Kematian membututi kita. Entah aku akan tenggelam dalam matamu, dan kau berdoa tiap-tiap kesedihanku. Aku merasa kehabisan air mata pada wajahmu. Tidak ada stok air mata seperti pom bensin. Yang ada, kekeringan adalah caraku membutuhkan hujan yang datang dari matamu. Langkahku yang luput dilindas mobil mewah. Takkan gentar menjemputmu yang duduk sendirian di taman korupsi. Mataku melihat punggungmu yang menungguku.
Daun-daun berguguran atas kekeringan tanah yang merindukan hujan. Becak-becak yang menawarkan tumpangan murah, yang kalah dengan ojek online. Pengemis berebut kupon hadiah di dalam kemasan ciki-ciki, yang kalah dengan Give Away artis-artis sponsor. Aku merindukan tawamu yang jatuh membanjiri ujung malam yang cantik. Ada rambut yang baru saja terpotong sebahu. Kau memotong rambutmu yang panjang dan bergelombang. Kau tak hanya memotong rambutmu. Juga kau memotong harapanku. Mataku merasa malu. Semakin dalam kau melukai aku.
Aku menyapa kau lewat luka yang dibuat olehnya. Baru saja, malam marah atas kelakuanmu. Mempertanyaakan kenapa cinta begitu ganas. Malam kali ini goyah, hampir saja jatuh melihat pertikaianku menuntut hak-hak harapanku dan kau. Sungai selalu punya cabang. Sungai menyelimuti tubuhmu. Kau mandi bersama air mata sungai. Sungai mandi bersama air mata kau. Telanjang dan tembus pandang. Sampai akhirnya menghilang. Aku mengharap kekasihku akan tumbuh bersama thukul. Terlahir kembali seperti pejuang buruh. (*)