamu benar. Terkadang pilihan yang ada bukanlah yang kita inginkan. Tapi kita tetap bisa memilih bukan? Lagi pula, sesuatu yang kita inginkan belum tentu yang kita butuhkan," kataku bijak. Lalu kami terdiam, sampai akhirnya tiba di depan jalan menuju rumah Mentari.
"Kamu punya cita-cita kan?" kataku sesaat sebelum Mentari melepas seat belt-nya.
"Tari ingin menjadi pramugari, Kak." Mentari tersenyum padaku manis sekali. Sesaat kami beradu pandang sampai akhirnya Mentari menunduk salah tingkah. Â
"Saya doakan cita-citamu terwujud. Semoga kita berjumpa lagi dalam keadaan yang lebih baik."
"Terima kasih atas semuanya. Mentari pamit, Kak" Mentari lalu membuka pintu dan keluar.
"Tari, kalau kita berjumpa lagi, mungkin kita berjodoh!" teriakku. Mentari membalikkan badannya dan tersenyum. Begitulah kami berpisah.
 Lima tahun setelahnya, kejadian malam itu seakan hidup kembali. Dalam penerbangan dinasku ke Denpasar, seorang pramugari memberiku selembar tissue. Tulisan di tissue membuatku tersenyum: Sepertinya kita berjodoh, Mentari 0811XXXXXX.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H