"Apa yang kau dengar ketika madah pujian berhenti?"
"Tidak ada. Aku mendengar kekosongan," kata pemuda itu.
"Sesungguhnya, adalah doa seorang anak untuk keselamatan jiwa dari selingkuhan ibunya."
"Lalu bagaimana jika aku tuli. Masihkah aku mendengarnya?"
"Akan lebih kelam,"
"Oleh karenanya, berhatilah-hatilah dengan orang tuli. Mereka bisa mendengar apa yang tak bisa orang lain dengar. Mereka bisa mendoakan, apa yang orang lain tak bisa doakan."
Saban hari, hampir saja ia potong rambut ibunya. Pasalnya, rambut itu sudah terlampau panjang untuk seorang wanita pesakitan 40 tahun. Ada kabar burung yang pernah menyebar diantara warga kampung tentang ibu Maria yang tidak mau rambutnya dipotong. Katanya, dulu ibu Maria adalah seorang bunga di desa asalnya sebelum diimigrasikan ke desa ini.Â
Kecantikanya pun tersohor satu kecamatan. Banyak wanita yang iri padanya. Mungkin hanya rambut itulah yang menjadi sisa kenangan masa lalunya. Jika rambutnya dipotong, maka habis sudah cerita indah masa mudanya dulu. Ia memelihara kenangannya dengan cara yang demikian. Agak ironis memang.
Anak-anak kampungpun telah menganggapnya genderuwo hidup. Bagaimana tidak? Ibu Maria memiliki rambut sedikit beruban yang hampir mendekati tumit. Badannya kurus kering dan telah dijejali berbagai macam penyakit.Â
Keadaan tersebut hampir sempurna untuk menjadikanya seorang genderuwo hidup. Belum lagi ibu-ibu desa yang tidak pernah berhenti untuk bergosip. Bagi mereka gosip adalah makanan wajib setiap kali berkumpul, baik di pasar, di posyandu, di sungai, di mana-mana.
Suami mereka pun tak ketinggalan diajak bergosip, jika sudah ada di tempat tidur. Miris memang. Mereka seakan-akan ketagihan untuk melakukannya. Ibu Mariapun menjadi sasaran empuk mereka.
Amul. Amul nama anak semata wayang ibu Maria. Anak inilah yang saban hari hampir saja memotong rambut ibu Maria.
Sebenarnya, ia begitu dilema perihal memotong rambut ibunya itu. Jika ia potong rambut ibunya, maka lengkap sudah ia menjadi anak durhaka. Itu sama saja dengan membunuh apa yang dicintai ibunya.Â
Pernah ia baca kotbah dari seorang dari seorang rohaniwan. Demikian tertulis,' bahwa ada ganjaran neraka bagi mereka yang tidak mematuhi orang tuanya. Lebih-lebih lagi seorang ibu'. Sebenarnya anak itu tidak takut neraka sedikitpun. Ia hanya takut kalau-kalau ia tidak mencintai ibunya. Maka dari itu, ia selalu mengurungkan niatnya untuk memotong rambut ibunya.Â
Pilihan kedua lebih sulut lagi. Jika ia lepas rambut ibunya, maka akan semakin menjadi-jadi olokkan anak-anak desa dan terutama gosip dari ibu-ibu. Walaupun sebenarnya, jika rambut ibunya dipotong, ibu-ibu akan tetap saja bergosip. Setidaknya Amul  telah berusaha untuk membalut luka aib keluarganya.
Hampir setiap waktu, Amul dijejali pertanyaan-pertanyaan menyiksa itu. Akankah malam ini ia potong rambut ibunya? Atau apakah malam ini ia lepas saja dulu? Pernah satu malam, ia sudah dengan guntingnya yang sudah ia asah dengan botol kaca.Â
Saat ia sudah pegang rambutnya ibunya, air mata menetes pelan papa pipi ibunya. Walapun tidak bisa berbicara lagi, air mata itu dengan jelas mengatakan, betapa teganya Amul melakukan hal itu. Sejak saat itu, Amul selalu mengurungkan niat untuk memotong rambut ibunya.
Untuk anak seusianya, situasi hidup seperti itu memang adalah beban yang sangat berat. Tidak ada anak lain di kampung yang lebih kuat darinya. Disaat anak-anak lain asik dengan masa kecilnya, Amul dengan setia dan tulus mengurus ibunya. Setiap pagi, ia bangun untuk memanaskan air dan menanak bubur bagi ibunya, menyuapinya, lalu memandikan ibunya. Barulah setelahnya ia berangkat sekolah.
Guru-gurunya pun mengerti kenapa Amul selalu datang terlambat. Hanya sebatas mengerti. Tidak lebih. Setelah pulang sekolah, ia langsung menanak bubur untuk ibunya, lalu menyuapinya.Â
Segera setelahnya, ia bergegas ke pantai mencari teripang. Hasil tangkapannya sehari cukup untuk keperluan mereka sehari. Uang lebih akan ia simpan untuk keperluan obat-obatan ibunya. Itulah hidup sehari-hari dari bocah setengah baya itu. Tidak pernah ia bermain dengan kawan sebayanya. Ia tak punya teman. Ia benar-benar sendiri dalam perjungannya. Tidak main-main cinta anak itu pada ibunya.Walau bagaimana pun, beban dilema Amul terus mengahantuinya setiap saat. Saat hendak tidur malam, pertanyaan-pertanyaan yang sama akan datang menghantuinya.Â
Amul sebenarnya bukannya tak bertuhan. Pada jam 1.00 pagi, dia akan terbangun dengan sendirinya. Itulah waktu terbaiknya bersama Tuhan. Dalam hening, pikirnya ia bisa mendengar Tuhan. Dia akan berdoa dengan begitu khusuk. Saat itulah ia akan menangis. Menangis. Menangis. Ia akan melimpahkan segala isi hatinya saat itu. Ia akan berhenti sejenak, lalu ia akan menangis lagi. Entah apa ia yang ia bicarakan dengan Tuhannya saat itu. Hanya Tuhan tempatnya mengadu.
Mungkin anak itu sudah tau apa yang akan ia alami besok. Di sekolah, di pasar, di tepi sungai, dimana-mana ia pergi. Ia seakan-seakan bisa melihat segalanya. Setiap tetes air mata yang jatuh setiap kali ia berdoa memiliki pesan tersendiri yang tidak akan diketahui orang lain.Â
Tetes-tetes air mata itu akan 'tanpa ampun' memberi tau seperti apa hidup yang akan ia jalani. Mungkin saja. Tidak ada yang tahu. Bahkan jika dia berdoa didepan orang-orang sekalipun, mereka tidak akan tau apa yang sedang ia lakukan. Ia berdoa tanpa kata. Tanpa satu jenis doapun yang ia tau. Doanya hanyalah air mata semata-mata. Tidak lebih. Lalu, Seberapa dalam doa itu? Sekali lagi, hanya dia dan Tuhannya yang tahu.
Hari-hari berikutnya ia lewati dengan semakin tegar. Olokkan anak-anak kampung, ocehan ibu-ibu, dan pandangan sinis mereka kepada Amul, semakin menjadi-jadi setiap harinya. Ia dan ibunya seolah-olah menjadi aib dari warga desa.Â
Namun, anak itu semakin tegar setiap harinya. Mungkin dia dibantu oleh air mata yang telah banyak berjatuhan pagi tadi. Atau suara jangkrik yang senantiasa menemaninya dalam setiap jam 1.00 pagi yang ia lalui.Â
Tidak ada yang tau, apa yang membuatnya semakin kuat setiap harinya. Hari-harinya ia jalani dengan tegar. Cinta kepada ibunya, dan cinta pada Tuhannya semakin menguatkannya. Jam 1.00 demi jam 1.00 ia lewati. Tetes air matanya mulai berkurang setiap kali ia berdoa. Semakin sedikit tangisan dalam doa pagi harinya, menandakan ia semakin kuat setiap harinya. Setiap pagi, semakin hilang, semakin hilang.
Suatu waktu, kebetulan sekali ia bangun lebih awal. Pelan-pelan ia nyalakan lilinnya. Ia katup kedua tangannya, ia tutup matanya, ia mulai arahkan hatinya. Lama sekali ia berdoa malam itu. Itu waktu paling lama baginya untuk berdoa. Hampir tidak ada air mata yang menetes saat itu.Â
Hanya satu tetes. Tetes sesaat sebelum ia mengakhiri doanya.Ia akhirnya menyudahi doanya. Ada sesuatu yang sepertinya ia dengar. Pelan-pelan ia ambil lilinnya. Ia lalu pergi kekamar ibunya. Dengan pelan pula, ia mematikan lilinnya. Iapun berbaring disamping ibunya. Ia peluk ibunya, ia cium ibunya. Bahagia sekali ia malam itu.
Esoknya saat subuh, banyak warga berkerumun. Anehnya, mereka berkumpul tanpa ada kentungan yang dibunyikan. Api mengepul tinggi dari sebuah rumah reyot tak tertolong. Tak ada satupun warga yang ingin memadamkan apinya. Bapak-bapak sekalipun. Keji memang. Tapi itulah yang terjadi. Semuanya menikmati kepulan api itu dengan terkagum-kagum. Api yang memakan tanpa mapun gubuk reyot itu tergambar jelas pada mata mereka.
Sebenarnya, kisah Amul dan ibunya sudah berakhir disini.Tapi ada yang aneh pada kampung itu. Dua minggu setelah kebakaran itu terjadi, bapak Pondang seorang staf desa meninggal di kediamannya. Ada yang bilang, selama ini dia mengidap sebuah penyakit yang belum ditemukan obatnya. Tiga bulan setelahnya, menyusul bapak kepala desa. Menyusul juga istrinya. Dan masih banyak lagi, kasus kematian dalam tahun itu. Kata seorang petugas kesehatan dari kecamatan, ada 'hama' yang menyerang tubuh mereka sejak beberapa tahun lalu. Kalau tidak salah, 'hif' namanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI