"Gadis bodoh! R.A. Kartini susah payah mengangkat harkat dan martabat kalian, ini malah punya keinginan berwiraswasta tubuh!" hardikku. Beberapa saat kemudian aku menyesal. Sepertinya kata-kataku terlalu kasar.
Mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Ah, drama segera dimulai. Ia lalu menutup wajahnya lalu menangis. Tak ingin jadi pusat perhatian seisi cafe, aku berdiri menenangkan gadis itu. Kupersilakan ia duduk.
"Maafkan kata-kata saya barusan. Tidak sepantasnya saya berkata itu. Ini hari yang buruk bagi saya," ucapku sambil memberinya beberapa lembar tissue. Ia menerimanya sambil menangis sesenggukan.
"Kamu sudah makan malam?" tanyaku. Ia menggeleng. Aku lalu memanggil pramusaji dan memesan beberapa makanan dan minuman.
"Oh iya, kita belum kenalan. Saya Fajar. Nama kamu siapa?" tanyaku sambil mengulurkan tangan.
"Nama saya Mentari, Kak. Panggil saja Tari," jawabnya sambil membalas uluran tanganku. Selanjutnya aku bertanya beberapa hal tentangnya. Gadis berbibir tipis itu tak berbicara bila tak kutanya. Mungkin ia masih marah padaku. Jiwa lelakiku merasa tertantang dengan keadaan ini. Tak berapa lama, pramusaji pun datang membawa pesananku.
"Ayo disantap makanannya. Saya sudah makan barusan," ajakku pada gadis beralis lebat itu. Ia tampak ragu. Tiba-tiba terdengar suara perut keroncongan. Sekuat tenaga aku menahan tawa. Muka Mentari memerah. Ia lalu menunduk malu.
"Ayo dimakan, tak perlu sungkan. Saya yang bayar semuanya. Kalau kurang, silakan pesan lagi," kataku sambil meraih gelas berisi cappucino dan menghirupnya. Ia pun mulai menyantap nasi goreng, laun hingga tandas. Sepertinya ia benar-benar lapar, karena porsinya cukup banyak.
 "Jadi apa masalah sebenarnya?" tanyaku menatap Mentari. Yang kutanya hanya diam menunduk. Mungkin pertanyaanku terlalu menyelidik atau bisa jadi ia belum percaya padaku. Wajar saja, beberapa menit yang lalu kami hanya orang asing.
"Kamu serius dengan pernyataanmu tadi? Pernyataan yang membuat saya mengeluarkan kata kasar," lanjutku.
"Kakak pikir saya bercanda? Saya sudah sampai pada titik dimana saya tak ragu lagi melakukan itu. Jangan pikir saya orang yang berpikiran pendek, egois, atau lebih parah lagi, gold digger. Don't ever think like that!" Ia berkata pelan namun tegas. Bahunya naik turun bersamaan dengan deru nafasnya.