Tetes-tetes air mata itu akan 'tanpa ampun' memberi tau seperti apa hidup yang akan ia jalani. Mungkin saja. Tidak ada yang tahu. Bahkan jika dia berdoa didepan orang-orang sekalipun, mereka tidak akan tau apa yang sedang ia lakukan. Ia berdoa tanpa kata. Tanpa satu jenis doapun yang ia tau. Doanya hanyalah air mata semata-mata. Tidak lebih. Lalu, Seberapa dalam doa itu? Sekali lagi, hanya dia dan Tuhannya yang tahu.
Hari-hari berikutnya ia lewati dengan semakin tegar. Olokkan anak-anak kampung, ocehan ibu-ibu, dan pandangan sinis mereka kepada Amul, semakin menjadi-jadi setiap harinya. Ia dan ibunya seolah-olah menjadi aib dari warga desa.Â
Namun, anak itu semakin tegar setiap harinya. Mungkin dia dibantu oleh air mata yang telah banyak berjatuhan pagi tadi. Atau suara jangkrik yang senantiasa menemaninya dalam setiap jam 1.00 pagi yang ia lalui.Â
Tidak ada yang tau, apa yang membuatnya semakin kuat setiap harinya. Hari-harinya ia jalani dengan tegar. Cinta kepada ibunya, dan cinta pada Tuhannya semakin menguatkannya. Jam 1.00 demi jam 1.00 ia lewati. Tetes air matanya mulai berkurang setiap kali ia berdoa. Semakin sedikit tangisan dalam doa pagi harinya, menandakan ia semakin kuat setiap harinya. Setiap pagi, semakin hilang, semakin hilang.
Suatu waktu, kebetulan sekali ia bangun lebih awal. Pelan-pelan ia nyalakan lilinnya. Ia katup kedua tangannya, ia tutup matanya, ia mulai arahkan hatinya. Lama sekali ia berdoa malam itu. Itu waktu paling lama baginya untuk berdoa. Hampir tidak ada air mata yang menetes saat itu.Â
Hanya satu tetes. Tetes sesaat sebelum ia mengakhiri doanya.Ia akhirnya menyudahi doanya. Ada sesuatu yang sepertinya ia dengar. Pelan-pelan ia ambil lilinnya. Ia lalu pergi kekamar ibunya. Dengan pelan pula, ia mematikan lilinnya. Iapun berbaring disamping ibunya. Ia peluk ibunya, ia cium ibunya. Bahagia sekali ia malam itu.
Esoknya saat subuh, banyak warga berkerumun. Anehnya, mereka berkumpul tanpa ada kentungan yang dibunyikan. Api mengepul tinggi dari sebuah rumah reyot tak tertolong. Tak ada satupun warga yang ingin memadamkan apinya. Bapak-bapak sekalipun. Keji memang. Tapi itulah yang terjadi. Semuanya menikmati kepulan api itu dengan terkagum-kagum. Api yang memakan tanpa mapun gubuk reyot itu tergambar jelas pada mata mereka.
Sebenarnya, kisah Amul dan ibunya sudah berakhir disini.Tapi ada yang aneh pada kampung itu. Dua minggu setelah kebakaran itu terjadi, bapak Pondang seorang staf desa meninggal di kediamannya. Ada yang bilang, selama ini dia mengidap sebuah penyakit yang belum ditemukan obatnya. Tiga bulan setelahnya, menyusul bapak kepala desa. Menyusul juga istrinya. Dan masih banyak lagi, kasus kematian dalam tahun itu. Kata seorang petugas kesehatan dari kecamatan, ada 'hama' yang menyerang tubuh mereka sejak beberapa tahun lalu. Kalau tidak salah, 'hif' namanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI