Kebiasaan para Guru yang "ringan tangan" tidak pantas untuk diterus-teruskan. Percuma mempelajari Pemahaman individu atau Perkembangan Peserta Didik, kalau sedikit-sedikit "main tangan". Mendingan dahulu belajar bertinju saja. Bukankah bekal ilmu yang didapat di bangku kuliah harusnya menjadi referensi dalam menangani siswa?
Hukuman fisik tidaklah tabu, tetapi carilah yang bermanfaat.
Tidak melakukan kekerasan bukan berarti tabu terhadap hukuman fisik. Tentu saja hukuman fisik dengan bentuk yang tepat dan bermanfaat. Jangan melibatkan benturan fisik guru dengan siswanya. Contoh push up, atau lari keliling lapangan.
Pastikan siswa sehat saat melakukannya dan pastikan frekuensi jumlahnya wajar, sehingga dapat dihitung sekaligus sebagai aktifitas olahraga.
Hukuman fisik dapat juga berbentuk kerja bakti atau bersih-bersih. Di sekolah kami siswa yang sedang dalam proses pembinaan selalu mendapat hukuman seperti ini.Â
Mulai dari bersih-bersih dan mengepel masjid sekolah. Membersihkan bengkel praktek, membabat semak rumput di lapangan voli atau sepak bola, atau bersih-bersih kamar mandi juga boleh. Bermanfaat 'kan bagi sekolah? Bagi siswa juga berarti belajar kerja keras, kebersihan, dan memelihara fasilitas sekolah.
Kalau kita pukul dan tampar apa manfaatnya ? Apa juga manfaatnya buat lingkungan? Selain hanya puas melampiaskan emosi yang ujung-ujungnya membuat siswa sakit hati.
Anak-anak kita juga sarat dengan tantangan hidup.
Beberapa komentar di media sosial memberi cap bagi siswa yang melaporkan kekerasan yang dilakukan Guru terhadapnya. Siswa tersebut dikatakan cengeng, lemah, cemen dan lain-lain yang sejenis.Â
Saya ingin berbagi realita kehidupan sebagian anak remaja kita. Sekian banyak siswa saya berada dalam taraf ekonomi keluarga menengah kebawah dan boleh dikatakan miskin.
Ada yang hanya mampu tinggal dalam satu kamar kos yang sumpek bersama ayah serta ibunya. Sebagian lagi adalah korban perceraian yang harus menderita karena konflik keluarga.