Mohon tunggu...
Riska Y. Imilda
Riska Y. Imilda Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

IG: riskayi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kala Novemberku

8 November 2018   00:04 Diperbarui: 8 November 2018   06:51 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.pribadi Riskayi


Lama. Lama sekali tidak memulai kata-kata dalam setiap jentikkan jari-jari yang kupunya. Kelu rasanya, bahkan tidak bisa berpikir dengan baik. Kaku, tidak terbiasa lagi dengan deretan kata yang seharusnya bergelayutan dalam imajinasi. Aku tidak merasa baik. Seketika aku terdiam, lari dari kenyataan dan memaksakan diri untuk masuk kedalam dunia imaji. 

Aku terkadang lelah dengan semua perputaran yang ada dalam kenyataan, kembali adalah kisah akhir yang kupilih. Kembali kepada tempat yang semulanya, aku merasa aman dan nyaman untuk terdiam.

Sepertinya Novemberku telah tiba dengan tepat waktu. Hujanpun begitu tanpa keterlambatan untuk menghilangkan semua jejak kaki yang mungkin melekat di jalan setapak. Tidak perlu berlarut-larut, semua memoriku terungkap dengan cepat tanpa terduga. Mengulang semua kisahnya, kata-kata yang tertulis ketika musim 'hujan' datang. Tiada yang mengerti, mengapa hal ini bisa terjadi. Begitu puitiskah hujan hingga berani-beraninya memasuki setiap alur ceritaku. Ataukah aku harus memberikan pujian atas hadirnya, begitu baik karena sudah mengingatkanku kembali.

Kala itu..

"Jangan lupa bawa payung, nanti kamu terjebak dan tidak bisa pulang,"

"Kalau hujan, berhenti dahulu di sebuah tempat. Setelah reda, baru lanjutkan perjalanan,"

"Baju basahmu langsung letakkan ke pakaian kotor,"

"Rambut harus dibilas, air hujan bisa buat kepala kamu pusing,"

"Ganti bajumu dengan segera,"

"Cepat makan itu ada nasi hangat dan sayurnya di lemari makan,"

"Hangatkan perutmu terlebih dahulu dengan secangkir teh hangat Nak,"

Kala itu, teriakan-teriakan tersebutlah yang selalu mendengung ditelingaku sesaat setelah hujan. Terburu-buru, aku melepas sepatu dan menginjakkan kaki ke lantai serta menyisakan tapak kotor bekas air hujan. Tanpa berpikir panjang lagi, langsung berlari menuju meja makan dan tersenyum. Lihatlah sesederhana ini, kisah dibalik hujan kala itu. Cerita bahagiaku setelah hujan.

Secangkir teh hangat itulah ternyata yang membuatku selalu ingin kembali. Sambutan kekhawatiran nan manis itulah yang semakin membuat memori ini terkenang dan tak mungkin bisa terlupakan. Siapa yang tidak ingin kembali ke tempat ternyaman dan disambut dengan baik. Kawan, saat hujan tiba dan semua kisah didalamnya. Aku ingin kembali pada sosok yang tak pernah memintaku menjadi sempurna dihadapannya tetapi selalu berdoa untuk menyempurnakan semua kebaikan yang kulakukan. Salam rindu untuk Ibuku di kala hujan.

            Ibu yang baik hati dan sangat terpuji...

Begitu baiknya kamu, aku tidak pernah berpikir terbuat dari apakah hatimu itu. Tidak bisa aku bayangkan. Ibu ternyata benar, dunia tidak sesederhana kisah manisku kala itu. Jika kita berbicara soal waktu, semua akan berjalan dan berputar pada masa yang telah ditentukan. Pasti. Kali ini, aku menyadarinya. Begitu banyak hal-hal kecil dan begitu baik untukku.

Tetapi ibu, banyak hal yang perlu kamu ketahui juga mengenaiku. Aku tidaklah lagi memperdulikan payung yang harus masuk kedalam tasku, karena aku tahu bahwa jas hujan yang lebih dibutuhkan. Pergiku tidak lagi menempuh perkiraan jarak dari rumah dan sekolah. Jarak yang kutempuh sekarang, sudah jauh Bu. 

Ibu, aku pikir tidak perlu berhenti saat hujan turun karena waktu tidak pernah berhenti dan mengalah pada hujan. Aku bisa terlambat, jika menunggu hujan reda. Ibu, baju kotor dan rambut basah setalah hujan menjadi hal yang biasa dan tak perlu dikhawatirkan lagi. Aku sudah bisa mencuci bajuku sendiri bahkan, kalaupun aku pusing kepala, aku sudah tahu obatnya. 

Ibu tak perlu khawatir lagi. Satu hal yang kuingat setelah hujan, tidak ada lagi makanan atau secangkir teh hangat yang kunantikan Dahagaku tercukupkan dengan air putih dan seusainya, aku tertidur lelap akibat kelelahan.

Hujan mengajarkanku, tidak ada yang lebih baik dari pada kasihmu dimanapun itu aku berada dan berdiri. Begitu banyak permasalahan yang merintangi setiap perjalananku, tersungkur bahkan terbalik. Menangis kelelahan, marah dengan sumpah serapah, menyesali akan suatu hal dan seketika ingin menyerah. 

Seakan-akan tidak ada tempat yang bisa menampung lagi. Tapi melalui hujan aku ditunjukkan tempat kembali. Hujan, menyadarkanku atas semua yang terjadi. Aku hanya perlu waktu sejenak berbicara denganmu, menceritakan semua kisahku. Mendengar suaramu  dan mendengungkan namamu dalam doa.

Aku tahu, karena tempat terbaikku untuk pulang di dunia ini adalah dekapanmu. Menyentuh tangan sucimu dan memelukmu dengan hangat. Menantikan kecupan terbaik serta belaian yang tidak akan pernah tergantikan sampai akhir hayat. Salam Rindu untukmu Ibu, Hujan yang baik ini mengantarkan hatiku untuk selalu mengingatmu. Ibu, aku ingin kembali di masa itu. Terima kasih lukisan kenangan yang kamu buat didalam kanvas kehidupanku. Sehat selalu Bu dan semoga kamu tetap hangat di hujan kala November ini. Aku sayang Ibu di setiap waktunya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun