Mohon tunggu...
Risman Aceh
Risman Aceh Mohon Tunggu... profesional -

Anak Pantai Barat Selatan Aceh. @atjeh01

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Teumamong (Kerasukan Raja Aceh)

16 Januari 2011   13:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:31 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Saya bersaksi bahwa sesungguhnya Aceh adalah Tanoh Impian dan saya bersaksi bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat Aceh." (SahAdat Aceh)

__________


Pagi ini tidak seperti biasanya. Agak berkabut. Hujan semalam tampaknya masih menyisakan kabut tebal. Anginpun sesekali menerpa daun-daun dari beberapa pohon tua yang masih tersisa di pinggir area lapangan sekolah SLTA 104, Ceurih, Ulee Kareng, Banda Aceh.

Sekumpulan siswa (i) dan sejumlah guru sudah mulai tampak dilapangan. Sebentar lagi upacara bendera akan dilangsungkan. Salah seorang dari rombongan anggota DPRA yang bermaksud melakukan kunjungan kerja ke sekolah sudah setuju untuk menjadi pembina upacara bendera.

Rupanya, sang anggota DPRA dari beberapa partai besar itu sudah lama memendam hasrat untuk mendorong semua sekolah agar kembali menggalakkan pendidikan sejarah Aceh. Itu pula yang menjadi salah satu alasan mereka untuk melakukan kunjungan dan sudah sejak sebulan lalu menyampaikan apa yang sedang dirasakannya kepada pihak sekolah.

Mereka merasa sudah saatnya sejarah Aceh diajarkan dengan benar dan lebih dalam agar generasi muda kembali memiliki kesadaran keacehan yang kuat. Mereka juga merasa sangat prihatin kala mendengar kabar kalau daerah lain bisa menjadikan kisah dongeng sebagai fakta sejarah sementara banyak fakta sejarah di Aceh yang malah menjadi kisah dongeng.

***

"Kepada pembina upacara, hormat bendera, grak!"

Intruksi pemimpin upacara itu langsung diikuti gerak sigap tim petugas penggerek bendera. Dengan satu kode kecil mereka siap untuk menaikkan bendera merah putih dengan diikuti lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan secara bersama-sama.

Tapi, sebelum lagu indonesia Raya dinyanyikan sebuah kejadian mendadak menjadi pemandangan yang menegangkan. Sang pemimpin upacara tiba-tiba jatuh terhempas ke tanah dan tubuhnya menggelepar sambil menjerit-jerit histeris.

Sontak semua aktifitas upacara terhenti. Anehnya, ketegangan awal itu langsung memicu terjadinya histeria massal dari kalangan siswi. Suasana yang tadinya begitu khidmat berubah menjadi gaduh akibat teriakan yang diikuti suara tangis.

Beberapa guru langsung melakukan tindakan yang bisa mereka lakukan. Ada pula yang secara reflek membaca ayat-ayat kitab suci. Ada juga yang berinisiatif melakukan adzan. Para ibu guru juga tidak tinggal diam. Dengan minyak angin dan air botol mencoba menenangkan siswi-siswi yang oleh mereka disebut sedang mengalami kerasukan makhluk halus.

Isu dan spekulasipun mulai bermunculan. Ada yang menyebut ini akibat pemotongan satu pohon tua dipinggir jalan yang katanya untuk kepentingan pembuatan parit pencegah banjir. Ada juga yang mulai berpikir ini ulah para dukun yang sedang menguji ilmu hitamnya.

Meski begitu, ada pula beberapa guru yang mengatakan ini hanya sekedar histeria massa akibat beratya beban yang dialami oleh para murid selama Aceh damai. Soalnya, banyak mata pelajaran tambahan yang diminta untuk diajarkan di sekolah. Guru lain juga ada yang mengatakan ini akibat beban UN yang terlalu dipikirkan oleh siswa.

***

Akibat suasana belum juga pulih salah seorang anggota DPRA rupanya berinisiatif mengundang seorang Teungku yang kebetulan tinggal tidak jauh dari sekolah. Menurut informasi yang diterima, Teungku yang berasal dari Meulaboh itu punya kemampuan "lebih."

Dengan sigap Teungku Meulaboh itupun melakukan pendeteksian cepat. Hanya dengan memegang kepala beberapa siswi yang sedang kesurupan langsung mengetahui jenis kesurupan yang sedang dialami.

Dalam bahasa Aceh Teungku Meulaboh mulai bertanya. Ia berharap dapat segera mengetahui motif makhluk halus merasuki para siswi. "Siapa kamu? Untuk apa kemari? Katakan apa maksud kedatangan? Kalau anda jin silahkan pergi. Jika tidak, saya terpaksa menggunakan cara saya."

"Saya bukan jin. Saya Raja Aceh. Saya mau berkunjung saja. Tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu. Saya hanya mau lihat sudah sampai dimana kemajuan Aceh? Apa sudah bisa mencapai apa yang pernah kami capai dulu?" jawab salah satu siswi dengan suara yang agak parau.

Sementara pada siswi yang lain Teungku Meulaboh menemukan jawaban yang kira-kira berbunyi sebagai berikut: "Saya Sultanah Aceh. Bukan jin. Saya kemari karena sedih. Tidak ada lagi perempuan Aceh yang tampil sebagai pemimpin tertinggi di Aceh. Mereka justru lebih banyak menjadi pengikut suami yang kerap pula diancam oleh suaminya karena beraktifitas."

"Saya Teungku Mamplam. Saya ini ulama. Masak kamu bilang jin. Tuh, disana yang lagi banyak bohongnya kamu bilang jin. Saya bukan jin. Saya ini yang dulu melawan Kafir Belanda hingga Jepang meski hanya dengan sebilah rencong. Bukan seperti kalian, peralatan tempur sudah lengkap tapi masih saja banyak pulau-pulau yang dicuri. Diantara kalian cuma bisa teriak Belanda masih jauh. Padahal Belanda sudah masuk ke istana. "

"Oke, jangan berbelit dan menyindir. Katakan apa maumu. Ini anak orang sudah kelelahan karena kerasukan kamu. Cepat katakan!"

"Saya hanya mau tahu kenapa rakyat Aceh belum juga memiliki gambaran masa depannya. Seharusnya semua rakyat sudah punya gambaran masa depannya sehingga semua orang juga sudah tahu apa yang harus dilakukan sejak dini. Kalau rakyat Aceh saja begini bagaimana dengan rakyat-rakyat yang lain. Bisa diobok-obok terus sama si Belanda masih jauh.."

"Sekarang kamu. Katakan siapa kamu dan apa maumu?"

"Saya ini GAM, yang dulu ditembak oleh yang kalian sebut orang tidak dikenal. Saya berjuang karena saya percaya perjuangan ini untuk meningkatkan harkat dan martabat semua orang Aceh. Kami berjuang untuk bangsa Aceh dan menegakkan kedaulatan bangsa Aceh. Rakyat Acehlah yang berdaulat di tanoh Aceh. Bukan kami apalagi satu diantara kami. Bukan juga orang dari bangsa lain apalagi untuk maksud menjajah Aceh. Saya boleh mati. Dan sekalipun kalian belum menggelar pengadilan HAM dan membentuk KKR saya bisa lega jika tanoh Aceh ini kalian sirami dengan kemakmuran dan keadilan."

"Sudah? Jika sudah, silahkan keluar!"

"Tunggu dulu! Saya khawatir dengan pemimpin kalian sekarang. Kok, masih saja suka berbohong. Itu 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru mau dibagaimanakan?"

"Sudahlah itu bukan urusan orang sudah mati. Nanti saya tanyakan ke kompasianer saja."

***

Begitulah umumnya pengakuan yang diperoleh. Dan berdasarkan uji keadaan secara cepat lewat dialog Aceh itulah Teungku Meulaboh mengusulkan kepada anggota rombongan DPRA dari beberapa parpol besar itu untuk membacakan sesuatu yang sudah ditulisnya di kertas, secara serentak lewat mikropon.

"Jadi, kami semua harus membacakan syahadat ini dengan suara nyaring?"

"Betul! Baca dengan keras dan nyaring serta penuh penghayatan. Itu bukan syahadat tapi SahAdat Aceh."

Setelah berdiri secara rapi dan tegap serta menarik nafas seperlunya maka secara serentak mereka mengucapkan SahAdat Aceh:

"Saya bersaksi bahwa sesungguhnya Aceh adalah Tanoh Impian dan saya bersaksi bahwa kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat Aceh."

Pelan tapi pasti suasana histeria massa atau kesurupan atau teumamong yang dialami oleh siswi-siswi tadi menjadi pulih seiring dengan menghilangnya kabut tebal akibat terpaan sinar matahari. Sementara itu matahari kesadaran mulai merasuki ruang hati para anggota DPRA yang memilih untuk mereskidul kegiatan pertemuan dengan pihak sekolah. Mereka mulai merasa bukan soal sejarah Aceh yang menjadi paling utama melainkan soal nafsu kekuasaan yang masih harus dikendalikan lebih kuat lagi agar tidak terjebak dalam pandangan sempit dan eksklusif.

Saleum

Risman A Rachman

Keterangan:

Tanoh - Tanah

Teumamong - kerasukan makhluk halus

DPRA - Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

SahAdat - kata ini tidak ada dalam bahasa Aceh. Kata ini terinspirasi dari kata syahadat. Jadi sahadat aceh adalah penegasan kembali jatidiri keacehan agar menempatkan Aceh sebagai tanah impian dan bukan tanah warisan. Sahadat Aceh ini ada kaitannya dengan Rancangan Qanun (Perda) Lembaga Wali Nanggroe yang sedang diajukan oleh DPRA Aceh yang secara substansi sangat bernuansa monarki. Dengan sahadat penulis berharap spirit demokrasi terus ada, setidaknya di bumi Aceh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun