Mohon tunggu...
Risalahdamar Ratri
Risalahdamar Ratri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Sudah Tumbuh, Bu

23 Desember 2022   18:17 Diperbarui: 23 Desember 2022   18:30 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia bisa tumbuh seperti apa pun yang dia mau, bahkan dengan kesedihan itu.

"Ayo ke kebun binatang sekarang!" Raka menatapku sebentar, menghentikan langkahnya di tengah hiruk pikuk manusia-manusia yang diburu waktu, seakan mereka akan mati jika tak mengidahkan suara detik-detik-detik yang nyaring itu.

"Tiba-tiba sekali?" tanyaku keheranan. Ah seharusnya aku tak terkejut, ia memang suka seperti itu. Menawarkan sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.

Lelaki berperawakan tegap itu terkekeh pelan, memamerkan kedua lesung pipitnya. "Ini bukan tiba-tiba, Ra, sudah aku rencanakan sepekan lalu."

Aku berjalan ke pinggir taman, mencari tempat duduk untuk meneruskan obrolan yang mungkin akan berepisode-episode. "Ya tetap saja Raka ini tiba-tiba bagiku." Lagi, ia terkekeh, benci sekali aku ketika ia sudah mulai tengil begini. "Tetapi misalnya rencana ini aku katakan lebih dulu apakah kamu akan tetap menganggapnya tiba-tiba?"

"Tergantung," jawabku singkat.

Kini dahinya berkerut melenyapkan senyum menyebalkan itu menghilang. "Maksudnya?"

"Kalau lagi banyak kerjaan aku akan tetap menganggap rencanamu terburu-buru, tetapi kalau tidak, ya maka aku akan menganggap rencanamu sebagai liburan."

"Jika begitu kamu nggak cocok Ra buat tinggal di bumi."

"Maksudmu?" benar kan, obrolan ini jadi panjang. Bisa-bisa aku tidak kebagian telur gulung di dekat taman hanya karena menanggapi perdebatan ini.

"Hidup di bumi itu tiba-tiba terus Ra, takdir tidak akan peduli kamu siap atau tidak, semua takdir akan menjadi hal yang terus tiba-tiba di hidupmu dan kebanyakan manusia selalu tidak siap menerimanya."

"Ayo ke kebun binatang Ka, jangan ajak aku berbincang pada topik seperti ini!"

Aku melihat buaya, monyet, jerapah, harimau, simpanse, dan fauna-fauna lain, Raka juga sejak tadi terlihat sangat menikmati. Dibanding memotret dan memandang kehangatan sekitar kebun, aku justru menemukan sesuatu yang lain. Setiap penjuru ini, setiap kulihat tangan mungil-mungil itu digenggam oleh tangan-tangan penuh kasih sayang, aku menemukan kenangan itu kembali, benar-benar kembali, hingga air-air yang telah lama kukemaraukan hadir dengan menantang di kedua mataku. Aku penasaran apakah mereka benar-benar menginginkan kebun binatang atau hanya sekadar memenuhi keinginan orang dewasa, apakah mereka benar-benar menyimpan semuanya dalam benak atau justru dihapus sebab tak sungguh-sungguh menginginkan tempat ini?

Dulu, kebun binatang menjadi tempat kesukaan ibu. Bisa seminggu dua kali ibu mengajakku berkunjung ke banyak kebun binatang. Aku tak pernah tahu apa maksud ibu, yang jelas dulu akan ada ritual mengamuk, menangis, dan bersembunyi yang kulakukan akan ibu tak mengajakku ke kebun binatang. Namun, selalu saja gagal, ibu terus menang dengan menyogok es krim atau bakso kesukaanku.

Raka menyenggol lenganku pelan, tetapi cukup membuatku terkejut dan kesal. "Bisa tidak menganggukku?" kubalas dengan memukul lengannya lebih keras, hingga ia mengaduh kesakitan. "Sakit Ra."

"Memang aku pikirkan?" Raka mengubah suasana sendu yang kubangun menjadi rasa jengkel yang memuncak. Ingin rasanya melempar lelaki ini ke kandang harimau agar segera bertobat dari sifat menyebalkannya.

"Lagian ya Ra, di kebun binatang itu yang dilihat hewannya bukan kenangan!"

"Sejak kapan ada aturan seperti itu?"

"Baru saja, aku meminta petugas untuk mencatat itu sebagai aturan." Belum sempat memenangkan perdebatan, hujan menyapa bumi dengan rintik yang deras. Mungkin Tuhan mengasihaniku sebab aku belum sempat memutar semua kenangan, tetapi sudah dikacaukan Raka, maka diturunkan air-air ini untuk membantuku kembali pada kenangan itu.

"Mbak kamu lihat orang utan itu." Ibu menunjuk orang utan yang duduk sendirian di rumahnya tepat di sebelah kolam. Karena saat itu aku tengah bosan, aku hanya memandang dan mendengar perkataan ibu yang kurang lebih seperti ini, "Nanti dan sekarang jalani hidup seperti dia ya Mbak, orang utan tetap hidup meski banyak gemuruh-gemuruh suara di sekitarnya, ia tetap duduk di kolam meski hewan-hewan lain berusaha meloncat, bergelimbungan, dan bahkan memaksa keluar. Ia menerima rumah yang diberikan. Ia juga menerima tubuhnya, tak berusaha memotong rambutnya seperti cecak memutuskan ekornya, ia tak berusaha mengubah tubuhnya seperti kupu-kupu, dan ia juga tak berusaha menyakiti rusa untuk mengenyangkan dirinya seperti singa. Orang utan hidup dengan keikhlasan menerima dirinya, ia tetap tumbuh dan hidup baik-baik saja Mbak tanpa menghakimi takdir. Kamu tumbuh seperti dia ya Mbak, apa pun yang terjadi di masa depan, hidup dengan keikhlasan ya. Ibu sayang Mbak Rara."

"Ibu ya Ra?"

"Itu kamu tahu."

"Kamu masih belum ikhlas,"

"Sudah."

"Bohong!" layaknya bermain catur aku terus di sekakmat oleh Raka.

"Aku hanya sedih ketika ibu memintaku tumbuh, tetapi ia tak melihatku tumbuh."

"Kamu belum tumbuh Ra."

"Aku sudah tumbuh Ka."

"Kamu masih marah dengan takdir, kamu belum tumbuh bersama keikhlasan itu." Kali ini aku tak membalas perkataan Raka. Aku diam, apa benar selama ini aku belum tumbuh? Apa benar aku masih hidup sebagai anak kecil 24 tahun yang lalu?"

"Ra, sadar atau tidak, selama ini kamu bernapas dengan rasa sedih yang terus kamu pupuk, kamu hidup dengan banyak kesedihan, dan kamu terus merayakan itu. Yang tumbuh hanya rasa sedihmu bukan dirimu."

"Lalu harus bagaimana? Aku kehilangan dan mengapa masih diperintahkan untuk tak bersedih?"

"Sebab ibumu menginginkanmu besar dengan kebahagiaan bukan rasa sedih. Apa kamu lupa Ra, sampai di detik akhir, ibumu melepas kehidupan dengan tetap tersenyum, beliau hanya ingin anak-anaknya tahu bahwa dirinya baik-baik saja, begitu pual dengan anak-anaknya yang beliau harap akan juga baik-baik saja."

Tetapi pada kenyataannya, Bu, aku tak pernah merasa baik setelah Ibu memutuskan untuk mengikuti takdir ketimbang melihat anakmu bekerja keras untuk tumbuh seperti keinginanmu. Ibu biarkan aku menangis sendirian ketika dunia tengah menyerangku, ibu biarkan aku menjajaki dunia dengan ratusan duri tajam yang menancap di kakiku, dan ibu biarkan aku pergi ke kebun binatang tanpa genggaman seperti dulu.

"Bagaimana Ra masih sepakat untuk bersedih?" Raka memang suka terburu-buru, termasuk dalam menginginkanku untuk segera ikhlas. Ia tampak tak sabar.

"Tunggu dulu, biarkan aku berpamitan dengan kesedihan."

"Mau berfoto sama monyet?"

"Kan setiap hari aku sudah berteman dengan monyet."

"Maksudmu?" Raka menatapku penuh selidik.

"Ya kamu tahulah ucapanku."

"Sialan!" Raka menyumpahiku sambil berjalan mendahului.

Untuk hari ini, aku memutuskan untuk menghilangkan segala duka yang telah hinggap. Untuk hari ini aku biarkan bahagia menguasai diriku. Aku akan hidup sebagai anak-anak yang menyukai kebun binatang, aku izinkan takdir membawa ibuku.

Ibu, Mbak Rara akan terus tumbuh, aku akan hidup sebagai anak ibu, aku akan hidup dewasa dengan baik, dengan tetap menangis dan bahagia. Bu hari ini, aku akan tumbuh dengan kebahagiaan. Sesuai yang Ibu mau.

-Tamat-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun