Aku melangkahkan kakiku menuju ruangan yang semua serba pink, tembok, pintu, cermin, hanya lampu bewarna putih.
"Nun, suka sama kamar ini?" Ayah dan Ibu bertanya. Aku hanya angguk dan tersenyum tipis. Harusnya Aku bahagia dengan kamar baruku, tapi entah kenapa Aku merasa kamar ini akan menjadi hiasan saja tanpa ada penghuninya. Ini pertama kalinya aku cuti sekolah pulang ke rumah sendiri tidak bersama Anita kawan pondokku dan juga tetanggaku.
"Nun, kenapa wajahmu bersedih, kalau kamu bahagia?" Ayah bertanya dengan nada penasaran ingin tahu isi hatiku sesungguhnya.
"Apakah kita bisa masuk bersama dan tidur bersama di dalam kamar pink dan bertulis barbie di pintu itu, Ayah?" Aku bertanya sambil memeluk boneka beruang pemberian almarhumah Nenekku dan mataku memandang kamar yang ada di hadapanku.
Suara ringkikan kuda membuyarkan lamunanku. Ternyata aku sedang bermimpi dan kamar pink itu tidak ada tapi yang ada di hadapanku adalah dua buah makam tanah merah dengan papan Nisan  bertuliskan Salman bin Sawawi dan Misnah  binti Tajri nama kedua orang tuaku yang masih segar. Ini sudah seminggu Aku menjadi anak yatim piatu tanpa sanak saudara bersamaku. Ayah dan Ibuku pun anak tunggal jadi Aku tidak ada Paman maupun Bibi. Aku asli Indonesia dan pindah ke Kelantan, Malaysia untuk menuntut ilmu, tapi manusia hanya bisa berencana dan Tuhan masih sayang Aku dengan cara mengujiku (kehilangan orang tua untuk selamanya)
Aku lekas menaiki kuda Zebra hartaku satu-satunya yang tersisa di dunia yang Tuhan pinjamkan kepadaku dan bonus boneka beruang yang sudah tidak berbentuk lagi karena habis kecelakaan seminggu lalu.
Sambil menunggang kuda Zebra, Aku menggerutu sendiri. "Kalau saja Aku tidak bercuti dan tidak memaksa orang tuaku menghantarku semula tidak mungkin kecelakaan itu terjadi."
Sambil menunggang kuda dengan tangan kanan dan tangan kiriku masih diperban karena patah.
   Â
Malang memang tidak berbau, sedang asik Aku menggerutu sebuah Lori menyerempetku dan Aku terpental bersama kudaku. Aku bagai pribahasa sudah jatuh tertimpa tangga pula, karena saat Aku jatuh kepalaku terkena benturan batu dipinggir jalan dan kuda Zebraku berlari mencoba menyelamatkan Aku yang sedang memegang kepalaku yang berlumur darah. Dari kejauhan Aku lihat anak kecil sedang bermain tembak-tembakan dengan peluru pakai bunga barongsai yang bulat-bulat kecil warna orange, salah satu diantaranya melepaskan peluru kearahku lalu mengenai kedua mataku. Aku langsung terjatuh lagi saat sudah berada di atas punggung kuda karena menjerit kesakitan.
"Ya Allah! Apakah ini yang di sebut kiamat kecil?" Aku memegang kepalaku yang berlumur darah dan juga mataku yang sudah kemasukan biji barongsai.
"Ya Allah! Tengok ade mangsa tabrak lari. Cepat tolong!" Aku hanya mendengar teriakan tapi tidak bisa melihat siapa saja orang yang berlari kearahku serta menggotongku. Aku dengar ringkikan kudaku semakin jauh dariku.
"Zebra!" Aku meraba-raba orang yang mengangkatku dan mau dibawa ke rumah sakit terdekat.
"Cik, Awak kena nurut bila tak menurut Awak boleh mati di tempat, tau tak!"Â
"Zebra!" Aku masih memanggil kudaku dengan suaraku yang semakin lemah dalam hitungan beberapa detik Aku sudah terkulai lemah. Sayup-sayup Aku dengar perbincangan mereka.
"Nak dibawak kemane Pak Cik? kesian tengok Cik Dara ini."Â
"Bawak ke Hospital Tanah Merah dekat Kelantan inilah yang dekat. Jom!"
Aku sudah tidak bisa berkutik lagi, tubuhku semakin lemah dan Aku sudah iklas untuk menyusul Ayah dan Ibuku di surga sana.Â
"Apakah Anda mendengar saya?"
Aku tidak menjawab karena telingaku kebas, pandanganku gelap. Aku rasa sesuatu yang ditempelkan ditelingaku.
"Apakah Anda mendengar saya, Puan?" Dia bertanya dan kali ini Aku angguk paham.
"Apakah ada saudara yang bisa di hubungi? Jangan risau Saya Dokter pribadi kamu."
Ketika Aku berbicara suaraku tidak keluar dan Aku panik.
"Saya rasa dia bisu, buta dan tuli, Dokter. Ya, karena benturan dikepala dia mengenai gendang telinga, buta karena biji barongsai merusak kornea saraf matanya, sedangkan bisu karena lidahnya yang kelu," ucap salah satu suster.
Aku hanya menangis tanpa suara dan tanpa air mata. Aku hanya bisa pasrah dengan skenario hidupku selanjutnya.
Semoga Aku masih bisa bertemu Zebraku, karena itu sebagai tongkatku dan berharap Zebraku masih hidup. Aku tidak kelu lidahku tapi aku rasa pita suaraku yang bermasalah karena aku suka menahan tangis di tenggorokan." Lirih hatiku.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H