Mohon tunggu...
Risang Rimbatmaja
Risang Rimbatmaja Mohon Tunggu... Freelancer - Teman kucing-kucing

Full time part timer | Fasilitator kampung | Sedang terus belajar bergaul

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agar Program Makan Gratis Tidak Sia-Sia

2 Juni 2024   08:02 Diperbarui: 2 Juni 2024   08:07 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah program makanan tambahan akan memperbaiki kesehatan gizi penerimanya? Kalau ibu hamil dikasih makan, ibu balita dikasih makan buat anaknya atau anak sekolah dikasih makan, apakah nanti status kesehatan gizi mereka akan membaik?

Jawaban: bisa-bisa saja.

Pertama, bisa saja dengan catatan makan yang diberikan memang sesuai dengan kebutuhan gizi penerima manfaat. Dalam istilah pakar gizi, bergizi seimbang atau ada pula yang mengistilahkan sebagai bergizi adil. Fokusnya pada sisi keberagaman bahan pangan dan porsi makanan. Makanan yang disediakan mesti terdiri dari beragam bahan makanan, termasuk sumber pertumbuhan (protein), tenaga (karbohidrat), pengatur (vitamin/ mineral) dan lain-lain yang penting untuk mendukung penyerapan zat gizi dan pertumbuhan. Lalu, porsi makanannya pun mesti sesuai dengan kebutuhan yang diantaranya ditentukan oleh usia dan jender. Anak bawah dua tahun, misalnya, membutuhkan banyak sumber protein, makanya mesti ada telur, ikan atau lainnya.

Kedua, bisa saja kalau yang makannya memang bergizi seimbang lalu dimakan. Lho, memangnya mungkin tidak dimakan?

Sangat mungkin.

Apa yang dipandang bagus oleh pengelola program belum tentu dipandang sama oleh penerima manfaat. Gratis sekalipun bukan jaminan. Buktinya banyak.

TTD (Tablet Tambah Darah) diberikan gratis pada ibu hamil agar diminum setiap hari satu tablet selama kehamilan, setidaknya 90 tablet. Tapi berapa % ibu hamil yang meminumnya? Kurang dari separuh. Maka itu, tidak mengherankan bila angka anemia di kalangan ibu hamil di Indonesia masih tinggi, lebih dari 50%.

Dulu ada Program PMT (Pemberian Makanan Tambahan) bagi ibu hamil yang KEK (Kekurangan Energi Kronis) dalam bentuk paket biskuit. Nah, siapa yang ikut menikmati bisuit itu? Ternyata para suami juga ikut menikmati. Katanya untuk teman minum kopi.

Sebagai solusi, bagaimana kalau makannya diawasi langsung? Dipastikan di tempat, para penerima manfaat langsung memasukkan makanan ke dalam mulut?

Kalau bisa, mungkin membantu. Tapi apa bisa?

Di sekolah ada program TTD bagi remaja putri. Kegiatan mingguan. Ada yang berlaku hari Jumat. Ada pula yang hari lain.

Setelah membagikan TTD, guru memberi aba-aba. “Ayo, anak-anak! Tunjukkan TTD-nya. Mana TTD-nya. Masukan ke mulut dan telan!”

Apa semua remaja putri menelannya?

Ternyata tidak sedikit yang pura-pura menelannya lalu membuang TTD ke laci. Makanya, wajar bila angka anemia di remaja putri masih cukup tinggi.

Jadi, benar kata peribahasa asing: you can lead a horse to water but you can't make him drink. Orang bisa saja dikasih makanan tapi membuatnya makan adalah hal lain.

Lalu, bagaimana caranya membuat orang mau makan makanan yang disediakan?

 

Ketiga, taruhlah makanan yang diberikan benar-benar dimakan semuanya dengan penuh rasa tulus dan syukur, apakah akan meningkatkan status kesehatan gizi penerima?

Bisa saja, kalau penerima manfaat belajar dari situ.

Belajar, maksudnya?

Iya, belajar karena program makanan-makanan seperti itu kan tidak 100% memenuhi kebutuhan gizi mereka. Untuk anak sekolah hanya berlangsung 1x sehari dan belum tentu memenuhi semua kebutuhan gizi dalam seharian.

Makanan yang diterima mesti jadi pembelajaran dan sekaligus pembiasaan makanan yang bagus. Harapannya, kalau di sekolah diberi makan telur, sayur, buah, dan nasi, maka nanti di rumah anak akan makan makanan yang sama. Kalau selama ini fanatik dengan roti dengan susu palsu penuh gula (SKM), maka dia akan mau makan makanan yang bergizi seimbang.

Tetapi, bagaimana caranya agar program makanan tambahan begitu menjadi pembelajaran?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, khususnya dari poin 2 dan 3, maka jawabannya selain merancang makanannya, pengelola program juga mesti merancang edukasi untuk perubahan perilakunya.

Kalau formula makanan mesti dirancang hati-hati dengan sederet ujicoba, baik di lab maupun di lapangan, maka rancangan edukasi untuk perubahan perilakunya pun mesti melalui proses yang sama seriusnya.

Idealnya begitu. Moga-moga begitu. Meski, dalam kebanyakan program elemen edukasi biasanya diabaikan dan baru diperhatikan saat muncul masalah.

Lavande, 2 Juni 2024 - RR

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun