"Ha... Ha... Ha... Ardi, Ardi... Jadi itu alasan lo balik lagi ke Jakarta? Sereceh dan seremeh itu?" Ryan berkata sambil terbahak. Ardi hanya bisa merengut lalu berkata, "Ah elo, gue serius nih. Malah diketawain. Parah lo!" Susah payah Ryan menahan tawanya. Ia mematikan Mevius Lights-nya, lalu memegang kedua pundak Ardi. Ryan menatap Ardi penuh semangat. Sesaat kemudia ia berkata, "Tenang bro... chill... relax... Lo berada di tangan yang tepat. Lo berada dijalur yang benar. Gue punya solusi buat masalah lo."
Tatapan Ardi seolah ia tak percaya dengan pernyataan Ryan barusan, namun hatinya juga penasaran. Ryan sadar bahwa teman lamanya itu tidak memercayainya begitu saja. Ia lalu lanjut menjelaskan, "Solusi dari masalah lo adalah apa yang biasa gue sebut dengan dis.. trak... si...." Ryan mengucap kata distraksi perlahan namun mantap.
"Distraksi? Coba lo jelasin ke gue selengkapnya. Ga usah bikin penasaran deh!" Ardi berujar setengah kesal, lalu menepis kedua tangan Ryan. Ia lalu melangkah gontai menuju balkon. Raut mukanya kusut, matanya menatap kosong pada bulan sabit yang menggantung di langit Jakarta. Entah mengapa, bulan sabit malam ini bagi Ardi terasa tersenyum mengejeknya. Ia lalu kembali masuk kedalam dan duduk disebelah Ryan.
"Bingung juga gue ngejelasinnya. Udah deh, pokoknya percaya sama gue. All you need is trust in me. Distraction is your solution." Ryan berujar dengan mantap sambil menenggak sekaleng Heinekken dingin.
"Tapi kan ngga se--- " Perkataan Ardian terputus karena gawai Ryan berbunyi. Wajahnya nampak seperti anak kecil yang diberi sekotak permen menatap siapa yang menghubunginya. Ia lalu memberi kode meminta waktu pada Ardian untuk menerima telepon. Entah dengan siapa Ryan berbicara, yang jelas nada bicara Ryan terdengar riang sekali.
"Nah, kebetulan banget bro. Malam ini, disini kita bisa mulai distraksi itu. Lo tunggu aja disini yah, gue mau keluar sebentar. Gue ngga lama koq, paling satu jam gue dah balik lagi." Ryan lalu mengambil kunci mobil dan langsung menghambur keluar tanpa memberi kesempatan Ardi untuk membalas. Ardi hanya bisa termenung duduk di sofa. Ia lalu menyalakan TV lalu mengganti-ganti channel-nya dan berhenti pada tayangan siaran tunda NBA. Golden State Warriors melibas Chicago Bulls 43-17 di quarter pertama. Klay Thompson sedang on fire membuat Zach Lavine cs tak bisa berbuat banyak. Untuk sementara Ardi hirau dengan masalahnya.
Pertandingan memasuki quarter terakhir dan Warriors masih unggul 20 bola dari Bulls saat Ardi dikejutkan dengan bunyi bel. Ia lalu membuka pintu apartemen lalu dilihatnya Ryan datang bersama dua orang wanita cantik berseragam pramugari. Ryan tersenyum pada Ardi, lalu mempersilahkan kedua tamunya itu masuk.
"Ardi, ini dua bidadari yang akan menemani kita 'terbang' malam ini. Yang tinggi berambut hitam ini namanya Clara dan yang semampai berambut coklat itu namanya Febby." Ryan mengenalkan dua temannya pada Ardi yang hanya bisa tertegun menatap keduanya. Sumpah cantik banget semuanya, First class, begitu dalam benaknya. Kedua wanita itu mengenakan seragam berwarna merah marun dengan legging dan sepatu hitam.
"Halo mas Ardi, nama gue Clara. Pramugari tercantik se-Jakarta Selatan." Clara mengulurkan tangan dan tersenyum pada Ardi. Ia menyambut uluran tangan Clara yang putih terawat dan ditumbuhi bulu-bulu halus. Wajah cantik Clara mengingatkan Ardi pada sosok artis Tyas Mirasih.
"Gue Ardi, teman sebangku Ryan waktu SMP," ujar Ardi sambil mengangguk tersenyum tipis. Dengan high heels yang dipakainya, tinggi Clara hampir sama dengan tinggi Ardi. Ardi menaksir tinggi Clara sekitar 170 cm, mungkin lebih sedikit. Rambutnya bergelombang sepanjang bahu. Ibarat mobil, mungkin layaknya Nissan Skyline GTR.
"Kalau gue Febby, mas Ardi. Pramugari terseksi se-Jakarta Barat," sapa Febby seraya mengulurkan tangannya pada Ardi sambil tersenyum genit menggoda. Febby tak setinggi Clara, tapi siluet tubuhnya memang lebih seksi. Sekilas wajahnya mirip dengan Nabilah Ayu JKT48. Gigi gingsul, lesung pipi dan bibir sensualnya sungguh membuat Ardi gemas. Ibarat mobil, mungkin layaknya Toyota Celica.
"Hai Febby, gue Ardi teman kerja Ryan di Bank ABC." Ardi menyambut uluran tangan Febby sambil membuat pertahanan dari gempuran maut senyuman Febby nan menggoda. Tangannya sedikit gemetar, entah Febby merasakannya atau tidak.
Ryan lalu mempersilahkan kedua tamunya masuk. "Clara jatah gue bro, nah Febby silahkan lo garap. Kalo lo bisa tapi..." Ryan berbisik sambil menggandeng Clara menuju kamarnya lalu menutup pintunya. Tinggallah Ardi dan Febby terduduk di sofa. Sesaat kemudian yang terjadi adalah awkward moment. Yah, Ardi bukanlah tipe pria yang warm. Pembawaannya cenderung pendiam, tapi bila sudah kenal, dia tidak sependiam itu.
"Ini apartemen mas Ardi atau mas Ryan?" Febby membuka kata sambil pandangannya berkeliling menyapu sekeliling ruangan apartemen Ryan yang bertipe 2 BR itu.
"Ini apartemen Ryan, tapi Febby ngga usah sungkan, anggap aja apartemen sendiri. Febby mau minum apa?"
"Nge-wine kayaknya enak nih. Ada ngga mas?"
"Ada ngga yah? Coba gue lihat dulu."
Ardi lalu bangkit dari duduknya lalu menuju dapur. Ia membuka persediaan minumal alkohol milik Ryan. Satu persatu dibacanya label yang melekat di botol. Ada vodka, whiskey, rum, cognac dan ternyata ada satu yang bertulisan winery. Ardi lalu mengambil botol wine tersebut beserta gelasnya dan kembali ke ruang tengah.
"Kita minum sambil duduk di balkon aja yuk mas Ardi! Lebih enak disitu deh sepertinya," kata Febby sambil menggamit lengan Ardi dan menyeretnya menuju balkon. Mereka lalu duduk berteman cahaya lampu nan redup. Febby lalu memutar musik dari iPhone 8 miliknya, tak lama kemudian terdengar suara jazzy dari Syaharani melantunkan lagu Kesan.
"Febby suka jazz juga?" Ardi bertanya sedikit terkejut.
"Iya... kenapa? ngga sinkron yah dengan wajah gue?" balas Febby sambil tersenyum lalu membuka segel Sababay Ludisia dihadapannya dan menuangkan isinya kedalam gelas.
"Loh, koq gelasnya cuma satu?" tanya Febby sambil menatap Ardi keheranan.
"Iya, gue ngga minum  minuman beralkohol. Jangankan alkohol, minum softdrink aja udah buat gue merasa bersalah gitu," jawab Ardi sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Uhuk... Seriusan, mas! Ya ampun, masa sih mas?" Febby yang tengah menikmati tegukan pertama, tersedak.
"Serius... Kenapa? Ngga sinkron dengan wajah gue?"
"Yee... Dia ngebales gue."
 Lalu mereka berdua tertawa lepas. Arkward moment telah berlalu. Setelahnya mereka saling membuka diri. Keduanya juga bercerita tentang pekerjaan dan hobi masing-masing. Saking asyiknya bercerita, mereka tak menyadari kalau Ryan dan Clara sedang berdiri memperhatikan mereka dari belakang.
"Nah, lo mulai ngerti kan apa yang gue maksud dengan distraksi. Seperti ini bro!" Ryan berkata tanpa permisi dan mengagetkan Ardi.
"Ah, bikin kaget aja lo. Distraksi apaan sih? Orang lagi enak ngobrol juga, ganggu aja lo," ujar Ardi sambil mengelus dada kaget.
"Udah mas Ardi, pepet aja terus. Jangan kasih kendor. Febby ini masih single koq," canda Clara pada Ardi.
"Cin, mas Ardi ini kata mas Ryan anaknya baik dan ngga neko-neko. Bakalan cocok untuk meredam naluri playgirl lo deh sepertinya. Sudahilah petualangan ranjang lo. Ha... Ha...," canda Clara yang disambut oleh lemparan tissue oleh Febby.
"Eh, mulut lo yah Nek, harap dijaga," sergah Febby sambil melotot pada Clara yang cekikikan melihat respon temannya itu.
"Jangan dengerin Clara yah mas Ardi, jatuhnya jadi musyrik nanti masuk neraka." Febby berkata mengembangkan senyum manisnya pada Ardi. Pria introvert itu hanya bisa bengong melihat polah dua makhluk cantik yang baru dikenalnya itu.
"Bro, gue mau anter mereka berdua ke hotel tempat mereka transit. Ikut yah, biar gue pulangnya ngga sendirian." Kata-kata Ryan membuyarkan lamunan Ardi. Senyum manis dan ranum tubuh Febby membuatnya sedikit gagal fokus. Yah, pria itu memang makhluk visual. Penampilan fisik wanita tentunya jadi perhatian mereka. Kecuali mereka yang gay tentunya.
"OK deh, gue juga mati gaya sendirian disini," jawab Ardi sambil berdiri bersiap-siap.
Mereka berempat lalu berjalan keluar apartemen. Ryan menggamit mesra tangan Clara, yang dibalas Clara dengan bergelayut manja dipundak Ryan. Melihat hal itu, Febby lalu meraih tangan Ardi. Diperlakukan seperti itu, Ardi menurut saja. Pria manapun akan sulit menolak tawaran seperti itu. Jujur saja Ardi sangat gugup. Wajahnya memerah, keringat dingin , dan gemetar mulai menjalar. Febby pun menyadari itu. Justru hal itu menimbulkan kesan tersendiri. Sebagai wanita yang cantik dan seksi, ia terbiasa menerima perlakuan agresif dari para pria. Menghadapi pria defensif seperti Ardi, ia yakin keadaan akan terkendali.
All New Accord silver milik Ryan membelah lalulintas kawasan Cengkareng menuju Swiss Bell Hotel Bandara Soetta. Clara duduk disebelah Ryan, sedang Ardi dan Febby duduk dibelakang. Sepanjang perjalanan, Ardi dan Febby menjadi bulan-bulanan Clara dan Ryan. Mereka berusaha menjodohkan Febby dan Ardi. Febby menanggapinya santai, namun Ardi menjadi tengsin abis.
Perjalanan pulang kembali menuju apartemen, Ryan meminta Ardi menggantikannya untuk menyetir. Ardi menyalakan audio, tak lama terdengarlah suara Hyde menyanyikan lagu Hitomi No Jyuunin. "Dasar Japanese freak, sampai playlist lagu di mobil juga lagu-lagu Jepang," benak Ardi. Tak seberapa laju Ardi menyetir, pikirannya kembali berkelana pada masa silam.
"Gimana menurut lo tentang Febby?" tanya Ryan yang memutus lamunan Ardi.
"Gimana apanya?"
"OK ngga? Anaknya asik ngga? Cocok ngga kira-kira sama lo?"
"Well, physically sih OK banget. Anaknya cantik... Cantik banget malah. Diajak ngobrol juga asyik sih. Kita sama-sama suka jazz. Kalo soal cocok atau ngga, terlalu cepat kalau gue harus jawab sekarang."
"Physically, literally, basically... sok jaksel lo!" ujar Ryan sambil membuka jendela dan membuang puntung rokok.
"Ye, emang gue anak jaksel. Rumah gue kan di Cinere." balas Ardi sambil terus menyetir melewati jalan tol Prof. Dr. Sedyatmo. Tak berapa lama Ryan pun terlelap, mungkin kelelahan setelah bertarung dengan Clara. Ardi melirik Tag Heur-nya, hampir pukul dua pagi. Samar-samar dari kejauhan, dilihatnya ada mobil yang menepi di bahu jalan. Ketika Ardi melintasinya, ternyata pengemudinya seorang wanita dan tampak sedang panik.
Ardi lalu menepikan mobil, dan berjalan mundur perlahan mendekat mobil Honda Jazz berwarna merah itu. Ia lalu keluar dari mobil dan menghampiri wanita yang kira-kira berumur awal dua puluhan itu.
"Mobilnya mogok, Mba?"
"Bukan Mas. Ban mobil saya bagian kiri depan bocor. Saya ngga bisa ganti ban sendiri. Kalau ngga merepotkan, saya minta tolong, Mas?"
Terdorong rasa iba akhirnya Ardi memutuskan untuk menolong wanita yang tak dikenalnya itu. Setelah sekitar belasan menit, ban serep telah terpasang. Sejenak Ardi beristirahat dengan duduk di bahu jalan. Dahinya berpeluh, dan tangannya penuh noda. Wanita pemilik mobil lalu memberi Ardi tissue dan sekaleng Heinekken dingin. Ardi lalu membersihkan dirinya.
"Terimakasih yah Mas udah mau nolongin. By the way, kita belum kenalan. Gue Reiga, panggil aja Rei," ucap wanita berambut coklat itu seraya mengulurkan tangannya dan tersenyum.
"Gue Ardi. Jam segini masih berkeliaran... Sendirian lagi... Emang lo mau kemana Rei?" balas Ardi sambil menjabat tangan mulus Rei.
"Mau pulang ke arah PIK, tadi habis dari bandara, nganter teman yang mau ke liburan. Kok Heinekken-nya ngga diminum?"
"Oh, iya... ini... gimana yah...? Gue ngga minum  minuman beralkohol Rei," sahut Ardi agak kikuk.
"Oh, maaf kalo gitu. Gue kira lo anak dugem yang baru pulang clubbing. Terus mas Ardi dari mana, jam segini masih berkeliaran?" tanya Rei sambil menyalakan Marlboro Lights-nya.
"Tadi habis nganterin temen, profesinya pramugari, ke hotel sekitar bandara," balas Ardi seraya mencuri pandang wajah Rei. Wajah cantik Rei mengingatkan Ardi pada artis sinetron Nadya Arina. Bila diibaratkan mobil, mungkin seperti Nissan Fairlady.
"Hmmm... habis nganter pacar yah mas Ardi? Hebat yah bisa punya pacar pramugari," tanya Rei sambil tersenyum menggoda.
"Iya, tapi bukan pacar saya. Pacar teman saya, tuh orangnya lagi tidur di mobil."
"Loh, kirain sendirian. Ya udah mas Ardi, kasihan temannya tuh. Eh, sebelum pisah, boleh Rei minta nomor handphone mas Ardi?"
Ardi lalu membuka dompet dan memberikan kartu namanya yang berlogo Bank ABC. Rei menatapnya sebentar, lalu bangkit dari duduknya.
"Terima kasih banyak yah mas Ardi, udah mau nolongin gue. Semoga kita jumpa lagi lain waktu. Bye, mas Ardi."
"Bye Rei, hati-hati yah," ucap Ardi sambil melambaikan tangan.
Rei lalu menuju mobil, dan melaju membelah lalulintas jalan tol yang lengang. Ardi menuju mobil, dan ternyata Ryan sudah terbangun.
"Hebat... hebat...! Dapet cewek cantik nih agaknya. Selamat yah bro, begitulah distraksi bekerja bro." Ryan ternyata memperhatikan apa yang terjadi.
"Apaan sih lo bro, orang cuma menolong orang yang kesusahan." Ardi membalas sambil menutup pintu mobil, lalu melajukannya. Saat itu Ardi tidak menyadari, bahwa random stranger yang baru saja ditolongnya akan membawa perubahan besar dalam dirinya. Membawanya kedalam salah satu episode terkelam dalam hidupnya.
###
Lanjut Bab 2: Pertumpahan Darah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H