Boleh saja terlibat secara emosi dalam menangani siswa. Ada rasa sayang, khawatir, prihatin, jengkel, marah atau kecewa. Tetapi tentunya bukan emosional alias perasaan yang berlebihan.
Biar bagaimanapun kita mencoba mendidik siswa di sekolah, masih ada orang tua, masih ada masyarakat. Artinya janganlah  Guru menjadi frustrasi dan akhirnya  emosional ketika perilaku siswanya tidak sesuai harapan
Ketika belum berhasil mendidik siswa jadi lebih baik, anggaplah siswa tersebut masih akan berproses panjang. Setiap orang menjalani proses kehidupan yang berbeda-beda kan?
Dalam konseling pun secara pribadi seorang Guru BK atau konselor dilarang terlibat secara hubungan pribadi dan emosional dengan klien atau siswanya. Begitupun semustinya sikap profesional seorang pendidik.
Ada kalimat yang sering saya dengar dari para Guru dan teman Guru, "Yah, untuk apa sih repot-repot ngurusin. Toh anaknya orang!" Saya pun pernah mengucapkan itu akibat lumayan jengkel saat menangani siswa yang nakalnya bukan main.Â
Tetapi saya percaya kata-kata itu tidak diucapkan sungguh-sungguh dari hati. Hanya sekedar ungkapan rasa "lelah" saja. Karena sebagai pendidik yang baik, pastinya mendidik dengan hati. Karena itu kepada siswa, baiknya seorang Guru tak hanya ingin merengkuh pikirnya tetapi juga ingin menyentuh hatinya.
Lah, di sekolah kalau bukan ngurusin anak orang, memangnya kita mau ngurusin anak apa? Hehehe
Salam selamat Hari Minggu!
Bacaan : satu, dua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H