Aku tertegun menatap bangunan didepanku. Ruko tiga lantai dengan kaca gelap dan bertuliskan inisial MM di pintu masuknya. Ini kali ketiga aku mendatangi tempat ini. Setiap kali selalu berdebar sebelum memasukinya. Ada suara-suara malaikat yang menahanku sebenarnya, namun tertimbun oleh digdaya suara setan. Kutengok kiri kanan memastikan tiada seorang pun yang mengenaliku.
Kumenarik napas dalam untuk mengumpulkan keberanian. Kuhembuskan cepat lalu dengan setengah berlari aku masuk. Kudorong pintu masuk, dan kusapu pandangan kedalamnya. Suasananya tidak begitu ramai orang. Hanya ada dua orang pria sedang duduk santai sambil merokok di sofa selasar. Aku langsung menuju meja resepsionis yang ada di sebelah kanan pintu masuk. Kedatanganku disambut senyum ramah seorang wanita cantik berpakaian mini dress berwarna hitam. Tampak kontras dengan kulitnya yang terang.
"Selamat siang, Mas. Dengan Bella disini. Sudah reservasi?" tanya wanita berambut hitam lurus sebahu itu.
"Saya belum reservasi, Mba," jawabku.
Ia lalu mengarahkan pandanganku pada layar monitor. Dia lalu menunjukkan menu hidangan di tempat ini melalui layar. Menu yang disajikan tampak menggugah selera. Kupilih satu menu yang menurutku paling menarik. Bella, sang resepsionis menawarkan paket-paket layanan beserta harganya. Ada sensual package, double drop package, twin sensation, dan paket lain yang aku tak ingat namanya. Aku pilih paket standar saja, selama 2 sesi. Lalu aku diantar seorang room boy menuju ruangan yang kuberi nama kotak ajaib. Kenapa kotak ajaib? Karena hal-hal tidak terduga terjadi disini. Sulit diterka dan hampir tidak bisa diprediksi. Tak ada skenario yang pasti, mengundang improvisasi.
Dalam kotak ajaib berukuran 3x2 meter itu, terdapat matras, massage oil, tissue, dan asbak. Dindingnya dihias wallpaper gelap dengan motif batik parang warna emas. Di bagian bawah dinding, ada cermin yang mengelilingi ruangan. Lampu temaram ada di dinding bagian atas. Speaker pun ada memainkan musik bergenre EDM dengan tempo medium. Hmm... suasananya sungguh nyaman untuk relaksasi sepertinya.
Lalu kutengok kamar mandi tanpa pintu, dan hanya ditutup tirai berwarna hitam. Hanya ada shower dan peralatan mandi. Tak ada yang istimewa. Aku lalu duduk di matras yang cukup empuk dibalut sprei warna biru navy. Tak berapa lama, datanglah sesosok wanita cantik ke dalam kotak ajaib membawa 2 gulung handuk berwarna hijau tua.Â
"Halo, dengan Adelia disini, panggil aja Adel. Ini dengan mas Ferdi yah?" sapa wanita cantik itu dengan senyum terkembang dan mengulurkan tangannya. Aku berdiri menatapnya sejenak dan menyambut uluran tangannya. Wajahnya mengingatkanku pada artis Mulan Jamila. Ia lalu mendekat padaku dan memberikan cipika cipiki. Adel termasuk tinggi untuk ukuran seorang wanita. Dengan high heel yang dipakainya, ia hampir menyamai tinggiku.
"Mau langsung atau mau ngobrol dulu nih, Mas Ferdi?" tanya gadis yang kutaksir berusia awal dua puluhan itu.
"Langsung aja," jawabku singkat.
Adel lalu membuka kancing kemeja Giordano putihku satu persatu. Adel lalu meletakkannya di hanger. Setelah itu kulepas kaus putih dan semua yang melekat padaku. Melepaskan pakaian terasa seperti melepaskan keimanan bagiku. Kulepaskan keimananku sampai tak tersisa. Kutatap Adel yang sedang sibuk mempersiapkan menu yang kupesan. Rasa gugup mulai menjalar seiring netraku yang menatap keindahan raga Adel. Wangi parfum wanita berkulit kuning langsat ini semakin membuaiku menuju khayalan tingkat tinggi.Â
Dengan keimanan yang sudah kutanggalkan dan penampilan Adel yang lebih mirip dengan superhero Wonder Woman, kira-kira apa yang akan terjadi disini? Entahlah. Setiap berada di kotak ajaib ini, dua pertiga akalku hilang berganti penuh hasrat. Sepertiga akal yang tersisa, terus mengingat aturan tak tertulis disini: Jangan pakai hati semua hanya transaksi.
Adel lalu menyuruhku berbaring. Menit-menit berikutnya, aku menikmati menu yang kupesan. Perlahan namun pasti, setan-setan mulai berpesta. Mereka bernyanyi, menari dan bergembira diiringi deru yang menggebu. Malu-malu, aku pun mulai mengikuti iramanya. Menikmati nafsu yang kali ini berjubah kesenangan. Jangan tanyakan dimana keimananku, bukankah sudah kutanggalkan tadi. Kau tak ingat?
Sambil menikmati menu, Adel mengajakku berbincang. Dia menanyakan pekerjaan, tempat tinggal, hobi, bahkan penghasilan dan status pernikahanku. Aku pun balik bertanya, asal daerah, usia, sudah berapa tamu yang dilayani, pengalaman unik, dan lain-lain. Ternyata ia berusia 24 tahun, sudah pernah menikah dan memiliki dua orang anak laki-laki. Statusnya kini janda karena suami yang tidak bertanggungjawab. Tak terlalu kuanggap serius karena bisa jadi itu hanya bualan untuk mencari simpati. Bahkan aku tidak percaya Adelia itu nama aslinya. Bisa jadi namanya Asih, Surti, Neneng, atau Wati, sebut saja salah satu nama.
Bukan hal aneh bila wanita-wanita seperti Adel bertabiat gold digger. Ia hanya akan memandang aku sebagai mesin uang saja. Lagi pula sisa akalku pun masih bisa mengingat aturan sakral disini. Masih ingat kan? Perlakuan mesra yang diberikan hanya sekedar layanan, tak lebih. Bukan soal hati apalagi cinta. Bukan, sekali lagi bukan.
Sudah satu jam berlalu, menu yang kupesan hampir selesai. Tiba saatnya hidangan penutup. Pikiranku sudah mengkhayal tentang hidangan penutup yang belum pernah aku coba dari dua kali kunjunganku ke tempat ini.
"Mmmm, mas Ferdi mau happy ending yang biasa atau yang spesial?" tanya Adel dengan senyum genitnya.
"Mmm...Yang spesial dong," jawabku singkat.
Adel lalu menawarkan menu spesial beserta besaran tips yang harus kuberikan padanya. Kupilih salah satunya tanpa menawar harga. Tanpa basa basi Adel pun beraksi menyajikan hidangan penutup spesial yang kuminta. Ia juga menanggalkan semua keimanannya. Holy shit! She fulfill my wild imagination. Fly my to the seventh sky. Aku begitu menikmati setiap detiknya hingga terpuas hasratku. Dan akhirnya.... God damn! She do it all good.Â
Lelah kini terasa. Pendingin udara tak mampu menghalau peluhku. Aku terbaring lemah. Mataku terpejam sejenak lalu dua pertiga akalku yang hilang berangsur kembali. Ketika kubuka mata, kulihat puing keimanan berserakan. Entah bagaimana nanti aku memugarnya kembali.
"Mas Ferdi istirahat aja dulu. Adel bersih-bersih dulu yah," ucap Adel sambil bangkit meraih handuk dan menuju kamar mandi. Tak lama kemudian, ia memanggilku masuk kamar mandi. Ia membantu membersihkan badanku, walau yang kurasa malah semakin kotor. Â
Dan selesai sudah transaksi itu. Kupakai kembali pakaianku. Adel mengancingkan kemejaku dengan mesra. Kubuka dompetku, kuserahkan beberapa lembar merah pada Adel. Ia lalu menerima dan menghitungnya.
"Asyik! Adel dibayar lebih, terimakasih banyak yah mas Ferdi. Jangan kapok sama Adel yah!" Adel tampak senang sekali. Ia lalu memelukku dan mendaratkan kecupan pada pipiku. Aku hanya tersenyum tipis.
"Oh iya mas Ferdi, boleh minta nomor teleponnya? Kalau Adel kangen, kan nanti bisa telepon mas Ferdi," pinta Adel sambil mengeluarkan gawai dari tasnya. Kusebutkan deretan nomor. Tentu saja bukan nomor pribadiku.
"Adel kirim chat barusan, save nomor Adel yah, biar kita bisa saling intip status." Adel lalu membuka tasnya dan mengeluarkan peralatan make up-nya. Ia mematutkan wajahnya pada cermin kecil lalu memoles bedak dan lipmatte.
Tiba-tiba telepon kotak ajaib berdering, tanda peringatan bahwa waktu telah habis. Adel lalu mengangkatnya. Sejenak ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon sambil bercanda.
"Yuk mas Ferdi, Adel antar ke kasir," ujar Adel sambil menggamit lenganku. Â Â Â Â Â
Dengan langkah gontai aku membuka pintu keluar. Selesai sudah. Yang tersisa kini hanya rasa sesal. Dan begitu siklus ini berulang, entah sampai kapan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H