"Sudah Pak Her! Ini bukan salah bapak. Anggap saja memang hari ini kita kurang beruntung." Ujarku menenangkan Pak Her yang terus menerus menyalahkan dirinya dalam insiden ini.
Pak Her masih terpaku, menatap mesin mobil tuanya yang sudah terlanjur manja. Terlalu banyak minta perhatian dan merogoh keuangan.
Kenyataan bahwa ini adalah awal karir saya cukup membuat khawatir setengah pening. Ada banyak banyangan hal buruk muncul. Tapi, setidaknya pengalaman menjadi anggota MAPALA cukup membantu. Secuil bekal menghadapi ganasnya hutan rimba. Menggali, memilah, dan menjelajah kembali segala pengalaman di alam bebas.
Ide itu muncul, tepat ketika Pak Lukman berteriak dengan gusar, "Hei Anak Muda, kami membayar tour ini bukan hanya untuk berdiam diri di tengah hutan seperti ini !!!"
"Pak Her, bisa bantu saya? Saya ada rencana." tanyaku penuh kesungguhan.
"Kamu yakin Nak?" ucap Pak Her akhirnya.
"Insya Allah Pak. Kita berikhtiar. "
Kami pun mendekati rombongan turis di sisi lain mobil. Wajah mereka memiliki tingkat ketakutan yang hampir sama. Hanya saja beberapa dari mereka nampak pandai menutupinya.
Anggi, mengalihkan ketakutannya dengan mengambil gambar melalui mata kamera. Menelisik detail detail pemandangan nyaris gelap di sekitarnya dengan kaki terkilir. Menangkap momen akhlak makhluk-makhluk hutan menjelang malam tiba.
Kanaya dengan radar kewaspadaan tingkat dewa, siap memberikan alarm valseto ketika ada tikus hutan melintas. Dan masih bisa bertahan bersama secercah cahaya senter handphonenya.
Keluarga Pak Lukman, keluarga kecil yang cukup hangat. Saling mendekap demi kedamaian bersama.
Dan si Survivor Mr. Fred yang belum juga kembali dari ijin BABnya di hutan.
"Bismillah..." rapalku lirih.
"Eheemm...." Dehemku untuk mengalihkan perhatian rombongan dari kegelisahan mereka, "Sebelumnya, kami mohon maaf atas kendala yang terjadi dalam perjalanan pulang ini, ada masalah teknis yang sedang kami upayakan agar lekas bisa diperbaiki. Teman-teman rombongan diharapkan untuk lebih tenang dan tidak perlu panik. Kita selesaikan ini bersama -- sama. Dan mohon kerja samanya." Jelasku pada mereka. Sangat berharap mereka paham dan maklum.
"Lalu kapan kita bisa sampai ke penginapan? Anak saya bisa kambuh asmanya kalau tidak lekas pulang." Ujar Bu Prita dengan wajah cemas dan suara bergetar. Matanya tidak henti memperhatikan anaknya.
"Dan besok kami sudah harus di airport jam 7.00 pagi. Ada agenda penting yang harus kami hadiri. Kamu tahu Kompasianival kan? Agenda yang akan membuat kita rugi kalau tidak ikut. Lebih rugi dari tidak mengikuti berita pemilu." Tambah Pak Lukman.
"Saya juga enggak mau tidur disini. Gelap, banyak serangga, dingin, ihhhhh sereeeeem." Seru Kanaya dengan bergidik. Ngeri.
Anggi sibuk mengelus kakinya yang terkilir sambil membenarkan posisi kamera microlessnya.
"Baik -- Baik. Satu per satu ya....Kita semua di sini memiliki kebutuhan dan kepentingan masing masing pasca perjalanan ini. Tentu saja. Dan untuk itu saya mohon kerjasamanya dari teman-teman semuanya."
"Kerjasama bagaimana?" jawab mereka tiga.per.empat hampir bersamaan.
"Saya ada rencana, dan bisa berjalan lancar jika kita melakukannya bersama-sama."
"Selama itu membawa kebaikan untuk kita semua, dan bisa kembali ke penginapan dengan selamat. Saya mau." Jawab Pak Lukman segera.
"Yang lain?" kejarku.
Tak ada jawaban selain anggukan.
"Kita samakan waktu. Sekarang pukul 17.49. 30menit sebelum hutan ini benar benar gelap. 30menit ini kita manfaatkan untuk mencari bahan api unggun. Kayu bakar, ranting, dan daun kering kita kumpulkan sebanyak-banyaknya. Cari juga tempat yang nyaman untuk melingkar dulu. Tempat datar dan nyaman untuk duduk berkumpul. Kira-kira 2jam 15menit lagi insya Allah akan ada bantuan mobil dari teman saya di kota. Saya juga sudah pesan ke mereka untuk membawa peralatan untuk memperbaiki mobil Pak Her juga kebutuhan logistic kita. Dan sebentar lagi Pak Penjaga Hutan juga akan datang, sama halnya. Saya juga sudah menitip pesan untuk membawakan perlengkapan camp, p3k, logistic, peralatan bengkel seadanya dan tentu saja air." Jelasku panjang lebar.
"Ok. Sampai disini paham?"
Semua mengangguk.
"Lalu Fred bagaimana? Dia masih belum kembali." Tanya Pak Lukman.
"Untuk Fred, sementara kita biarkan dulu. Insya Allah dengan perbekalan dan pengalamannya dia baik baik saja. Setelah api unggun menyala, dan Pak Penjaga sudah tiba, saya akan mencari Fred bersama Pak Penjaga jika dia belum kembali juga."
"Kenapa tidak dicari saja sekarang Pak Frednya? Kasian beliau di tengah hutan sendirian." Sela Kanaya berempati.
"Ya kamu benar. Kasian Fred tapi setidaknya, dengan Pak Penjaga yang lebih paham medan, kita bisa meminimalisir hal hal yang tidak diinginkan lagi. Jangan sampai kita hanya saling mencari tanpa strategi. Ini hutan guys. Alam Bebas." Jawabku setenang mungkin. Jujur saja, tidak mudah membiarkan sosok Fred yang sudah berusia lanjut itu sendirian di hutan dalam keadaan gelap. Hanya saja, melihat kegigihan, semangat, serta managemen perjalanannya yang sudah berpengalaman, saya merasa cukup percaya diri untuk mengesampingkannya sejenak. Berharap dia benar benar baik baik saja sesuai prasangka kami. All is well.
"Pak Her dan Pak Lukman tolong bantu saya mencari kayu bakar dan ranting kering disekitar sini. Bu Prita tolong jaga Kevin sembari menjaga nyala senter. Kanaya tolong kumpulkan daun daun kering sebanyaknya untuk menyulut api nanti. Anggi sementara tidak banyak gerak dulu agar kakimu tidak makin parah." Lanjutku menjelaskan.
Pak Lukman, Pak Her dan saya pun segera mencari ranting ranting kering. Kanaya tanpa protes meneruskan titah. Sementara Prita mendekap erat Kevin yang mulai kedinginan. Anggi, entah apa yang ditangkap microlessnya.
Kayu ranting, dan daun daun kering sudah terkumpul. Korek api Fred yang ku pungut dan lupa belum ku kembalikan pun akhirnya berfaedah setelah sempat ku pertanyakan fungsinya untuk kami yang tidak merokok.
"Fred, semoga kebaikan korek apimu ini bisa menyelamatkanmu di dalam hutan sana. Lepas ini saya akan menemukanmu." Batinku berjanji.
Udara mulai menghangat. Api unggun itu resmi menjadi pusat orbit kami. Lalu tepat sebelum Anggi mengerang sebab kakinya mulai membengkak Pak Penjaga Hutan tiba di lokasi kami. Sesuai pesananku, beliau membawakan list tersebut. Dome kapasitas dua orang langsung didirikan dekat Api Unggun untuk menjaga suhu tubuh Kevin yang mulai menggigil, logistic pemadam kelaparan, P3k, dan tentu saja perlengkapan bengkel. Pak Her saya minta mencoba memperbaiki lagi mobil kami sembari menunggu rombongan teman-teman dari kota tiba. Dan sesuai janjiku, saat Fred belum kembali ketika Pak Penjaga Hutan tiba. Saya harus mencarinya.
Berdua dengan Pak Penjaga Hutan, kami memasuki wilayah hutan yang lebih gelap dari sebelumnya. Memancing suara peluit (yang mungkin) Fred dengan suara senada. Setapak demi setapak gelap dan terjalnya hutan kami jejaki. Sulit mencari jejak -- jejak kaki dalam kondisi minim pencahayaan, tapi disitulah fungsi optimal dari panca indra harus dikerahkan.
Nyaris saya menjerit saat melihat sosok putih putih dengan wajah lebam berantakan di depan kami, sebelum seorang itu bersuara.
"Oh..Hello Kids!!! " serunya tanpa dosa.
"Are you fine Mr.Fred?" tanyaku dengan kekhawatiran yang lenyap.
"Ya, saya baik baik saja. Baru saja saya akan kembali ke lokasi kita."
"Apakah Anda tadi meniup peluit Pak Fred?" tanya Pak Penjaga Hutan.
"Uhmm..itu. Oh ya. Saya tadi tidak sengaja sebenarnya. Niat saya hanya menguji coba tapi karena tidak focus, sewaktu saya sedang mengambil sesuatu untuk membersihkan hajat saya, saya terperosok. Tapi saya baik baik saja kok."
"Alhamdulillah..." lirihku sambil mengelap keringat.
"Syukurlah Pak Fred, sebaiknya sekarang kita kembali ke rombongan." Ujar Pak Penjaga Hutan.
"Iya Pak, kami semua mengkhawatirkanmu."
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam perjalanan kemarin lalu itu. Hal yang membuat istimewa dalam sebuah perjalanan dalam sikap kita dalam menghadapi teman dan keadaan perjalanan. Beruntung, saya menemani rombongan turis yang cukup bersahabat dan mampu menerima keadaan saat itu. Sekalipun sempat diawali keraguan dan ketidakpercayaan satu sama lain di awal, tapi waktu menunggu bantuan datang nyata membuat kami mengalirkan banyak percakapan sebagai sarana saling mengenal. Matinya gaddet masing masing kami, membuka lebar gerbang bincang hangat kami disekeliling api unggun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H