2. Isu ini terkait dengan beberapa teori etika. Salah satunya adalah feminisme etis, yang menyoroti pentingnya kesetaraan gender dalam politik dan mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan dalam ranah politik. Selain itu, teori etika hak-hak asasi manusia juga relevan, karena menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan hak-hak perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik tanpa diskriminasi. Di sinilah perempuan menjadi sebuah posisi yang berlawanan dengan lakilaki serta diposisiskan secara inferior sebagai 'yang lain'. Memosisikan yang lain secara inferior menunjukkan bahwa terdapat posisi subjek yang menaruh dirinya sebagai Tuan dan yang lain sebagai budak. Tentu saja pemosisian ini merupakan bentuk etika promethean yang menjunjung diri sebagai pengendali alam. Begitulah subjektivitas, dia berangkat dari hubungan antara diri dan yang lain. Hubungan tersebut tidak terlepas dari relasi kuasa dimana diri memiliki otoritas dan otonomi untuk menandakan yang lain sebagai the other. Karena itu hubungan keduanya menjadi problem penandaan yang diwadahi oleh bahasa sebagai sistem yang menunjukkan intellegibilitas subjek. Problem feminisme masih akan menyangkut tentang hubungan diri dan yang lain dimana di dalamnya terdapat sistem pertukaran. Pertukaran ini bersifat timpang dan cenderung mengabaikan perempuan sebagai subjek. Karena itu dengan mengusung nilai persamaan perempuan berusaha menunjukkan subjektivitasnya, berusaha memenuhi standar kemanusiaan yang utuh, berusaha menjadi subjek yang dibangun berdasar stabilitas. Stabilitas subjek berarti memosisikan subjek sebelum norma atau hukum,
berada pada ruang pre-diskursif sebagai bentuk temporal, mengkonstruksi kealamiahan. Feminisme radikal berkutat pada pembicaraan seksualitas perempuan yang selalu disalahartikan sehingga memberi priviledge bagi nilai maskulin di masyarakat. Karena itu feminis radikal berusaha untuk mengafirmasi femininitas untuk dapat mentransformasi sosial. Namun, asumsi tentang femininitas masih dipertanyakan apakah nilai tersebut hadir secara alamiah atau dikonstruksi oleh normalisasi dan regulasi. Subjek dibentuk secara non-historis yang memberi jaminan bagi penjelasan ontologi di dalam ruang pra-sosial. Kerangka subjek yang stabil diciptakan di dalam landasan yang fondasional sehingga memunculkan problem politik. Feminisme radikal misalnya lebih mendahulukan identitas keperempuanan dibanding misi politiknya, identity must be in first place before political action. Yang terpenting bukan saja mengusung persamaan hak namun juga memutuskan apakah perempuan berjuang dengan atau tanpa identitas. Dengan afirmasi terhadap femininitas maka perempuan menciptakan suatu common identity. Feminisme dalam hal ini mulai mengkonsolidasi adanya politik representasi dimana subjek mencari legitimasi politiknya. Politik representasi ini ditunjukkan dengan perempuan mencoba berdiri sebagai subjek yang mewakili perempuan lain. Subjek diasumsikan koheren, singular dan stabil dan dilawankan melalui kerangka biner maskulin-feminin. Pada akhirnya politik representasi yang mengartikulasikan subjek yang stabil menyingkirkan perempuan yang lain. Kesatuan identitas ini menciptakan fragmentasi di dalam kategori perempuan. Subjek diasumsikan terkonstitusi di dalam proses diskursus sehingga menjadi bentuk yang dikonstruksi. Subjek tidak dapat lagi dianggap sebagai yang berdiri sebelum hukum tetapi juga merupakan efek politik yang terdiri dari kontestasi norma dan hukum. Ketika feminisme menganggap konstituennya menyatu maka pada saat itu terjadi faksionalisasi atau perpecahan. Feminisme kontemporer tidak lagi melandaskan posisi yang fondasional bagi subjek tetapi menciptakan separatisme atau pemisahan. Dari konstelasi sejarah terbukti bahwa politik representasi di dalam feminisme yang coba meng'umum'kan perempuan terus menerus terbentur permasalahan perbedaan ras, kelas dan etnis. Jika memang feminisme bergerak sebagai politik representasi dimana tujuan politiknya adalah membebaskan perempuan dari penindasan atau menghapus kuasa dominan patriarki maka subjek perempuan tidak dapat lagi dilandaskan sebagai kondisi yang stabil. Feminisme walalupun mengadopsi kerangka konseptual modern yang menggunakan nilai universal dan fondasional tetap harus memperhatikan kontingenitas perbedaan yang dimiliki berbagai perempuan. Sebagai subjek feminisme, perempuan berdiri bukan secara esensial tetapi menjadi posisi politik dimana definisi perempuan tersebut bergantung pada relasi yang terkonstruksi dimana ia dideterminasi.
Kerangka Konsep Tantangan Perempuan dalam Politik Jelang Pemilu 2024
Partisipasi Rendah: Analisis data historis menunjukkan partisipasi perempuan dalam politik masih rendah, perlu upaya untuk meningkatkan jumlah perempuan yang terlibat dalam proses politik.
Stereotip Gender: Tantangan berupa stereotip gender yang dapat menghambat perempuan dalam membangun citra politik yang kuat dan meyakinkan.
Akses Terbatas: Keterbatasan akses perempuan terhadap sumber daya politik, termasuk pendanaan kampanye dan dukungan infrastruktur, menjadi kendala yang perlu diatasi.
Peran Tradisional: Adanya persepsi terkait peran tradisional perempuan dalam masyarakat dapat menghambat aspirasi politik mereka.
Ketidaksetaraan Hukum: Perlunya peninjauan kebijakan hukum yang mungkin masih memberikan ketidaksetaraan dalam memfasilitasi partisipasi perempuan dalam politik.
Kesadaran Politik: Pendidikan politik yang kurang dapat menjadi hambatan, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran politik perempuan.
Advokasi dan Jaringan: Pentingnya pembentukan jaringan dan advokasi untuk memberdayakan perempuan secara politis dan mengatasi hambatan yang mereka hadapi.
Media dan Representasi: Evaluasi media dalam cara mereka merepresentasikan perempuan dalam politik dan dampaknya terhadap persepsi masyarakat.
Kerangka konsep ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengatasi tantangan sistematis yang dihadapi perempuan dalam dunia politik menjelang Pemilu 2024.
Pengembangan kerangka konsep untuk analisis etika  politik menuju pemilu
Teori etika politik membahas konsep dasar etika dan teori yang menjelaskan bagaimana etika politik dapat diterapkan dalam berbagai aspek politik, termasuk pemilihan umum. Berikut adalah beberapa poin penting yang terkait dengan teori etika politik dan pemilihan umum:
1. Dimensi tujuan, sarana, dan aksi politik: Teori etika politik memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi tujuan (kebijakan yang diinginkan), dimensi sarana (waktu, sumber daya, dan lingkungan yang digunakan), dan dimensi aksi (perilaku dan perusahaan politik yang dilakukan).
2. Kekuasaan dan etika politik: Etika politik mempengaruhi bagaimana kekuasaan di dalam negara dikelola oleh pemangku kekuasaan. Dalam konteks pemilihan umum, etika politik dapat diterapkan untuk menjaga integritas proses pemilihan dan menghindari praktik seperti korupsi dan manipulasi.
3. Partai politik dan etika politik: Partai politik merupakan salah satu instrumen penting dalam demokrasi dan memainkan peran dalam pemilihan umum. Etika politik dapat diterapkan untuk mengevaluasi perilaku partai politik dan mengidentifikasi masalah etika yang mungkin terjadi dalam proses pemilihan.
4. Etika kehidupan berbangsa: Etika politik juga berkaitan dengan etika kehidupan berbangsa, yang menekankan pada peran individu dalam menjaga kehidupan berkelanjutan dan mengatasi masalah seperti korupsi dan penyalahatan.
5. Pemilihan umum dan etika politik: Pemilihan umum merupakan salah satu tahap dalam sistem politik, dan etika politik dapat diterapkan untuk menjaga integritas proses pemilihan dan menghindari praktik seperti manipulasi dan penyalahatan
Analisis:
Dalam konteks pemilu 2024 di Indonesia, isu-isu politik identitas dan tantangan yang dihadapi oleh perempuan menjadi perhatian penting. Penerapan teori etika politik dalam isu ini dapat melibatkan beberapa aspek, seperti:
1. Kampanye yang sehat dan berkualitas: Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya menjalankan kampanye yang sehat dan berkualitas dalam pemilu 2024. Penerapan teori etika politik dapat memandu para kontestan pemilu untuk menjalankan kampanye yang tidak memanfaatkan politik identitas secara merugikan atau diskriminatif.
2. Integritas proses pemilihan: Tantangan politik identitas dapat memengaruhi integritas proses pemilihan. Penerapan teori etika politik penting untuk memastikan bahwa pemilu berjalan dengan transparansi, menghormati nilai-nilai demokrasi, dan tidak memanfaatkan politik identitas untuk kepentingan tertentu.
3. Partisipasi perempuan: Dalam konteks tantangan politik yang dihadapi perempuan, penerapan teori etika politik dapat mendorong partisipasi politik perempuan secara adil dan merata, serta menghindari praktik diskriminatif atau membatasi peran perempuan dalam proses politik.
Dengan demikian, penerapan teori etika politik dalam konteks pemilu 2024 di Indonesia, khususnya terkait dengan isu politik identitas dan tantangan yang dihadapi perempuan, menjadi penting untuk memastikan bahwa proses politik berjalan dengan integritas, transparansi, dan menghormati nilai-nilai demokrasi serta prinsip-prinsip moral dasar negara modern.
Kesimpulan Etika Politik Menuju pemilu Indonesia 2024
Dari yang di simpulkan Gugatan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Terkait pasal 169 huruf q undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum (pemilu) terkait batas usia calon presiden (capres) dan wakil presiden ( cawapres) akhirnya dikabulkan sebagian oleh mahkamah konstitusi. Dengan dikabulkannya sebagian dari gugatan tersebut, timbullah berbagai isu yang akhirnya menuai kontroversi yang salah satunya ialah konflik kepentingan.
Ketua mahkamah (MK) yaitu Anwar Usman ternyata  mempunyai hubungan keluarga dengan Gibran rakabuming yang menjadi satu-satunya orang yang diuntungkan terhadap keputusan ketua mahkamah konstitusi (MK). Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada saat gugatan tersebut dikabulkan, hanya tersisa Prabowo Subianto yang belum mempunyai pasangan, dan yang diisukan untuk menjadi pasangannya salah satunya Gibran rakabuming. Argumen bahwa putusan mahkamah (MK) tersebut bahwa Indonesia harus memberi kesempatan untuk pemimpin muda pun yang dilontarkan oleh politisi partai Golkar Nusron Wahid tidak berlaku.  Gus Choi dan Fahri Hamzah sekalipun menyangkal saat Adian Napitupulu menyatakan bahwa kultural putusan ini dikabulkan untuk membuka kesempatan hanya untuk satu orang yaitu Gibran maka booming yang merupakan anak dari presiden Joko Widodo.
Dalam kasus minimnya caleg perempuan yang dihasilkan untuk menjadi anggota legislatif ini adalah lanjutan atau salah satu dampak yang ditimbulkan oleh pola rekrutmen politik yang kurang baik oleh partai politik pada saat menjelang Pemilu. Perekrutan dan kaderisasi partai politik lebih bersifat yang mengakibatkan calon-calon yang telah direkrut khususnya calon perempuan tidak memiliki modal yang cukup dalam bersaing termasuk dengan calon laki-laki di dalam merebut perhatian masyarakat.
Adapun penyebab minimnya keterwakilan caleg perempuan pada pemilu legislatif (DPRD kabupaten Sijunjung periode 2019-2024) adalah: susah mendapatkan suara pemilih sebenarnya keberadaan uang di saat Pemilu bukanlah faktor sementara kekalahan seseorang termasuk atas fenomena minimnya anggota legislatif perempuan di lembaga legislatif kabupaten Sijunjung periode 2019-2024.Â