"Eh iya, aku mawar" Membalas menjabat tangannya.
 "Seharusnya kau bersyukur, nilaimu tidak jelek-jelek amat, bahkan sudah di atas standar, lihat punyaku tinta merah hampir sempurna memenuhi kertas ku" Dia memberitahu.
"Kalau mau ceramah, tidak usah kesini" aku membalas dengan nada yang malas. Jujur aku sudah berusaha membujuk hatiku agar tidak kecewa pada diri sendiri, eh datang entah siapa menggagalkan usahaku.
 "Aku tidak ceramah, aku hanya memberitahumu sekedar mengingatkan untuk bersyukur" dengan nada yang pelan, selang kemudian dia duduk tidak jauh dari tempatku duduk.
Aku memilih untuk diam tidak menjawab, hatiku sebal, saat ini aku ingin sendiri menenangkan hatiku yang sedang tidak enak.
"Nenekku pernah berkata dan aku selalu mengingatnya dan memegang perkataanya, dia berkata kalau urusan dunia lihatlah yang dibawah dan jangan lihat yang diatas, itu akan membuatmu tidak luput dari kata syukur" dia kembali berkata dengan nada yang lebih pelan lagi, menjelaskan setiap kata-katanya.
Dia kenapa si, datang datang ceramah, sudah seperti ustadz saja, neneknya dia bawa bawa pula. Aku makin sebal, namun sejenak memikirkan kata-katanya.
 "Iya aku bersyukur" aku mengakhiri percakapan, aku memilih untuk pulang, menenangkan diri di kamar kos jauh lebih tenang. Sendiri.
Sesampai di kos, aku bersih-bersih dan melanjutkan membaca novel yang belum selesai kubaca. Aku kembali mengingatnya, bukan mengingat dia, aku masih sebal. Aku mengingat perkataan neneknya, membuatku sedikit tertampar. Memang nilaiku diatas standar, bahkan masih lebih tinggi daripada banyak temanku, namun yang sesalkan adalah usahaku yang kupikir sudah maksimal.
Keesokan harinya berjalan dengan baik, pelajaran hari ini juga kupahami dengan mudah. Setelah perkuliahan yang sedikit melelahkan aku memilih bersantai di cafe tempat ku biasa.
"Bang kopi hitam satu, ga pake gula, pokoknya harus lebih pahit dari kata-kata dia" aku memesan kopi yang biasa kupesan sambil bercanda dengan abang penjaga caf.