Mohon tunggu...
risa marisa
risa marisa Mohon Tunggu... -

lagi belajar menulis.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kecelakaan yang merenggut nyawa suamiku

30 Juni 2011   00:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:04 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pelayan baru saja datang membawa hidangan pesanan kami, ketika handphone suamiku, mas Lukman berdering.

“ Halo, ya? Gimana? Udah ada didepan? Ok, aku kesana.”

Kupandangi mas Lukman yang berjalan ke luar dari warung makan. Tak ada rasa curiga. Dia biasa seperti itu. Bahkan saat jam istrahat seperti sekarang ini, ada saja klien yang mencarinya. Sambil tersenyum kearah pelayan yang selesai mengatur makanan kami, aku mengelus kepala anakku yang baru berusia tiga tahun.

“ Ma, Iyan mau makan..” pinta anakku. Kuelus lagi rambutnya.

“ Sabar ya sayang. Tunggu papa.”

“ Nggak mau. Iyan mau makan sekarang.” Anakku mulai merengek. Mungkin benar dia merasa lapar. Sejak tadi pagi dia hanya minum susu dan belum memasukkan makanan apapun ke dalam mulutnya.

Aku belum bereaksi ketika anakku menarik gelas berisi air es didepannya. Kuperhatikan dia pelan-pelan menarik gelas itu dan meminum airnya. Hanya sekian detik aku palingkan wajah dari anakku ke handphone yang berbunyi ketika suara benda pecah terdengar begitu dekat denganku. Dengan cepat kutaruh Handphone kembali ke dalam tas.

Wajah anakku terlihat ketakutan karena baru saja menjatuhkan gelas berisi air es tersebut.

“ Sayang..pelan-pelan megang gelasnya. Udah, Iyan menyingkir dulu ya..biar mas nya yang bersihin.”

Kataku untuk menenangkan anakku yang terlihat begitu bersalah. Kutarik dengan lembut tubuhnya merapat ke tubuhku. Sambil terus meminta maaf atas nama anakku sesekali kulihat suamiku yang masih berdiri di depan warung. Dia tidak lagi menelpon. Aku mengira sebentar lagi dia akan bergabung bersama kami, karena itu selesai pelayan warung membersikan pecahan kaca aku segera berbalik menghadap ke meja.

Segera kuaturkan makanan untuk anakku. Iyan menunjuk-nunjuk makanan yang disukainya. Dia paling suka ayam goreng dan cah kangkung.

Obrolan dengan anakku terus berlanjut sambil kami menikmati makanan. Aku melirik lagi suamiku, dia sudah tidak ada. Tak ada perasaan aneh. Pasti sebentar lagi mas Lukman masuk, pikirku.

Tapi keributan yang terjadi di depan warung membuatku menengok lagi ke jalan. Pemilik warung dan pelayannya berlarian ke luar dari warung. Warung yang semula nyaris penuh mendadak hanya tinggal aku dan anakku yang duduk. Aku sama sekali tidak tergerak untuk mengikuti orang-orang itu.

Kandunganku yang berusia tujuh bulan membuatku malas untuk beranjak. Apalagi Iyan, anakku juga terlihat begitu bersemangat menyantap hidangannya.

“ Ada apa, mas?” tanyaku pada pelayan yang berlari masuk ke dalam warung lalu keluar lagi.

“ Ada kecelakaan, bu.” Jawabnya sambil berlari keluar.

“ Bapak itu! Bapak yang tadi disini! Istrinya di dalam!” teriakan dari luar membuatku berpaling lagi.

Suara-suara ribut makin dekat menuju ke warung. Tiba-tiba semua bergerombol di depan warung. Pemilik warung tergopoh-gopoh mendekatiku.

“ Ibu, ibu sabar ya.” Katanya dengan nafas tersengal-sengal.

“ Kenapa pak?”

“ Suami ibu kecelakaan! Kami belum tahu bagaimana keadaan suami ibu..”

Jantungku langsung berdetak kencang. Aku masih berpikir aku salah mendengar perkataan bapak tadi.

“ Maksud bapak?” tanyaku dengan tangan gemetar. Kuturunkan tanganku dari atas meja.

“ Suami ibu kecelakaan waktu menyeberang jalan.” Ulangnya dengan ekspresi wajah yang terlihat sedih.

Aku tidak sadar kalau tengah hamil tujuh bulan. Dengan cepat aku berlari keluar. Aku lupa akan Iyan. Yang kuingat hanya suamiku. Mengapa dia tiba-tiba menyeberang jalan? Bukankah tadi dia hanya berdiri di depan warung? Pertanyaan itu memenuhi pikiranku.

Istri pemilik warung langsung merangkulku begitu aku berdiri dipinggir jalan. Dia bersama pelayan wanita memapahku menuju mobil polisi yang sudah ada. Suara sirine dan klakson mobil yang bersahutan karena macet makin membuat kepalaku berkunang-kunang.

Dalam langkahku yang lemah, aku terus berdoa. Semoga bukan suamiku yang kecelakaan. Kalaupun kecelakaan, setidaknya keadaannya tidak parah apalagi sampai meninggal.

Tapi aku hanya bisa berdiri kaku saat kulihat tubuh yang bersimbah darah terbaring di dalam ambulance adalah benar suamiku. Aku bahkan tak sempat meneteskan air mata. Tubuh suamiku diam tak bergerak. Seketika tubuhku limbung. Tak ada lagi yang kuingat. Semuanya gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun