Mohon tunggu...
Risa Suryanti
Risa Suryanti Mohon Tunggu... Psikolog - Clinical Child Psychologist

konseling anak dan remaja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Drama Masuk Sekolah? Kenali dan Pahami Kondisi Ini..

28 Maret 2024   14:00 Diperbarui: 28 Maret 2024   14:02 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sering kita temui anak-anak enggan masuk sekolah dengan berbagai alasan. Alasan fisik, sakit perut, mual, muntah, pusing atau alasan lainnya. Kejadian ini pun sering kali berulang dan orang tua bingung cara menyikapi kebiasaan anak mogok sekolah.

Mogok sekolah atau school refusal bukan merupakan suatu gangguan perkembangan, namun salah satu tanda ada permasalahan dari aspek emosi anak.  School refusal dapat merupakan kondisi dimana anak-anak menolak pergi ke sekolah. Anak-anak yang menolak sekolah biasanya menghabiskan waktunya di rumah.

Ada beberapa tanda anak mulai menunjukkan school refusal, antara lain menangis, tantrum, menyendiri di dalam ruangan, sulit bangun dari kasur, mengantuk, menunjukkan rasa cemas yang tinggi, dan berbagai keluhan fisik (nyeri, sakit perut) yang cenderung berkurang saat orang tua mengizinkan anak tetap di rumah.

Beberapa faktor resiko yang dapat memicu school refusal antara lain, transisi sekolah, adanya ruangan yang berbeda, bullying, cemas menghadapi ujian (lisan, tertulis), kehilangan/kematian orang terdekat/pengasuh, transisi keluarga, konflik keluarga, pengalaman traumatis. Kearney (2018) membagi menjadi 4 penyebab munculnya school refusal :

1. Avoidance of negative affect

Menghindari perasaan negative, seperti adanya perasaan cemas, takut, sedih. Contohnya siswa pondok yang memilih kabur karena ia merasa takut, merasa tidak mampu memenuhi tuntutan/target dari sekolah.

2. Avoidance of social evaluation

Menghindari lingkungan sosialnya atau menghindari adanya evaluasi/penilaian dari lingkungan. Contohnya anak yang mengalami perundungan selama di sekolah.

3. Seeking attention

Menerima perhatian atau simpati dari orang tua atau dewasa lainnya. Seperti tantrum di pagi hari, kesulitan untuk berpisah dengan orang tua/significant person. Contohnya anak yang merasa takut berpisah dan tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya.

4. Pursuit of tangible reward

Menolak sekolah untuk mendapatkan reward tertentu, seperti bebas dalam penggunaan hp, tv, ps, dst. Misalnya anak mogok sekolah karena ia tidak banyak tuntutan dan bebas menggunakan hp/main game.

Saat mendapati anak yang mogok sekolah, orang tua sebaiknya tetap berpikir tenang, tidak kecewa, marah, atau takut yang berlebihan sampai anak membaca ekspresi orang tua. Orang tua seyogyanya melakukan identifikasi dan melihat mana faktor yang paling dominan menjadi penyebab anak mogok sekolah.

Orang tua bisa mulai bicara dengan anak mengenai sekolah.

Menanyakan mengenai perasaannya selama di sekolah? Adakah yang ingin diubah dari situasi/kondisi di sekolah? Apakah anak punya masalah dengan teman di sekolah?

Bila anak kesulitan dalam menyampaikan pikiran/perasaannya, orang tua bisa coba bertanya terkait guru, makanan, fasilitas di sekolah. Jadi orang tua tidak to the point mengenai permasalah yang sedang dialami anak. Untuk anak-anak yang lebih kecil, bisa menggunakan media seperti foto/video mengenai sekolah, teman, guru di sekolah. Anak diminta untuk memberikan respon (berbagai pilihan emoticon) dari foto/video yang diputar.

Orang tua juga bisa mengobservasi kembali situasi di rumah. Apakah ada faktor dari keluarga yang membuat anak terasa berat untuk masuk sekolah. Misalnya anggota keluarga yang sakit juga bisa menjadi salah satu penyebab anak mogok sekolah.

Beberapa kondisi yang dapat orang tua kembangkan saat anak mogok sekolah, antara lain

1. Buat suatu rutinitas/ time table

Misalnya kegiatan di pagi hari mulai dari sholat subuh dst. Buatlah kegiatan yang sama "sibuk" nya seperti saat di sekolah.

2. Penerapan aturan dasar : Selama anak di rumah, penerapan aturan sama seperti saat ia berada di sekolah. Misalnya, selama jam sekolah Ananda tidak boleh menggunakan hp. Maka selama ia hanya di rumah, maka ia juga tidak diperbolehkan menggunakan hp.

3. Usahakan ada pengawasan orang dewasa selama Ananda di rumah.

4. Batasi/kurangi akses game/tv/hp

5. Kembangkan komunikasi efektif, pahami tumbuh kembang anak dan fasilitasi kebutuhannya (kebutuhan rasa aman, dihargai, diterima, dan dianggap penting).

School refusal disampaikan oleh berbagai ahli bukan merupakan gangguan perkembangan namun bagian dari permasalahan emosi. Rata-rata anak school refusal mengalami cemas atau perasaan tidak nyaman lainnya dan belum mampu secara optimal mengelolanya.

Orang tua dapat mulai mengajarkan anak cara mengelola emosinya. Karena setiap anak mempunyai hak untuk mengekspresikan emosinya. Dengan catatan, ekspresi emosi ditampilkan dengan cara yang baik yaitu tidak menyakiti diri sendiri, tidak menyakiti orang lain, dan tidak merusak lingkungan/fasilitas di lingkungan.

Terkait dengan ketidaknyamanan yang dirasakan anak :

1. Memahamkan kepada anak bahwa apa yang ia takutkan belum terjadi atau hal yang tidak benar.

2. Mengajarkan anak untuk mengenali gejala fisik ketika anak merasa takut serta melatih anak untuk mampu mengelola kecemasannya.

3. Mengajarkan anak sering melakukan relaksasi (deep breathing, butterfly hug), atau metode lain yang bisa digunakan untuk ketidaknyamanan yang dirasakan.

4. Menggunakan media dalam membantu anak mengelola emosi

Media ini dibuat dengan tujuan Ananda mengetahui bahwa rasa cemas, takut adalah perasaan yang wajar, dan boleh untuk dirasakan. Meski demikian, rasa cemas/takut tersebut perlu dikelola agar tidak berkembang dan mengganggu Ananda. Dengan berdiskusi dalam pembuatan "Wheel of Choice", harapannya Ananda mengetahui berbagai alternative kegiatan yang bisa ia lakukan untuk mengurasi rasa cemas/takutnya.

Apabila dengan berbagai upaya orang tua dan sekolah masih mengalami kendala dalam mengatasi anak mogok sekolah, maka dapat di konsultasikan ke psikolog klinis anak.

Semoga artikel ini membantu wawasan parent :)

Semoga Allah mudahkan segala ikhtiar kita dalam membersamai anak-anak. Aaminn

Daftar Pustaka

Kearney, C. A. (2018). Helping School Refusing Children and Their Parent. New York: Oxford University Press.

Raising Children Network (Australia) Limited. 2022, 12 31. School refusal: children and teenagers. Retrieved from raisingchildren.net.au: https://raisingchildren.net.au/school-age/school-learning/school-refusal/school-refusal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun