Mohon tunggu...
Risma Indah L
Risma Indah L Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan penikmat hobi

Menulis mencoba menginspirasi Mendidik mencoba memberdayakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sudahkah Kita Memberikan yang Terbaik, Sebelum Kita Tiada?

21 Desember 2019   00:44 Diperbarui: 22 Desember 2019   06:46 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A man in a cemetery in winter. Nicholas McComber/E+/Getty Images

Apakah sejenak pernah teringat orang-orang terkasih yang telah tiada pergi meninggalkan kita untuk selamanya?

Saya sering memperhatikan bagaimana perilaku mereka yang ditinggalkan orang tercinta. Banyak yang merasa tak sempat berbuat atau memberi banyak saat mereka yang terkasih masih hidup di dunia ini. 

Sebuah makam yang relatif mewah dibuat oleh seorang anak untuk ibunya yang telah tiada. Makam itu didesain sedemikian rupa dengan keramik terbaik, dan tempat menaruh bunga-bunga yang indah. 

Ada rasa menyesal ketika ibunda sakit-sakitan ia sangat jarang menjenguknya. Makam indah itu ia persembahkan untuk ibunya tercinta. 

Seperti suami yang memandangi foto anak kami di malam setelah pemakamannya. Tak hentinya ia membakar lilin demi lilin. Diletakkannya sekedar sesaji segelas sirup kesukaan si kecil dan kue favoritnya. 

Saya memahami sedih hatinya mengingat sangat sedikit waktu yang pernah ia berikan ketika ananda masih hidup. Juga penyesalannya karena di saat-saat terakhir ia berada di kota yang berbeda, tidak dapat mendampingi. 

Sah-sah saja menurut saya. Hanya kalau boleh mengatakan bukankah waktu dan saat-saat terbaik mestinya kita berikan kepada mereka saat mereka masih hidup?

Setiap orang akan berekspresi dengan caranya masing-masing untuk membuktikan cintanya kepada mereka yang telah tiada. Entah sebentuk penyesalan atau suatu penghormatan, saya pikir saya tidak berhak memberi penilaian.

Terlepas dari hal itu. Saya malah ingin melihat dari cara pandang sebaliknya. Seandainya diri ini yang tiada apa yang telah kita (seharusnya) tinggalkan untuk mereka yang kita kasihi? 

Ketika hidup terasa menggelora dan penuh warna, enggan rasanya jika kita mengingat bahwa hidup ini hanya sementara. Seolah kita ingin hidup ribuan tahun ke depan

Sebagian orang merasa tabu jika berbicara soal kematian. Saat mengobrol dengan teman pernah saya mengatakan "Seandainya saya mati...", dan belum saja menyelesaikan kalimat, seorang teman mengatakam "Hush...,jangan berkata seperti itu"

Berpikir akan kematian seolah aneh untuk dilakukan. Padahal kenyataanya agama dan budaya mengajarkan kita supaya jangan lupa untuk "mengingat" mati. 

Banyak ungkapan yang ditujukan agar kita tak melulu berpikir soal dunia. Tetapi juga mengingatkan bahwa kehidupan hanya sementara dan kita mesti mempersiapkan diri untuk suatu saat meninggalkan dunia yang fana ini. 

Sejak kepergian putra saya satu-satunya. Kematian bagi saya bukanlah suatu hal menyeramkan yang harus ditakuti. Waktu itu dapat tiba kapan saja dan bagi siapa saja. Tua atau muda. Anak kecil atau tua renta. 

Ibarat ikut arisan, kita tidak tahu nama siapa yang akan keluar ketika kita mengocok sekumpulan nama. Tidak peduli siapa yang baru saja bergabung atau sudah lama ikut. Siapa saja bisa terpilih.

Kita semua harus siap. Bukankah itu sebuah proses kehidupan yang alamiah?

Terinspirasi sebuah film serial yang beberapa waktu ini sering menjadi perhatian saya. Ghost Whisperer. Sebuah serial televisi lawas yang pernah populer di Amerika sekitar tahun 2005 sampai 2010

Mengisahkan tentang seorang perempuan yang bernama Melinda yang memiliki kemampuan supranatural yakni dapat berinteraksi dengan roh yang gentayangan. 

Roh yang gentayangan ini adalah mereka yang belum dapat beristirahat dengan tenang di alam baka. Bahasa awamnya mati penasaran. Hal ini diakibatkan adanya unfinished busines (urusan yang belum diselesaikan) di dunia ini. 

Mereka menjumpai Melinda untuk meminta bantuan menyelesaikan urusan di dunia yang belum beres tadi. 

Satu episode yang menarik perhatian saya adalah mengisahkan tentang Adam Godfrey. Seorang penulis yang mati penasaran. Persoalan awalnya adalah status kematiannya yang belum jelas. Jasadnya salah dikenali akibat identitas yang sengaja ditukar, sehingga nama orang lain lah yang ditulis pada nisannya 

Singkat cerita, masalah inti dari Adam adalah ia meninggalkan kesan buruk pada istri dan terutama anak perempuan satu-satunya. Bahkan saat menyadari dirinya telah wafat ia hampir lupa bahwa ia memiliki istri dan seorang anak.

Adam memang seorang penulis hebat dengan buku karyanya yang best seller, tetapi gagal menjadi seorang ayah yang baik. 

Keegoisan membuat dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan menjauh dari istri dan anak yang semestinya mendapat kasih sayang penuh dari dirinya. Demi ketenangan dan mengejar deadline menulis ia memilih hidup menyendiri di sebuah kabin tua sampai lama kelamaan lupa pulang kepada keluarganya. 

Anaknya berbicara tentang kepedihan hatinya bahwa ia tidak pernah merasakan kehadiran seorang ayah di dalam kehidupannya. Bagi sang anak tidak begitu penting sebenarnya apakah Adam hidup atau sudah mati. Situasinya akan sama saja.

Kisah berakhir happy ending. Status kematiannya yang "tertukar" terselesaikan. Begitupun istri dan anaknya yang "sedikit" mulai mengakui kematiannya. 

Sehingga biasanya orang yang hidup akan mulai lapang dada menerima kekeliruan ataupun kesalahan orang-orang yang sudah meninggal. Adam pun menemukan cahaya dan beristirahat dengan tenang.

Kisah seorang Adam Godfrey sangat mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Seringkali karena setumpuk kesibukan, ambisi akan karier atau jabatan, menjauhkan kita dari orang-orang yang yang seharusnya mendapat prioritas dalam kehidupan kita. 

Begitu asyiknya kita dengan diri sendiri. Tanpa disangka "waktu telah habis". Kita gagal meninggalkan cinta yang seharusnya.

Teringat juga saya akan materi kuliah Dinamika Kelompok puluhan tahun yang lalu. Dosen kami memberi simulasi sebuah kegiatan terstruktur. Kegiatan membuat konsep ini diawali pertanyaan yang agak ngeri-ngeri sedap yakni, Apa kata-kata sambutan tentang diri Anda, yang Anda inginkan diucapkan oleh orang lain pada saat pemakaman Anda ?  

Waduh kok belum -belum sudah ngomongin mati lagi?

Sekali lagi saya berpikir tidaklah perlu kita alergi mendengar kata ini. Sebenanya ini adalah sebentuk cara berefleksi mengenai manfaat apa yang ingin saya berikan bagi orang lain selama rentang waktu kehidupan saya. 

Ketika diri ini telah tiada, orang lain akan mengenang saya yang seperti apa? Pribadi yang banyak meninggalkan manfaat atau sebaliknya meninggalkan kesusahan atau bahkan penderitaan yang dirasakan banyak orang? 

Sampai disini saya jadi tergelitik untuk browsing mengenai membicarakan soal kematian diantara orang sehat yang masih hidup. Saya menemukan beberapa artikel menarik yang serupa. 

Terutama tentang sebuah survei mengenai dampak membicarakan soal kematian di antara orang yang masih hidup. Hasilnya ternyata tidak menutup adanya dampak negatif dan positif . 

Perlu digaris bawahi dampak positifnya. Bahwa membicarakan kematian bukanlah hal yang tabu. Justru hal itu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan realita tentang kematian dan kehidupan itu sendiri. Harapannya membantu orang untuk hidup lebih maksimal.  

Menurut survei yang diadakan, kegiatan ini pun tidak terlepas dari menimbulkan perilaku negatif. Misalnya orang jadi semakin ekstrem memandang kehidupan, mendorongnya jadi perfeksionis, atau berambisi mempertahankan keabadian. 

Tetapi dampak negatif ini justru dikembalikan lagi kepada pemikiran bahwa hal-hal negatif ini justru muncul karena kita terlalu takut, tabu, dan tak terbiasa untuk membicarakan soal kematian secara santai, dalam sebuah diskusi tukar pikiran, yang justru mengarahkan dan mendorong kita memperbaiki kualitas hidup. 

Kembali kepada kisah Adam Godfrey, mendekati akhir cerita muncullah tokoh Steve Burris yang akhirnya tidak jadi mati (karena Adam tertukar identitas dengan laki-laki ini). 

Sosok Steve seolah ingin bicara tentang mendapat kesempatan kedua dalam kehidupan dan betapa kehidupan ini terlalu berharga untuk disia-siakan. 

Bagaimana awalnya sebuah kisah tentang kematian memunculkan sebuah ide tentang kehidupan yang menyadarkan kita akan mengutamakan kehidupan yang berkualitas. 

Pertanyaan mengenai, "Apakah kita sudah memberikan yang terbaik, sebelum kita tiada?", bukan ingin berfokus pada kata tiada, melainkan justru ingin mengajak fokus pada mengisi kehidupan.  

Bagaimana cara mengisi hidup bukan soal kuantitas atau berapa lama saya hidup, melainkan apa saja yang telah diberikan terutama bagi orang terkasih yang seharusnya menjadi prioritas dalam kehidupan kita.

Apakah hidup sudah menjadi manfaat bagi orang lain, selama rentang waktu yang tersedia ? Panjang atau pendek itu relatif. 

Banyak tokoh dunia yang "mati muda" tetapi kualitas hidupnya membuat mereka dikenang sepanjang masa.

Mengingat pertanyaan saya sendiri sebagai judul tulisan ini. Harapan saya, jika di tahun depan saya masih merayakan ulang tahun saya yang kesekian. Saya tidak hanya akan berfokus pada ucapan atau nyanyian selamat panjang umur. 

Melainkan sepanjang umur saya saat itu, seberapa kualitas yang dapat saya berikan untuk menjadi manfaat bagi kebahagiaan orang lain. 

Tentunya sebelum peluit akhir berbunyi dan "waktu saya telah habis".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun