Mohon tunggu...
Risman Mardiana
Risman Mardiana Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

USA (Urang Sunda Asli) | @risman.mard | Japanese Interpreter | Food Traveler | Alumnus of Universitas Padjadjaran | Fan of @AgnezMo

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Taman Alam Lumbini: Pagoda Megah di Dataran Tinggi Karo

21 Mei 2017   19:47 Diperbarui: 22 Mei 2017   09:48 9932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tugu Jeruk di Simpang Tongkoh
Tugu Jeruk di Simpang Tongkoh
Simpang Tongkoh ditandai oleh berdirinya tugu tiga buah jeruk. Jika bis yang tadi saya tumpangi terus melaju ke arah jalan yang lurus, maka untuk menuju ke Taman Alam Lumbini, saya harus berjalan kaki ke arah jalan yang kiri. Untuk memastikan jalan, saya tidak lupa bertanya kepada warga yang saya temui di sana. Sebetulnya, kita bisa naik angkot untuk tiba di ‘gerbang’ Taman Alam Lumbini, namun jika naik angkot, kita tetap harus berjalan kaki dari ‘gerbang’ tersebut ke pintu masuk Taman Alam Lumbini. Jadi saya pikir, lebih baik berjalan kaki saja, sekalian saya menikmati perkebunan stroberi di kanan-kiri jalan. Suasana pegunungan ini mirip dengan Ciwidey di kabupaten Bandung. Sejuk, sehingga berjalan kaki selama kurang lebih 15 menit tidak terasa. 

Pagoda dari Kejauhan
Pagoda dari Kejauhan
Dari jalan, ujung stupa pagoda sudah terlihat, pertanda tempat yang saya tuju tidak jauh lagi. Setelah tiba di pintu masuk, saya menulis buku tamu di pos sekuriti, tas saya diperiksa oleh salah seorang sekuriti di sana. Untuk masuk ke Taman Alam Lumbini pengunjung tidak dikenakan biaya apa pun a.k.a gratis, namun pengunjung harus menaati semua peraturan yang berlaku di sana, termasuk tidak boleh membawa makanan dan minuman masuk ke dalam, sehingga dua botol minuman bekal saya dari Medan, terpaksa saya titipkan di pos sekuriti. Namun kemudian minuman tersebut saya ambil kembali setelah saya menyelasaikan kunjungan di sana.

Saat saya memasuki pintu masuk, terlihat bangunan megah berwarna emas, tempat ibadah umat Buddha, mirip dengan pagoda emas yang ada di Myanmar, walaupun sebetulnya saya sendiri belum pernah berkunjung ke Myanmar, hanya tahu dari literasi yang pernah saya baca :D

Dan, memang ternyata benar, pagoda yang terdapat di Taman Alam Lumbini ini merupakan replika dari pagoda Shwedagon yang terdapat di Yangon, Myanmar. Menurut literasi yang saya baca, pagoda ini diresmikan pada Oktober 2010 dan memiliki tinggi 46,8 meter, sehingga menjadikannya pagoda tertinggi di Indonesia.

Saya kurang beruntung, karena hari itu pagoda sedang digunakan untuk beribadah, sehingga pengunjung non-Buddhist selama seharian tidak diperkenankan masuk ke dalam bangunan pagoda, hanya bisa melihat-lihat dari luar. Namun saya tidak berkecil hati, meskipun dari luar, saya bisa menikmati keindahan arsitektur dari bangunan ini. Saya berkeliling melihat relief-relief pagoda yang indah.

Di belakang pagoda, terdapat taman indah yang bisa dinikmati. Taman tersebut dilengkapi oleh jembatan gantung sepanjang kurang lebih 20 meter. Namun karena sesuatu hal (baca: fobia ketinggian :D), saya putuskan untuk tidak melintasi jembatan gantung tersebut. Bagi yang memiliki fobia akan ketinggian - seperti saya - pihak pengelola menyediakan anak tangga untuk turun ke dasar taman yang dilengkapi beberapa gazebo untuk beristirahat. Sesaat setelah menuruni anak tangga, saya beristirahat duduk-duduk di gazebo di taman, sambil menyeka keringat yang menetes.

grid-59218c49cf7e610443f691f8.jpg
grid-59218c49cf7e610443f691f8.jpg
Tidak lama kemudian, saya kembali ke bangunan pagoda untuk mengambil beberapa foto. Hari itu tidak terlalu banyak pengunjung, sehingga saya bisa mengabadikan bangunan pagoda dari berbagai sudut tanpa halangan yang berarti.

Hanya sekitar 1 jam-an saya berada di Taman Alam Lumbini. Saya pikir sudah cukup untuk mengelilingi taman alam seluas 3 Ha ini, sehingga saya putuskan untuk segera kembali ke kota Medan. Ditambah esok harinya ada agenda kantor yang harus saya selesaikan. Saya kembali berjalan kaki menuju Simpang Tongkoh. Hari itu matahari sudah ada di atas kepala saya, pertanda saya harus mengisi perut saya yang mulai keroncongan.

Setelah makan siang di salah satu warung nasi muslim di sekitar Simpang Tongkoh, saya pun menyetop bis mikro untuk kembali ke Medan. Kali ini saya naik PO Sinabung yang besar bisnya sebesar mobil elf di Jawa. Dengan ongkos yang sama, Rp 10.000, saya lebih cepat sampai di kota Medan, hanya membutuhkan waktu 1,5 jam saya sudah sampai di Simpang Pos, kota Medan. Dari sana, saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ojek online ke hotel tempat saya menginap.

Perjalanan solo kali ini sangat berkesan. Saya bisa menikmati bagian lain dari Sumatera Utara, selain kota Medan. Keragaman penduduk di Sumatera Utara sangat unik, dan sangat menarik hati saya. Meskipun terdiri dari berbagai etnis, suku, sub-suku, bahasa, juga agama, mereka bisa hidup berdampingan tanpa gesekan yang berarti. Semoga saya diberi kesempatan lagi untuk mengunjungi bagian lain dari Sumatera Utara.. Amin.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun