"Tapi tidak semua opsi pilihan yang ada adalah yang kita mau, Kak. Dalam hidup, aku lebih sering melakukan hal-hal yang bukan kemauanku!" Mentari menyanggahku.
"Kamu benar. Terkadang pilihan yang ada bukanlah yang kita inginkan. Tapi kita tetap bisa memilih bukan? Lagi pula, sesuatu yang kita inginkan belum tentu yang kita butuhkan," kataku bijak. Lalu kami terdiam, sampai akhirnya tiba di depan jalan menuju rumah Mentari.
"Kamu punya cita-cita kan?" kataku sesaat sebelum Mentari melepas seat belt-nya.
"Tari ingin menjadi pramugari, Kak." Mentari tersenyum padaku manis sekali. Sesaat kami beradu pandang sampai akhirnya Mentari menunduk salah tingkah. Â
"Saya doakan cita-citamu terwujud. Semoga kita berjumpa lagi dalam keadaan yang lebih baik."
"Terima kasih atas semuanya. Mentari pamit, Kak" Mentari lalu membuka pintu dan keluar.
"Tari, kalau kita berjumpa lagi, mungkin kita berjodoh!" teriakku. Mentari membalikkan badannya dan tersenyum. Begitulah kami berpisah.
 Lima tahun setelahnya, kejadian malam itu seakan hidup kembali. Dalam penerbangan dinasku ke Denpasar, seorang pramugari memberiku selembar tissue. Tulisan di tissue membuatku tersenyum: Sepertinya kita berjodoh, Mentari 0811XXXXXX.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H