Baru dua hari lalu  saya membuka instagram dan melihat postingan dari akun milik Mohamed Salah seorang pemain sepakbola terkenal asal Mesir yang sekarang bermain di Klub besar Inggris, Liverpool.  Ia  menjadi idola banyak orang. Saya termasuk yang mengagumi permainannya.Â
Postingan  foto di Instagram yang diunggah  tanggal 26 Desember 2019 itu, menggambarkan Salah dengan istri serta anaknya berpose dengan senyuman bahagia di depan sebuah  pohon Natal yang  penuh lampu.Â
Tidak ada kata-kata yang ditulis di kolom komentar. Â Mo Salah (panggilan akrab publik kepadanya) hanya memberi 2 gambar pohon Natal kecil dalam kolom komentar.
Postingan seorang selebriti sepakbola memang luar biasa ditanggapi oleh netizen. Setidaknya 3.922.650 orang lebih, menyukai foto ini. Â Sampai hari ini lebih dari 60 ribu komentar netizen ditujukan pada postingan ini. Komentar pujian sampai cacian semua ada di sana.Â
Pertanyaanya kok ada yang tega mencaci? Entah apa dosa dan salahnya si Mohamed Salah. Menurut saya meskipun namanya Salah, ia tak pantas untuk disalahkan hehehe.Â
Menurut saya banyak komentar yang terlalu belebihan. Contoh saja  (sudah diterjemahkan karena kebanyakan dalam bahasa Inggris) : "Kamu dilarang melakukan itu, Tuhan melihat apa yang kamu lakukan".Â
Hmmm... Â yang satu ini sepertinya juru catat dosa di surga nan jauh di sana . Banyak yang mengatakan seharusnya foto itu tidaklah baik untuk ditampilkan ke publik. Mo Salah adalah contoh yang tidak baik.Â
Bahkan komentar menuduh seperti : Â Sejak Mo Salah menjadi kaya dan terkenal ia sekarang sudah melupakan agamanya. Ada lagi beberapa yang mengaku sebagai fans yang merasa sudah dikecewakan karena foto yang diunggah di instagram tersebut. Ya ampun...sesadis dan serumit itukah?Â
Pada awalnya saya ingin menampilkan foto yang diposting Mo Salah pada instagramnya tersebut sebagai ilustrasi. Tetapi tidak saya lakukan karena tidak ingin dinilai terlalu vulgar. Apalagi sebenarnya foto tersebut adalah hak privasi Mo Salah sendiri.Â
Melihat fakta postingan itu, sebenarnya tidak harus ada yang perlu diributkan. Sebagai seorang muslim ia tidak mengucapkan selamat Natal (sekali lagi : Tidak). Ia hanya berfoto di depan pohon Natal entah di rumah siapapun itu.Â
Pada gambar pun, pohon Natal hanya nampak samar dan terletak tetutup di belakang. Sehingga fokus gambar sebenarnya adalah  Ia beserta istri dan anaknya.  Tentu saja fakta itu terbuka bagi mereka yang bersedia melihat dengan obyektif dan tulus.Â
Tetapi ya... sebagai seorang yang berbeda agama dengan Mo Salah, saya tidak berani berkomentar soal ajaran agama beliau. Itu sudah di luar batasan saya. Hanya saja saya berpendapat terlalu banyak komentar sinis, berlebihan, dan bahkan menghakimi yang tidak sepantasnya.
Sedikit saya ulas soal pohon Natal.  Pohon cemara yang dihias dengan lampu warna warni sangatlah nggak nyambung dengan pengakuan kisah kelahiran Yesus. Karena waktu itu pun di Betlehem saat Yesus lahir tidak ada pohon Natal seperti sekarang ini. Itu hanya berawal dari suatu budaya di suatu negara sebagai  ungkapan ekspresi kebahagiaan menyambut sebuah momen spesial.Â
Bergerak dari postingan Mo Salah. Sebenarnya banyak masalah serupa berkaitan dengan lika -liku bermedia sosial. Juga  timbul tanda tanya yang lebih banyak dalam diri saya. Sebenarnya sudah siapkah kita bermedia sosial?
Seperti mungkin masyarakat "jaman now", saya juga memiliki akun media sosial. Yah... yang standar sajalah, contohnya facebook, instagram, twitter.Â
Saya juga termasuk kurang menggunakannya. Lama kelamaan,  bermedsos juga  dihinggapi rasa bosan. Tetapi paling tidak, melalui akun media sosial yang saya miliki, saya memperoleh informasi tentang keadaan keluarga atau kerabat, siswa-siswi saya, bahkan teman-teman lama yang hampir dalam setahun pun belum tentu bertemu.Â
Ada bermacam-macam tipe teman di Media sosial saya. Ada yang suka selfie bahkan dimodifikasi dengan aplikasi face app, ada yang suka posting bersama pasangan, ada yang suka posting acara keluarga dan dengan banyak teman-temannya, ada yang gemar posting kelucuan dan kepintaran anak-anaknya. Ada yang posting liburan. Ada yang suka politik dan gemar posting  calon yang dijagokannya dalam pemilu.Â
Pertanyaannya, perlukah saya merasa tersakiti dengan postingan berkali-kali dari seorang teman yang  menampilkan kecerdasan dan kelucuan anak-anaknya mentang-mentang saya belum punya anak? Atau apakah saya perlu sakit hati dengan postingan liburan seorang teman ke luar negeri, karena selama liburan saya hanya mampu menghabiskan waktu di rumah saja?Â
Saya menjadi "geli" sendiri karena pernah mendengar komentar seorang teman. Menurut dia (intinya), jika Anda memposting even bersama pasangan, apakah tidak bertenggang rasa dengan mereka yang belum juga menikah? Selanjutnya, untuk apa posting kemesraan padahal sesungguhnya itu adalah cara  menutupi hubungan yang sebenarnya tidak harmonis. Walah...kok sampai kesitu ya orang ini berpikir?Â
Kalau saya melihat postingan teman yang bahagia, saya nggak sampai deh mau tahu apakah itu kebahagiaan palsu atau bukan. Kalaupun iya, itu bukan urusan saya.
 Atau ketika saya melihat postingan teman yang liburan, saya tidak pernah sampai berpikir memang berapa sih gaji dia sehingga sampai mampu liburan ke tempat itu. Terlalu jauh bagi saya untuk mengurusi urusan orang lain sampai sebegitunya, padahal mengurus diri saya sendiri pun belum becus.
Sebagai seorang yang memiliki akun media sosial saya lebih suka melhat segi kebemanfaatannya terutama dalam hal menjalin relasi dengan orang lain dan menambah informasi tentang situasi dunia. Apalagi sebagai penikmat pertandingan sepakbola dunia saya mendapat info-info menarik tentang pertandingan yang ter-update, juga mengenal sedikit profil kehidupan pribadi para pemain sepakbola dari berbagai negara. Â
Kenyataannya Media sosial juga menjadi sarana hiburan bagi banyak orang lho...Bahkan sarana mengungkapkan perasaan yang sulit diungkapkan dalam kehidupan nyata (ini fakta).Â
Media sosial mengajar kita untuk melihat dinamika kehidupan yang mugkin tidak sesuai dengan pendapat, aliran, atau pemikiran kita selama ini. Justru kita  ditantang untuk bersikap bijak juga obyektif menghadapi hal ini bukannya malah baper.Â
Berhati-hatilah dengan baper karena itu dapat menjadi penyakit hati. Apalagi kalau itu dilandasi  rasa iri dan cemburu. Kalau bagi saya baper itu  sih boleh saja...asal jangan ter..la..lu (kata bang Rhoma).Â
Bagaimana jika terlalu baper alias baperan?  Baper adalah Istilah masa kini ketika seseorang berada dalam situasi yang terbawa emosi. Terlalu baper berarti kondisi emosional menjadi terlalu ekstrem,  sampai-sampai kehilangan logika berpikir atau kehilangan akal sehat. Urusan orang lain pun dapat mengganggu stabilitas emosi diri kita sendiri. Padahal sebenarnya urusan mereka sama sekali  tidak mengganggu kita sedikit pun. Jangankan ganggu, nyenggol aja nggak!
Selaras dengan  ajakan bijak bermedsos, saya setuju bahwa kita mestinya posting sesuatu yang bermanfaat dan jangan sampai kita memposting sesuatu yang membangkitkan keributan, adu domba, hoax, ujaran kebencian, dan sejenisnya. Tetapi sebaliknya,  kita juga mesti siap menerima segala konsekuensi bermedia sosial. Posting dengan bijak tetapi di lain sisi siap menerima postingan orang lain juga dengan bijak.Â
Perlu juga diingat bahwa Media sosial adalah dunia maya. Kebahagiaan kita tidaklah terletak pada banyaknya like, komentar, atau tanda love pada setiap postingan.Â
Bagi saya media sosial  adalah sarana rekreasi untuk sekedar happy-happy saja,  jangan dibawa berpikir terlalu rumit.  Apa yang kita lihat hanya tampak luarnya. Janganlah beranggapan sudah mengetahui segalanya tentang pribadi seseorang.Â
Kembali  ke Mo Salah.  Bayangkan ada orang yang tidak ingin lagi menjadi fans Mo Salah gara-gara postingan  di instagramnya tadi.Â
Lah...nge fans sama Mo Salah karena kepiawaiannya bermain sepakbola atau karena agamanya? Wong saya saja yang fans MU tidak malu-malu bilang kalau saya mengagumi permainan Mo Salah, meskipun dia bermain untuk Liverpool.(kayak gini ada aja sesama  fans MU yang mungkin baper juga, hehehe).
Lebih bijak, lebih logis, dan lebih santunlah dalam bermedsos. Jangan mudah menghakimi (Bahkan Tuhan saja tidak).
Eits....tetapi mungkin, bermesdos jadi lebih seru justru karena komen emosional nan  baperan? Entahlah!
Salam akhir pekan!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI