Mohon tunggu...
Risman Mardiana
Risman Mardiana Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

USA (Urang Sunda Asli) | @risman.mard | Japanese Interpreter | Food Traveler | Alumnus of Universitas Padjadjaran | Fan of @AgnezMo

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Taman Alam Lumbini: Pagoda Megah di Dataran Tinggi Karo

21 Mei 2017   19:47 Diperbarui: 22 Mei 2017   09:48 9932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah kali ke-5 saya berkunjung ke Medan, Sumatera Utara, untuk urusan pekerjaan. Hampir semua sudut kota Medan pernah saya jelajahi. Namun, masih banyak tempat wisata di Sumatera Utara lain yang belum pernah saya kunjungi. Selain Samosir/Danau Toba dan air terjun Sipiso-piso, Berastagi adalah salah satu kota kecamatan di Sumatera Utara yang ingin saya kunjungi.

Pernah saya agendakan untuk berkunjung ke Berastagi pada kunjungan sebelumnya, tapi diurungkan karena gunung Sinabung meletus, sehingga Berastagi yang terletak di Kabupaten Karo terkena imbasnya, minimal abu letusan akan sampai ke sana. Secara geografis, Berastagi yang berada di ketinggian 1.300 mdpl ini, diapit oleh dua gunung api aktif, yaitu gunung Sinabung dan gunung Sibayak (wikipedia).

Saat melihat agenda pekerjaan saya di Medan yang tidak terlalu padat, sebelum tiba di Medan, saya putuskan untuk berkunjung ke Taman Alam Lumbini, yang terletak di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolatrayat, Kabupaten Karo, tidak jauh dari Berastagi.

Rabu tanggal 17 Mei 2017, adalah hari ke-4 saya berada di kota Medan. Kebetulan, hari itu saya sedang tidak ada agenda untuk urusan pekerjaan. Setelah melakukan blog walking dan tanya kanan-kiri, saya membuat itinerary sederhana untuk kunjungan saya ke Dataran Tinggi Karo tersebut.

Jam 08:00 pagi setelah sarapan di hotel, saya bergegas memesan ojek online ke Simpang Pos. Saya turun di dekat flyover Jamin Ginting, tempat mangkal bis mikro/elf yang akan mengantarkan saya ke tujuan. Di sana saya naik bis mikro jurusan Medan - Kabanjahe dari Perusahaan Otomotif (PO) Sumatera Transport. Selain PO Sumatera Transport, ada beberapa PO yang mempunyai trayek yang sama, seperti PO Sinabung, dan yang lainnya. Tidak ada alasan khusus kenapa saya pilih PO Sumatera Transport, karena saya memilihnya secara acak. 

Sebelum naik bis mikro tersebut, tidak lupa saya berbicara kepada abang kernet agar diturunkan di Simpang Tongkoh, karena saya akan berkunjung ke “Pagoda”. 

Ya, P-A-G-O-D-A! Nama “Taman Alam Lumbini” sendiri kurang familiar untuk warga Sumatera Utara. Mereka lebih mengenal dengan nama “pagoda di (Simpang) Tongkoh”.

Sekitar 10 menit setelah saya masuk, bis langsung melaju. Di luar dugaan memang, saya pikir bis akan ngetem lama untuk menunggu kursi penuh, tapi ternyata tidak. Bagus pikir saya waktu itu, karena bisa menghemat waktu perjalanan saya. Bis yang lajunya tidak terlalu kencang, ternyata banyak berhenti di jalan untuk menaikkan penumpang lain. 

Bis PO Sumatera Transport ini kalau di daerah Bandung, besarnya sama dengan bis kobutri jurusan Cicaheum - Majalaya. Sehingga, penumpang yang naik setelah kursi penuh, akan berdiri. Ternyata berbeda dengan awal-awal, ketika bis sudah penuh dengan penumpang, laju bis ini cukup kencang. Sang supir seperti tidak menghiraukan medan jalan antara kota Medan dan Kabanjahe yang menanjak dan berliku.

Di sepanjang jalan saya disuguhi pemandangan khas pegunungan. Tidak ada kemacetan yang berarti karena hari itu bukan hari libur. Bis yang dilengkapi dengan tv flat, memutar lagu-lagu berbahasa Batak dengan volume suara yang cetar membahana, semakin menegaskan jika saat itu saya memang sedang berada tanah Batak :)

Setelah dua jam perjalanan, abang kernet berteriak “Tongkoh.. Tongkoh!”, pertanda saya harus segera turun dari bis. Saya hanya membayar Rp 10.000 untuk perjalanan saya kali ini. Relatif sangat murah, mengingat perjalanan ini berjarak lebih dari 50 KM, dan sudah berada di luar kota Medan.

Tugu Jeruk di Simpang Tongkoh
Tugu Jeruk di Simpang Tongkoh
Simpang Tongkoh ditandai oleh berdirinya tugu tiga buah jeruk. Jika bis yang tadi saya tumpangi terus melaju ke arah jalan yang lurus, maka untuk menuju ke Taman Alam Lumbini, saya harus berjalan kaki ke arah jalan yang kiri. Untuk memastikan jalan, saya tidak lupa bertanya kepada warga yang saya temui di sana. Sebetulnya, kita bisa naik angkot untuk tiba di ‘gerbang’ Taman Alam Lumbini, namun jika naik angkot, kita tetap harus berjalan kaki dari ‘gerbang’ tersebut ke pintu masuk Taman Alam Lumbini. Jadi saya pikir, lebih baik berjalan kaki saja, sekalian saya menikmati perkebunan stroberi di kanan-kiri jalan. Suasana pegunungan ini mirip dengan Ciwidey di kabupaten Bandung. Sejuk, sehingga berjalan kaki selama kurang lebih 15 menit tidak terasa. 

Pagoda dari Kejauhan
Pagoda dari Kejauhan
Dari jalan, ujung stupa pagoda sudah terlihat, pertanda tempat yang saya tuju tidak jauh lagi. Setelah tiba di pintu masuk, saya menulis buku tamu di pos sekuriti, tas saya diperiksa oleh salah seorang sekuriti di sana. Untuk masuk ke Taman Alam Lumbini pengunjung tidak dikenakan biaya apa pun a.k.a gratis, namun pengunjung harus menaati semua peraturan yang berlaku di sana, termasuk tidak boleh membawa makanan dan minuman masuk ke dalam, sehingga dua botol minuman bekal saya dari Medan, terpaksa saya titipkan di pos sekuriti. Namun kemudian minuman tersebut saya ambil kembali setelah saya menyelasaikan kunjungan di sana.

Saat saya memasuki pintu masuk, terlihat bangunan megah berwarna emas, tempat ibadah umat Buddha, mirip dengan pagoda emas yang ada di Myanmar, walaupun sebetulnya saya sendiri belum pernah berkunjung ke Myanmar, hanya tahu dari literasi yang pernah saya baca :D

Dan, memang ternyata benar, pagoda yang terdapat di Taman Alam Lumbini ini merupakan replika dari pagoda Shwedagon yang terdapat di Yangon, Myanmar. Menurut literasi yang saya baca, pagoda ini diresmikan pada Oktober 2010 dan memiliki tinggi 46,8 meter, sehingga menjadikannya pagoda tertinggi di Indonesia.

Saya kurang beruntung, karena hari itu pagoda sedang digunakan untuk beribadah, sehingga pengunjung non-Buddhist selama seharian tidak diperkenankan masuk ke dalam bangunan pagoda, hanya bisa melihat-lihat dari luar. Namun saya tidak berkecil hati, meskipun dari luar, saya bisa menikmati keindahan arsitektur dari bangunan ini. Saya berkeliling melihat relief-relief pagoda yang indah.

Di belakang pagoda, terdapat taman indah yang bisa dinikmati. Taman tersebut dilengkapi oleh jembatan gantung sepanjang kurang lebih 20 meter. Namun karena sesuatu hal (baca: fobia ketinggian :D), saya putuskan untuk tidak melintasi jembatan gantung tersebut. Bagi yang memiliki fobia akan ketinggian - seperti saya - pihak pengelola menyediakan anak tangga untuk turun ke dasar taman yang dilengkapi beberapa gazebo untuk beristirahat. Sesaat setelah menuruni anak tangga, saya beristirahat duduk-duduk di gazebo di taman, sambil menyeka keringat yang menetes.

grid-59218c49cf7e610443f691f8.jpg
grid-59218c49cf7e610443f691f8.jpg
Tidak lama kemudian, saya kembali ke bangunan pagoda untuk mengambil beberapa foto. Hari itu tidak terlalu banyak pengunjung, sehingga saya bisa mengabadikan bangunan pagoda dari berbagai sudut tanpa halangan yang berarti.

Hanya sekitar 1 jam-an saya berada di Taman Alam Lumbini. Saya pikir sudah cukup untuk mengelilingi taman alam seluas 3 Ha ini, sehingga saya putuskan untuk segera kembali ke kota Medan. Ditambah esok harinya ada agenda kantor yang harus saya selesaikan. Saya kembali berjalan kaki menuju Simpang Tongkoh. Hari itu matahari sudah ada di atas kepala saya, pertanda saya harus mengisi perut saya yang mulai keroncongan.

Setelah makan siang di salah satu warung nasi muslim di sekitar Simpang Tongkoh, saya pun menyetop bis mikro untuk kembali ke Medan. Kali ini saya naik PO Sinabung yang besar bisnya sebesar mobil elf di Jawa. Dengan ongkos yang sama, Rp 10.000, saya lebih cepat sampai di kota Medan, hanya membutuhkan waktu 1,5 jam saya sudah sampai di Simpang Pos, kota Medan. Dari sana, saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ojek online ke hotel tempat saya menginap.

Perjalanan solo kali ini sangat berkesan. Saya bisa menikmati bagian lain dari Sumatera Utara, selain kota Medan. Keragaman penduduk di Sumatera Utara sangat unik, dan sangat menarik hati saya. Meskipun terdiri dari berbagai etnis, suku, sub-suku, bahasa, juga agama, mereka bisa hidup berdampingan tanpa gesekan yang berarti. Semoga saya diberi kesempatan lagi untuk mengunjungi bagian lain dari Sumatera Utara.. Amin.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun