Pada Suatu hari di tahun 1962, seorang utusan datang menghadap ke Buya. Ia membawa pesan, anggota konstituante dari fraksi PNI, Moch Yamin sedang sakit keras, pesan yang dibawa oleh utusan tersebut bisa jadi adalah wasiat terakhit dari Moch Yamin.
"Pak Yamin berpesan agar Buya sudi mendampinginya, menjelang ajalnya," kata Chairul Saleh, putra Minang yang kala itu menjabat Menteri dalam kabinet sekaligus orang kepercayaan Presiden Soekarno.
Buya Hamka terkejut, teringat kembali oleh Buya bagaimana keduanya bersebrangan saat berlangsungnya sidang perumusan Dasar Negara Republik Indonesia. Buya Hamka bersama Masyumi mendorong dasar negara berdasarkan Islam sementara Yamin dipimpin PNI mendorong Pancasila sebagai dasar negara.
Irfan Hamka, anak kelima dari Buya Hamka menceritakan, saat Buya K.H Isa Ansani datang ke rumahnya, Hamka pernah menceritakan hubungannya dengan Yamin semenjak sidang perumusan dasar negara tersebut.
"Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian, hati nuraninya pun ikut membenci," Kata Buya, dikisahkan oleh Irfan Hamka.
Dengan perselisihan seperti itu, apakah lantas Buya menolak permohonan terakhir dari Yamin ?.
"Kalau begitu, mari antar saya ke RSPAD untuk menemui beliau," kata Buya kepada Chairul Saleh. Keduanya kemudian bergegas menuju ruang VIP tempat Yamin dirawat. di dalam ruangan itu, telah terlebih dahulu hadir beberapa orang. Beberapa diantaranya adalah Pendeta, Biksu dan sejumlah tokoh lainnya.
Buya kemudian mencium kening orang yang telah membencinya itu. "Dampingi saya," air mata menggenang di pelopak mata Moch Yamin.
Ia kemudian meninggal dunia setelah dibimbing mengucap kalimat Tauhid. Mr. Moch Yamin meninggal saat menggenggam tangan Buya: orang yang ia benci bertahun-tahun lamanya.
***
Tak hanya sekali, kebesaran jiwa Buya bernama lengkap H. Abdul Malik Karim Amrullah (dahulu karib disapa Amka atau Malik), juga diuji saat menjalankan wasiat Presiden Soekarno yang terakhir kalinya.
Wasiat tersebut, disampaikan ajudan Soeharto, Mayjen Suryo kepada Hamka pada 16 Juni 1970. Isinya, Soekarno meminta agar Buya Hamka bersedia untuk mengimami shalat jenazahnya.
Tanpa pikir panjang, Buya pun berangkat menuju Wisma Yaso, ia kemudian menunaikan wasiat terakhir Soekarno dengan menjadi Imam shalat jenazah mantan Presiden Republik Indonesia yang pertama tersebut.
Padahal, hampir dua tahun lamanya Buya Hamka ditahan atas perintah Soekarno. Buya ditahan pada rentang tahun 1964-1966 dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Anti Subsversif Penpres No.11 1963 dengan dugaan melakukan perencanaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Selain itu, buah pikirannya yang dicetak dalam beberapa bentuk buku dilarang peredarannya oleh pemerintah.
Hal tersebut juga merupakan bentuk akumulasi dari serangan Lekra melalui Harian Bintang Timur oleh pihak Kiri yang dipimpin oleh Pramoedya Ananta Toer kepada orang-orang yang bersebrangan dengannya termasuk Buya Hamka.
Buya Hamka sendiri tak pernah menaruh dendam kepada Pram dan Soekarno. Taufiq Ismail menyebut, Buya bahkan tak pernah setuju dengan pelarangan buku milik Pramoedya Ananta Toer sebab Pram, kata Hamka mengusung filsafat hidup yang didasari oleh cinta.
Sementara untuk Soekarno, Irfan Hamka menyebut ayahnya justru menganggapnya sebagai anugerah. untuk itu, Buya merasa tak perlu menaruh dendam atas kejadian tersebut.
"Dendam itu dosa, saya menganggap ini adalah karunia, sehingga saya bisa menyelesaikan tafsir 30 juz Alquran dari dalam penjara," kata Buya.
Buya Hamka memang kerap kali melontarkan kalimat yang menenangkan hati, baginya kata-kata yang lemah dan beradab dapat melembutkan hati dan manusia yang keras
Kebesaran jiwa Buya Hamka dari kisah-kisah yang saya tuliskan di atas adalah alasan mengapa buya adalah ulama yang kharismatik. Darinya kita bisa belajar banyak bagaimana merelakan jiwa yang terkoyak karena disakiti, disembuhkan hanya dengan kata memaafkan. Ia tak pernah melahirkan dendam sebab dendam hanya akan membusukkan hati dari dalam, mengundang tamu tak diundang bernama Setan yang membisikkan hati agar melakukan hal-hal yang tak ada kebaikan-kebaikan di dalamnya sedikitpun.
Hamka mengisahkan perlawanannya dengan Setan dalam bukunya, Tasawuf Modern. Hampir satu jam lamanya terjadi perang hebat dalam batinnya antara perdayaan iblis yang menghasutnya untuk mengiris lengannya dengan silet saat dituduh menjadi mata-mata Malaysia dan iman yang telah dipupuk berpuluh-puluh tahun.
"Alhamdulillah, perdayaan setan itu kalah dan dia pun mundur, saya menang," kenang Hamka dalam bukunya itu.
Kebesaran hati Buya tak terlepas dari hakikat kebahagiaan yang ia jadikan sebagai dasar pedoman dan pegangan hidup. "Meskipun seseorang telah memperoleh hati yang suci batin, telah mendapat keridhaan Tuhan, senangkah saja hatinya melihat temannya sesama manusia memperoleh susah sengsara, rendah dan jauh dari budi pekerti ?"
Begitulah, perjalanan hidup seorang Buya yang dapat dijadikan tauladan. Nasihatnya masih relevan jika kita kaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini. Orang-orang saling menghujat di media sosial, saling membenci karena berbeda paham politik dan hal-hal remeh temeh lainnya.
Orang-orang begitu memusatkan perhatian kepada hal yang tak begitu prinsipil hingga lupa untuk menjaga hubungannya antar manusia dan hubungannya kepada Tuhannya.
Selamat menyambut bulan suci Ramadhan.
Sumber Bacaan :
Ayah (Irfan Hamka)
Tasawuf Modern (Buya Hamka)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H