"Oke, jangan berbelit dan menyindir. Katakan apa maumu. Ini anak orang sudah kelelahan karena kerasukan kamu. Cepat katakan!"
"Saya hanya mau tahu kenapa rakyat Aceh belum juga memiliki gambaran masa depannya. Seharusnya semua rakyat sudah punya gambaran masa depannya sehingga semua orang juga sudah tahu apa yang harus dilakukan sejak dini. Kalau rakyat Aceh saja begini bagaimana dengan rakyat-rakyat yang lain. Bisa diobok-obok terus sama si Belanda masih jauh.."
"Sekarang kamu. Katakan siapa kamu dan apa maumu?"
"Saya ini GAM, yang dulu ditembak oleh yang kalian sebut orang tidak dikenal. Saya berjuang karena saya percaya perjuangan ini untuk meningkatkan harkat dan martabat semua orang Aceh. Kami berjuang untuk bangsa Aceh dan menegakkan kedaulatan bangsa Aceh. Rakyat Acehlah yang berdaulat di tanoh Aceh. Bukan kami apalagi satu diantara kami. Bukan juga orang dari bangsa lain apalagi untuk maksud menjajah Aceh. Saya boleh mati. Dan sekalipun kalian belum menggelar pengadilan HAM dan membentuk KKR saya bisa lega jika tanoh Aceh ini kalian sirami dengan kemakmuran dan keadilan."
"Sudah? Jika sudah, silahkan keluar!"
"Tunggu dulu! Saya khawatir dengan pemimpin kalian sekarang. Kok, masih saja suka berbohong. Itu 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru mau dibagaimanakan?"
"Sudahlah itu bukan urusan orang sudah mati. Nanti saya tanyakan ke kompasianer saja."
***
Begitulah umumnya pengakuan yang diperoleh. Dan berdasarkan uji keadaan secara cepat lewat dialog Aceh itulah Teungku Meulaboh mengusulkan kepada anggota rombongan DPRA dari beberapa parpol besar itu untuk membacakan sesuatu yang sudah ditulisnya di kertas, secara serentak lewat mikropon.
"Jadi, kami semua harus membacakan syahadat ini dengan suara nyaring?"
"Betul! Baca dengan keras dan nyaring serta penuh penghayatan. Itu bukan syahadat tapi SahAdat Aceh."