Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Rengkuh Pikirnya, Sentuh Hatinya, dan Hentikan Kekerasan

16 Februari 2020   15:31 Diperbarui: 18 Februari 2020   03:41 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya merasa semakin tertarik untuk membahas soal perundungan atau kekerasan di sekolah. Tentunya setelah membaca banyak artikel berkaitan dengan hal ini, ditambah lagi berbagai media sosial yang bertaburan video dan komentar.

Saya mengamati bahwa di kalangan pendidik pun masih semacam berada dalam situasi dilematis antara ya dan tidak terhadap cara kekerasan yang digunakan dalam mendidik. Ditambah lagi pendapat pro kontra dari masyarakat.

Bagi saya, di era industri yang semakin maju dimana mustinya kita menjadi lebih ilmiah, dengan penguasaan teknologi yang semakin canggih dan kaya argumentasi. 

Perkembangan cara berpikir pun semustinya lebih ditekankan kepada wilayah otak berpikir yang mengutamakan rasionalitas, logika, dan berpikir jangka panjang tentang sebab akibat, daripada mengandalkan otak reptil atau yang disebut otak primitif yang berciri khas perilaku emosional dan impulsif (merespon tanpa pikir panjang).

Peristiwa pemukulan yang dilakukan oleh seorang Guru di Bekasi menjadi peristiwa terpublikasi yang hangat belakangan ini.

Sebagai Guru saya ingin obyektif melihat dari sisi pelaku maupun korban. Pendapat saya siapapun pelakunya baik Guru maupun siswa, tindakan kekerasan tetap tak layak dilestarikan di lembaga sekolah. 

Masyarakat pun tetap harus menghormati hak-hak korban untuk dilindungi dan melakukan pelaporan. 

Untuk penyelesaiaannya tentu saja tidak harus dibawa ke ranah hukum atau selalu berujung pemecatan. Penyelesaian dapat dilakukan dengan cara kekeluargaan.  

Saya pikir pihak berwenang seharusnya melihat situasi dan kondisi, salah satunya kondisi korban. Apakah korban menderita kerugian fisik atau luka yang cukup parah? Tidak dapat melakukan aktifitas ? Adakah cedera atau kelumpuhan yang diakibatkan? 

Jika korban pelapor memang merasa sakit tetapi bukan luka parah dan bisa beraktifitas seperti biasa, tentunya kekeliruan ini dapat diselesaikan baik-baik.

Dari sisi pelaku juga perlu dikaji. Apakah sosok bersangkutan kerap melakukan kekerasan? Bagaimana pengamatan siswa lain dan warga sekolah mengenai pribadi atau kinerjanya?

Jika ranahnya terbukti termasuk kategori kriminal, lebih bijak melibatkan pihak kepolisian yang lebih berwenang menangani hal ini. 

Pasca peristiwa kekerasan yang diduga dilakukan seorang Guru dan kemudian terpublikasi, penonaktifan sementara menjadi pilihan bijak guna menjaga situasi kondusif di sekolah, sambil menimbang langkah pengkajian guna pengambilan keputusan selanjutnya. Jangan terburu-buru menetapkan keputusan yang malah terkesan sama-sama emosionalnya. 

Kekerasan tidak boleh menjadi alasan untuk mendisiplinkan siswa

Kekerasan bukan menjadi alasan yang boleh dilakukan untuk mendisiplinkan siswa. Tentu saja kita perlu cermat memperhatikan pengertian dari kekerasan atau saat ini lebih sering digunakan istilah perundungan. 

Istilah perundungan yang intinya hampir sama dengan kekerasan, yakni menggunakan kekuatan untuk mengintimidasi atau menyakiti orang lain yang lebih lemah dengan maksud memaksa agar korban mengikuti kemauannya. Hanya saja perundungan memiliki pengertian lebih luas yakni termasuk perilaku mengusik atau mengganggu terus menerus. 

Tentu saja meski tidak sampai menyebabkan cedera serius, perilaku yang cenderung berbau tindak kekerasan seperti memukul, menampar atau menendang, tidaklah diijinkan.

Dapat kita bayangkan perilaku itu dilakukan dengan emosional dan dalam kondisi demikian kekuatan kita menjadi bertambah berkali lipat. Tentu saja tindakan fisik yang dilakukan terhadap orang lain menjadi lebih bersiko.

Saya menyayangkan pendapat yang membandingkan bahwa dahulu para Guru juga sering melakukan kekerasan. Tetapi siswanya juga tenang-tenang saja, tidak ada yang protes.

Meski penghapus melayang membuat jidat berdarah, penggaris kayu menyabet pedas betis, rotan yang dicambuk melukai kaki atau tangan, dan sedikit pusing setelah gamparan mendarat di pipi.

 Ya jelas saja, karena ketika itu saluran untuk melaporkan kekerasan sangat terbatas., atau ketika kondisi siswa juga sangat inferior misalnya berasal dari keluarga miskin.  

Saat ini meski korban tidak melaporkan, sebuah peristiwa dapat dengan mudah diunggah di media sosial sehingga semua orang dapat melihat.

Kebiasaan para Guru yang "ringan tangan" tidak pantas untuk diterus-teruskan. Percuma mempelajari Pemahaman individu atau Perkembangan Peserta Didik, kalau sedikit-sedikit "main tangan". Mendingan dahulu belajar bertinju saja. Bukankah bekal ilmu yang didapat di bangku kuliah harusnya menjadi referensi dalam menangani siswa?

Hukuman fisik tidaklah tabu, tetapi carilah yang bermanfaat.

Tidak melakukan kekerasan bukan berarti tabu terhadap hukuman fisik. Tentu saja hukuman fisik dengan bentuk yang tepat dan bermanfaat. Jangan melibatkan benturan fisik guru dengan siswanya. Contoh push up, atau lari keliling lapangan.

Pastikan siswa sehat saat melakukannya dan pastikan frekuensi jumlahnya wajar, sehingga dapat dihitung sekaligus sebagai aktifitas olahraga.

Hukuman fisik dapat juga berbentuk kerja bakti atau bersih-bersih. Di sekolah kami siswa yang sedang dalam proses pembinaan selalu mendapat hukuman seperti ini. 

Mulai dari bersih-bersih dan mengepel masjid sekolah. Membersihkan bengkel praktek, membabat semak rumput di lapangan voli atau sepak bola, atau bersih-bersih kamar mandi juga boleh. Bermanfaat 'kan bagi sekolah? Bagi siswa juga berarti belajar kerja keras, kebersihan, dan memelihara fasilitas sekolah.

Kalau kita pukul dan tampar apa manfaatnya ? Apa juga manfaatnya buat lingkungan? Selain hanya puas melampiaskan emosi yang ujung-ujungnya membuat siswa sakit hati.

Anak-anak kita juga sarat dengan tantangan hidup.

Beberapa komentar di media sosial memberi cap bagi siswa yang melaporkan kekerasan yang dilakukan Guru terhadapnya. Siswa tersebut dikatakan cengeng, lemah, cemen dan lain-lain yang sejenis. 

Saya ingin berbagi realita kehidupan sebagian anak remaja kita. Sekian banyak siswa saya berada dalam taraf ekonomi keluarga menengah kebawah dan boleh dikatakan miskin.

Ada yang hanya mampu tinggal dalam satu kamar kos yang sumpek bersama ayah serta ibunya. Sebagian lagi adalah korban perceraian yang harus menderita karena konflik keluarga.

Sebagian hidup dengan ayah atau ibu tiri yang juga suka melakukan kekerasan dan mau tidak mau ia harus bertahan. Ada yang semenjak ibunya meninggal hampir setiap kali melihat ayahnya mabuk-mabukkan.

Ada yang dengan mata dan kepalanya sendiri melihat perselingkuhan orang tuanya. Ada yang harus menerima kenyataannya bahwa ibunya musti "menjual diri" untuk kebutuhan hidup. 

Saya ngin bertanya apakah ketika menghadapi perilaku seorang anak remaja, kita sudah sebelumnya memahami situasi dan kondisi mereka? Kondisi itu akan diketahui ketika kita bersedia bertanya dan membuka komunikasi hati ke hati dengan mereka. Bersedialah mendengar dan tidak buru-buru memberi penilaian. 

Orang tua dan Guru adalah Teladan

Apakah reaksi kita ketika siswa kita melakukan pemukulan terhadap siswa lain? Kita pasti marah kan? Tetapi jangan buru-buru....coba introspeksi, apakah kita juga suka menunjukkan perilaku memukul? Kata orang Jawa jangan seperti gajah yang di blangkoni, iso khotbah ora iso ngelakoni. Artinya bisanya hanya bicara tetapi tidak bisa menjalankan.

Banyak siswa memang berkarakter sulit, keras kepala dan pembangkang. Bahkan mungkin kakater siswa di setiap daerah berbeda-beda. Saya pernah bertemu dengan teman Guru dari suatu daerah. Ia sempat bercerita bahwa tipikal remaja di daerahnya memang berkarakter keras dan sulit diatur.

Tetapi tentunya tidaklah heran bahwa begitulah cara mereka dibesarkan dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Ada anak-anak yang suka berkata kasar, ternyata di rumah pun ia sering dimarahi orang tuanya dengan kalimat "kebun binatang".

Jadi menyoal perilaku, sebenarnya ada faktor terkait dengan hal yang dipelajari. Kita perlu melihat keseluruhan latar belakang, tidak hanya sebagian saja.

Mendekati siswa dengan karakter demikian memang perlu waktu berkesinambungan, bicara dari hati ke hati. Tetapi percayalah ketika sudah tersentuh hatinya, ia akan menyayangi kita. 

Meski terkadang perilakunya berubah-ubah, misalnya tiba tiba suka berbohong. Tetapi sekali lagi sebagai orang yang lebih dewasa pendidik dituntut lebih bijak mensikapi anak-anak dengan karakter demikian.  Sentuhlah hatinya, jangan pukul badannya. 

Bersikap profesional bukan emosional

Boleh saja terlibat secara emosi dalam menangani siswa. Ada rasa sayang, khawatir, prihatin, jengkel, marah atau kecewa. Tetapi tentunya bukan emosional alias perasaan yang berlebihan.

Biar bagaimanapun kita mencoba mendidik siswa di sekolah, masih ada orang tua, masih ada masyarakat. Artinya janganlah  Guru menjadi frustrasi dan akhirnya  emosional ketika perilaku siswanya tidak sesuai harapan

Ketika belum berhasil mendidik siswa jadi lebih baik, anggaplah siswa tersebut masih akan berproses panjang. Setiap orang menjalani proses kehidupan yang berbeda-beda kan?

Dalam konseling pun secara pribadi seorang Guru BK atau konselor dilarang terlibat secara hubungan pribadi dan emosional dengan klien atau siswanya. Begitupun semustinya sikap profesional seorang pendidik.

Ada kalimat yang sering saya dengar dari para Guru dan teman Guru, "Yah, untuk apa sih repot-repot ngurusin. Toh anaknya orang!" Saya pun pernah mengucapkan itu akibat lumayan jengkel saat menangani siswa yang nakalnya bukan main. 

Tetapi saya percaya kata-kata itu tidak diucapkan sungguh-sungguh dari hati. Hanya sekedar ungkapan rasa "lelah" saja. Karena sebagai pendidik yang baik, pastinya mendidik dengan hati. Karena itu kepada siswa, baiknya seorang Guru tak hanya ingin merengkuh pikirnya tetapi juga ingin menyentuh hatinya.

Lah, di sekolah kalau bukan ngurusin anak orang, memangnya kita mau ngurusin anak apa? Hehehe

Salam selamat Hari Minggu!
Bacaan : satu, dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun