Mohon tunggu...
Riris Ronauli
Riris Ronauli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura

Saya adalah mahasiswa ilmu komunikasi yang gemar menyusun kata menjadi cerita. Melalui artikel menarik, saya mengeksplorasi ide, menyampaikan pesan, dan menginspirasi pembaca untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Respresentasi Perempuan Batak Dalam Film Ngeri - Ngeri Sedap : Analisis Peran, Konflik, Dan Tuntutan Sosial Berdasarkan Perspektif Gender Dan Budaya

19 Desember 2024   00:51 Diperbarui: 19 Desember 2024   00:51 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abstrak

Film Ngeri-Ngeri Sedap menggambarkan kehidupan keluarga Batak dengan berbagai dinamika sosial yang terjadi, terutama dalam hubungan antar anggota keluarga, serta representasi peran perempuan Batak. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis representasi perempuan Batak dalam film tersebut melalui perspektif gender dan budaya. Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotikadan pendekatan kualitatif untuk menggali bagaimana karakter perempuan seperti Mak Domu  dan Sarma digambarkan dalam film, serta peran, konflik, dan tuntutan sosial yang mereka hadapi. Teori konstruksi sosial,feminisme (Simone de Beauvoir), performativity (Judith Butler), serta interseksionalitas diterapkan untuk menganalisis bagaimana identitas gender perempuan Batak dibentuk dan dinilai dalam budaya patriarkal yang dominan. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun perempuan dalam film ini menghadapi pembatasan peran akibat norma budaya, mereka juga berusaha untuk menegosiasikan, mengubah, dan merepresentasikan kembali identitas mereka. Melalui representasi ini, film Ngeri-Ngeri Sedap memperlihatkan ketegangan antara peran tradisional dan perubahan sosial dalam konteks budaya Batak, di mana perempuan berusaha menemukan keseimbangan antara memenuhi harapan budaya dan mempertahankan identitas diri mereka.

Kata Kunci : Representasi Perempuan, Peran Gender, Konflik Sosial, Budaya Batak, Analisis Semiotika, Perspektif Gender, Feminisme, Konstruksi Sosial.

 

Abstract

The film Ngeri-Ngeri Sedap depicts the life of a Batak family with various social dynamics, particularly within family relationships, as well as the representation of Batak women's roles. This article aims to analyze the representation of Batak women in the film through the lens of gender and culture. This research uses a semiotic analysis method and a qualitative approach to explore how female characters such as Mak Domu and Sarmaare portrayed in the film, as well as the roles, conflicts, and social demands they face. The theories of social construction, feminism (Simone de Beauvoir), performativity (Judith Butler), and intersectionality are applied to analyze how the gender identity of Batak women is shaped and evaluated in a dominant patriarchal culture. The analysis results show that, although the women in this film face role limitations due to cultural norms, they also attempt to negotiate, transform, and re-represent their identities. Through this representation, Ngeri-Ngeri Sedap highlights the tension between traditional roles and social change within the context of Batak culture, where women strive to find a balance between fulfilling cultural expectations and preserving their self-identity.

Keywords : Representation of Women, Gender Roles, Social Conflicts, Batak Culture, Semiotic Analysis, Gender Perspective, Feminism, Social Construction.

PENDAHULUAN

Dalam budaya batak keluarga merupakan unit sosial yang sangat penting dan peran gender dalam keluarga ditentukan oleh tradisi. Struktur pada keluarga batak memiliki prioritas tersendiri yaitu laki – laki lalu perempuan. Hal itu dapat dilihat dalam pandangan orang Batak dalam hal keturunan, dimana anak laki-laki adalah sebagai penerus keturunan. walaupun dilahirkan secara bersamaan, namun eksistensi antara laki-laki dan perempuan berbeda dalam pandangan orang Batak, bahkan hal itu masih berlangsung hingga kini, dimana laki-laki lebih mendominasi dan perempuan menjadi termarjinalisasi (Butar-Butar, 2020).

Di dalam keluarga, perempuan Batak sering kali ditempatkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan emosional dan sosial anggota keluarga. Meskipun perempuan Batak dihormati dalam hal menjaga dan meneruskan tradisi, mereka tidak memiliki kebebasan yang sama dengan laki-laki dalam hal memilih jalur hidup atau membuat keputusan besar. Sebagai contoh, dalam sistem marga Batak yang bersifat patrilineal, perempuan akan mengikuti marga suami setelah menikah, yang menunjukkan posisi perempuan yang lebih terikat pada keluarga suami dan tidak lagi dianggap bagian dari marga keluarganya sendiri. Hal ini mencerminkan dominasi laki-laki dalam struktur keluarga dan masyarakat.

Pada film Ngeri - Ngeri Sedap  ada 2 perempuan batak yang mengalami bias gender yaitu, Mak Domu (istri dari Pak Domu) dan Sarma(anak perempuan satu – satunya dari Pak Domu dan Mak Domu). Mak Domu dalam perempuan budaya Batak, sering kali diposisikan sebagai "penjaga keharmonisan" keluarga, yang lebih terfokus pada urusan rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak, serta melaksanakan berbagai tugas domestik. Mak Domu berperan sebagai "ibu rumah tangga" yang setia dengan tanggung jawab untuk menjaga kesejahteraan keluarga, mendukung suami, dan memelihara tradisi. Namun, konflik yang dialami Mak Domu muncul dari tuntutan sosial dan budaya yang menempatkannya dalam posisi yang sangat subordinat dalam keluarga. Sebagai perempuan Batak, ia diharapkan untuk mengikuti norma-norma yang ada, yakni mendukung suami dalam segala hal, bahkan ketika suaminya mengambil keputusan yang sulit atau penuh tekanan.

Subordinasi merujuk pada pandangan atau penilaian yang menganggap bahwa peran yang dijalankan oleh salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah dibandingkan dengan peran yang dijalankan oleh jenis kelamin lainnya. Nilai-nilai sosial dan budaya dalam masyarakat telah membagi peran antara laki-laki dan perempuan. Perempuan umumnya dianggap bertanggung jawab dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki lebih dominan dalam urusan publik atau produksi. (Afandi, 2019)

Sedangkan Sarma yang merupakan anak perempuan satu – satunya yang belum menikah mengalami konflik yang berfokus pada pertentangannya dengan ekspektasi masyarakat dan keluarganya yang ingin dia tetap tinggal dan mengurus orang tua, menjaga nama baik marga, dan menjalani hidup yang lebih terikat pada peran tradisional perempuan dalam keluarga Batak. Sarma juga memilih untuk tetap mengurus orang tuanya karena mengalah kepada semua saudara laki – lakinya yang memilih bekerja di luar kota, seperti tanggungan menjaga Pak Domu dan Mak Domu adalah sebenarnya menjadi tanggung jawab Sahat. Sahat adalah anak bungsu laki – laki tetapi, Sahat memilih bekerja di luar kota yang awalnya seingga membuat Sarma memutuskan untuk mengurus kedua orangtua nya.

Tujuan artikel ini adalah untuk menganalisis fenomena representasi perempuan dalam peran, konflik, dan tuntutan sosial, dengan fokus pada pembagian peran laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial, budaya, dan bahasa. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana nilai-nilai budaya memperkuat peran gender tradisional, di mana perempuan cenderung terhubung dengan ruang domestik dan reproduksi, sementara laki-laki lebih dominan dalam ranah publik dan produksi. Selain itu, artikel ini juga menganalisis peran bahasa dalam memperkuat ketidaksetaraan gender,  baik dalam wacana sehari-hari maupun sistem komunikasi sosial, serta dampaknya terhadap identitas dan pengalaman gender dalam kehidupan sehari-hari.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotika dan pendekatan kualitatif. Analisis semiotika dapat membantu mengidentifikasi bagaimana film Ngeri - Ngeri Sedap  merepresentasikan ketidaksetaraan gender atau bagaimana perempuan Batak dihadapkan pada peran domestik yang terbentuk dari budaya patriarkal. Semiotika akan mengungkapkan makna denotatif (literal) dan konotatif (sosial-budaya) dari representasi perempuan dalam film. Sebagai contoh, seorang perempuan dalam film yang digambarkan di (Saputri & Christina, 2022). rumah dengan tugas-tugas domestik bisa dianalisis tidak hanya sebagai realitas literal (denotasi), tetapi juga sebagai representasi dari konstruksi gender yang membatasi peran perempuan (konotasi).

 Pendekatan kualitatif memungkinkan untuk menggali lebih dalam tentang konteks sosial dan budaya Batak, serta bagaimana hal itu mempengaruhi representasi perempuan dalam film. Dengan pendekatan ini, peneliti dapat menelusuri tuntutan sosial, nilai-nilai budaya, dan struktur patriarkal yang melekat pada kehidupan perempuan Batak di film Ngeri - Ngeri Sedap  yang dialami Mak Domu dan Sarma  Serta mengeksplorasi bagaimana film ini menyampaikan pesan tentang peran dan posisi perempuan dalam masyarakat Batak, serta bagaimana film tersebut memperlihatkan konflik yang dihadapi perempuan dalam bernegosiasi dengan peran yang diharapkan oleh budaya. Ini sangat relevan untuk memahami bagaimana perempuan diposisikan dalam struktur sosial dan bagaimana mereka merespons tantangan tersebut.

Gabungan metode ini memungkinkan peneliti untuk melakukan penelitian yang mendalam dan komprehensif tentang bagaimana film Ngeri - Ngeri Sedap tidak hanya merepresentasikan perempuan, tetapi juga memperlihatkan konflik sosial dan budaya yang dihadapi perempuan Batak.  Lalu, teori yang digunakan dalam mengidentifikasi penelitian ini ada 2 teori yaitu teori konstruksi sosial milik Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, dan teori feminisme milik Simone de Beauvoir.

Pada film Ngeri - Ngeri Sedap ,   Sceneyang menjadi penelitian 2 perempuan Batak yaitu Mak Domu dan Sarma masuk kedalam aliran Sosial-marxis. Dalam perspektif Sosialis-Marxis, terdapat fokus pada struktur kelas sosial, ketimpangan ekonomi, dan bagaimana sistem kapitalis dan patriarkal berinteraksi untuk menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi. Mak Domu dan Sarma dapat dipandang sebagai representasi dari bagaimana perempuan dalam budaya Batak mengalami perjuangan internal untuk mendefinisikan diri mereka di tengah tuntutan sosial, konflik generasi, dan peran tradisional yang sudah ada. Mereka terjebak dalam konstruksi sosial yang mengharuskan mereka untuk memenuhi ekspektasi yang dibuat oleh masyarakat dan keluarga mereka.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality menjelaskan bahwa kenyataan sosial dibangun melalui interaksi manusia dan melalui proses sosial yang membentuk norma, nilai, dan identitas. Dalam konteks analisis kualitatif, teori ini membantu menjelaskan bagaimana peran perempuan Batak dalam masyarakat dikonstruksi secara sosial dan budaya. (Lee, 2000)

Peran Mak Domu dalam film ngeri – ngeri sedap di representasikan sebagai seorang perempuan Batak yang matang dan kuat, serta menjadi representasi dari perempuan tradisional dalam keluarga Batak. Karakter ini mengemban peran yang sangat penting dalam menjaga nilai-nilai adat dan peran perempuan dalam keluarga. Dalam film, Mak Domu sering kali dihadapkan pada tuntutan keluarga dan tradisi, yang menempatkannya pada posisi yang terbatas dalam memilih jalan hidupnya. Sedangkan Sarma yang sebagai anak perempuan dari Mak Domu dan Pak Domu, merupakan representasi dari generasi muda yang lebih ingin menentukan nasib sendiri. Sarma lebih menurut. Karakter Sarma menggambarkan seorang perempuan yang berada dalam proses pencarian identitas, berusaha keluar dari bayang-bayang tradisi dan mengejar kebebasannya.

Bagian 1 

Scene 1 

Scene 2

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap
Scene 3

film ngeri - ngeri sedap 
film ngeri - ngeri sedap 

Dalam adegan menit 02:56 hingga 05:32 dalam film Ngeri-Ngeri Sedap, karakter Mak Domu berperan sebagai perantara komunikasi antara Pak Domu dan anak-anak laki-laki mereka yang berada di perantauan. Pada situasi ini, Mak Domu berada dalam posisi sebagai penghubung, namun perannya terbatas pada menyampaikan pesan yang sepenuhnya dikontrol oleh Pak Domu.

            Pada   Scene 1 Mak Domu meminta untuk yang berbica kepada Domu. Pak Domu menolak sambil mendorong pelan pundak Mak Domu, lalu Mak Domu melanjutkan percakapannya dengan anak sulungnya. Domu adalah anak pertama laki – laki. Berikut isi percakapan sesuai naskah berikut :

            Domu           : “jadi gimana mak? Mau kawin aku loh”

            Mak Domu : (memberi raut wajah bertanya kepada Pak Domu bagaimana langkah selanjutnya atau pesan selanjutnya lalu menyodorkan telephone genggam tersebut)

            Pak Domu : (memberi raut wajah penolakan dengan tegas seolah – olah memberi sinyal dan menginginkan Mak Domu menyampaikan pesan sesuai dengan isi pikirannya)

            Mak Domu : “kata bapakmu, jangan kan kenalan, jumpa kau pun gak mau  kalau kerjaan mu cuman melawan”

Pada   Scene 2 dan 3 tetap sama , dimana Pak Domu meminta untuk Mak Domu yang berbicara kepada anak – anak mereka dan memberi isyarat kepada Mak Domu disaat ada pesan yang yang disampaikan Mak Domu tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Pak Domu.

Deborah Cameron menekankan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga mencerminkan dan memperkuat struktur kekuasaan dalam masyarakat. Bahasa   merepresentasikan  dunia  dari  sudut  pandang  maskulin  dan  sesuai  dengan  kepercayaan yang distereotipekan tentang wanita, pria, dan hubungan di antara keduanya (Katubi, 2004). Dalam hal ini, ketidakpercayaan yang tercermin dalam bahasa atau sikap Mak Domu, seperti menunggu instruksi dari suaminya-adalah bagian dari hubungan kekuasaan yang tidak setara antara gender. Ketika seorang perempuan merasa bahwa perkataannya tidak dianggap valid atau kurang penting dibandingkan dengan perkataan suami, ini memperlihatkan bahwa otoritas dalam hubungan tersebut lebih sering diberikan kepada laki-laki, dan ini tercermin dalam cara mereka berinteraksi melalui bahasa.

Pak Domu memegang otoritas penuh atas isi pesan yang harus disampaikan, menunjukkan dominasi patriarki di dalam keluarga. Mak Domu, di sisi lain, tidak memiliki kuasa untuk mengubah atau menyesuaikan pesan tersebut sesuai dengan pemahamannya sendiri. Hal ini mencerminkan realitas budaya patriarki dalam tradisi Batak, di mana laki-laki sering kali memegang kendali penuh dalam pengambilan keputusan, sementara perempuan hanya berfungsi sebagai pelaksana atau penghubung. Peran ini juga menggambarkan bagaimana perempuan, meskipun memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga komunikasi keluarga, tetap berada di bawah kendali laki-laki dalam struktur sosial dan keluarga yang patriarkal. Adegan ini secara simbolis menunjukkan ketimpangan gender yang menjadi bagian dari dinamika keluarga tradisional dalam masyarakat Batak.

Bagian 2         

Scene 1

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

Scene 2

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

Scene 3

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap
Scene 4

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

Dalam adegan menit 09:16–12:12, pada   Scene 1 Perjalanan menuju rumah opung Domu, Mak DDomu bertemu pak pendeta. Mak Domu menghadapi tekanan sosial untuk menjaga citra keluarga sebagai keluarga yang harmonis dan terhormat di hadapan Amang Pendeta, meskipun tengah berdebat dengan Pak Domu. Sebagai perempuan, ia dituntut untuk menahan emosinya dan menyembunyikan konflik, mencerminkan bagaimana perempuan sering kali dibebani tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan dan reputasi keluarga, bahkan dengan mengorbankan ekspresi dirinya.

Pada   Scene 2 dan 3, Mak Domu menunjukkan kekesalannya terhadap Pak Domu yang mengambil keputusan sepihak untuk menutup kekurangan biaya acara Sulang-Sulang Pahoppu tanpa melibatkan dirinya dalam proses tersebut. Adegan ini menyoroti perasaan Mak Domu yang tidak dihargai sebagai seorang istri dalam pengambilan keputusan keluarga. Situasi ini mencerminkan ketimpangan gender dalam hubungan suami istri, di mana perempuan sering kali diabaikan dalam urusan yang seharusnya melibatkan kedua belah pihak secara setara, meskipun mereka juga memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam keluarga.

Lalu dalam Scene 4, Pak Domu dan Mak Domu sepakat membuat kebohongan terkait perceraian untuk memancing ketiga anak laki-lakinya pulang dari perantauan. Namun, saat menjalankan drama kebohongan tersebut, Pak Domu mengucapkan pernyataan bahwa seorang ibu seharusnya tidak boleh bangun kesiangan karena tugasnya mengurus rumah tangga, sementara seorang bapak tidak masalah jika bangun siang. Meski bagian dari sandiwara, pernyataan tersebut mencerminkan bias gender yang mengakar, di mana beban tanggung jawab domestik sepenuhnya dilimpahkan kepada perempuan. Hal ini tidak hanya mereproduksi stereotip tradisional, tetapi juga memperlihatkan ketimpangan persepsi mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga, yang membuat Mak Domu merasa jengkel dan tidak dihargai. Perempuan sering kali ditempatkan di ranah domestik, sementara laki-laki lebih banyak berada di ranah publik, sebuah pembagian yang, baik disadari maupun tidak, sangat merugikan perempuan. Meskipun perempuan bekerja di luar rumah, mereka masih dibebani dengan tugas-tugas domestik dan sosial tanpa adanya pembagian kerja yang adil antara laki-laki dan perempuan (Syafe’i Imam, 2015).

Bagian 3 

 Scene 1

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

 Scene 2

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

 Scene 3

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

Dalam beberapa   Scenetersebut yang dibagi menjadi 3   Sceneberfokus pada Sarma dan menyoroti sedikit pada Mak Domu. Pada   Scene 1 (menit 1:00:30), Domu atau anak sulung pertama menhampiri Sarma, Sarma yang sedang melamun sambil duduk dekat pinggiran laut tepat dibelakang rumah mereka. Sarma tampak ragu dan sedikit cemas ketika Domu bertanya apakah Sarma senang menjadi seorang PNS, ia terlihat terdiam sejenak. Ada perasaan tidak nyaman yang jelas terlihat di wajahnya tetapi ia menjawab pertanyaan Domu disertai dengan senyuman. Ia terpaksa mengalihkan pembicaraan, berusaha menutupi kebimbangan dalam dirinya. Ketika Domu menyebutkan tentang cita-cita Sarma yang dulu ingin belajar di sekolah memasak, Sarma langsung menghindar, enggan membahas keinginan yang sebenarnya dan berdalih menganggap cita – citanya dulu hanyalah keinginan atau imajinasi seorang anak kecil. Sarma merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak ia pilih sendiri. Seolah-olah ada tekanan untuk memenuhi harapan orang lain—terutama keluarganya yang menginginkannya bekerja sebagai PNS. Lalu ketika Domu bertanya terkait kelanjutan hubungan adiknya itu dengan kekasihnya yang bernama nuel, Sarma hanya menjawab bahwa hubungannya telah selesai sejak 1 tahun yang lalu. Ia menyebutkan alasan untuk tidak melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahannya dengan Nuel karena nuel tidak setuju dengan pekerjaan Sarma yang menjadi seorang PNS lalu mengalihkan pembicaraan mereka ke hubungan asmara Domu. Pada adegan Sarma yang merasa terjebak dalam rutinitas sebagai PNS dan kehilangan keberanian untuk mengejar cita-cita pribadinya dapat dianalisis menggunakan teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann serta teori feminisme Simone de Beauvoir. Berdasarkan teori Berger dan Luckmann, realitas sosial terbentuk melalui konstruksi masyarakat yang mengatur apa yang dianggap normal dan ideal. Dalam konteks ini, budaya Batak yang patriarkal menciptakan realitas di mana perempuan diharapkan tunduk pada harapan keluarga dan masyarakat, seperti menjadi PNS—pekerjaan yang dianggap terhormat dan stabil. Sarma internalisasi nilai-nilai ini hingga ia meragukan keinginan pribadinya dan menganggap cita-citanya untuk belajar memasak sebagai "imajinasi anak kecil." Proses ini mencerminkan bagaimana konstruksi sosial dapat membatasi pilihan individu, terutama perempuan, dengan menempatkan mereka dalam kerangka yang ditentukan oleh norma budaya. Dari perspektif feminisme Simone de Beauvoir, perempuan seperti Sarma sering kali ditempatkan dalam posisi "liyan" (the Other), di mana mereka tidak memiliki otonomi atas hidup mereka dan hanya dipandang melalui hubungan mereka dengan orang lain—baik keluarga maupun pasangan. Sarma merasa terpaksa memenuhi ekspektasi orang tua dan menyerahkan kebahagiaannya demi menjadi sosok yang "dapat diterima" oleh masyarakat. (Kamelia & Nusa, 2018).

Hubungan Sarma dengan Nuel juga mencerminkan tekanan sosial yang dihadapi perempuan dalam budaya patriarkal. Ketika Sarma memberi alasan bohong bahwa hubungan mereka berakhir karena Nuel tidak setuju dengan pekerjaannya sebagai PNS, ia sebenarnya sedang mencoba melindungi dirinya dari rasa malu (hasiak) dan pertanyaan lebih lanjut dari Domu. Berdasarkan teori Berger dan Luckmann, kebohongan ini dapat dimaknai sebagai bentuk adaptasi terhadap norma sosial yang menuntut perempuan menjaga kehormatan keluarga. Sarma merasa perlu menyembunyikan kebenaran tentang akhir hubungan tersebut, karena ia tidak ingin memperlihatkan bahwa hubungan itu berakhir karena perbedaan suku yang pasti tidak akan disetujui oleh ayahnya.

Dalam konteks feminisme Simone de Beauvoir, kebohongan ini juga mencerminkan posisi subordinat perempuan yang sering merasa harus menutupi kerapuhan atau kegagalannya untuk menjaga citra yang diharapkan oleh masyarakat. Sarma berada di bawah tekanan ganda: ekspektasi keluarga untuk menjadi PNS, dan ekspektasi dari pasangan untuk menyesuaikan pilihan hidupnya dengan keinginan mereka. Dengan memberi alasan bohong, Sarma menunjukkan ketidakberdayaannya dalam menghadapi situasi di mana ia tidak memiliki kuasa penuh atas hidupnya sendiri.

Kebohongan ini bukan hanya refleksi dari ketidakjujuran, tetapi juga representasi dari konflik internal Sarma: ia merasa tidak memiliki ruang untuk mengungkapkan keinginan dan kebenaran tentang dirinya, baik kepada keluarga maupun kepada laki-laki dalam hidupnya. Adegan ini menggarisbawahi bagaimana perempuan sering kali harus menutupi realitas emosional mereka untuk menjaga harmoni sosial yang sudah dikonstruksi oleh budaya. Melalui adegan ini, memberikan gambaran tentang tekanan struktural dan budaya yang membatasi perempuan Batak seperti Sarma untuk mengejar kebahagiaan autentik mereka. Analisis ini menegaskan bahwa untuk mencapai kesetaraan, perempuan harus didukung untuk membebaskan diri dari ekspektasi sosial yang membatasi, sebagaimana ditegaskan de Beauvoir bahwa perempuan harus memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri di luar definisi yang diberikan oleh masyarakat patriarkal.

Lalu, pada   Scene 2 (menit 1:23:59) disoroti kepada Mak Domu. Pada   Scenetersebut, Pak Domu merasa dirinya tidak dihargai dan mulai merasakan bahwa anak-anaknya mulai menentang perkataannya. Sahat, yang merupakan anak bungsunya, menjelaskan bahwa sebelumnya mereka hanyalah anak-anak kecil yang tidak memiliki keberanian untuk melawan. Pak Domu merasa bahwa anak-anaknya kini mulai merasa benar dengan pilihan mereka sendiri dan enggan mendengarkan saran dari sang ayah. Perkataan tersebut akhirnya mendorong Mak Domu untuk bersuara setelah sekian lama tidak pernah menentang keputusan suaminya. Mak Domu pun dengan penuh emosi berkata, "Kau pikir, kau gak merasa benar sendiri? Kau pikir, anak-anakmu belajar dari siapa?" Mendengar itu, Pak Domu langsung memerintah istrinya untuk diam. Namun, Mak Domu menjawab dengan tegas, "Enggak, sekarang aku gak akan diam. Selama ini aku sudah diam, kuturuti maumu. Apa-apa kau putuskan sendiri, aku diam. Kau jauhkan aku dari anak-anakku, aku diam. Kau suruh aku berbohong ke anak-anakku, ku turuti kau. Sekarang kau yang diam!" Kata-kata tersebut terlontar dengan penuh emosi, membuat mata Mak Domu berkaca-kaca. Ucapan itu mengungkapkan penyebab kembalinya anak-anak mereka ke rumah, yakni sandiwara perceraian yang selama ini disembunyikan.

Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam karya mereka The Social Construction of Reality (1966), realitas sosial dibentuk melalui interaksi manusia dan proses sosialisasi. Dalam konteks   Sceneini, terdapat dinamika dalam konstruksi realitas keluarga yang telah terbentuk sejak lama. Pak Domu, sebagai figur otoritas, membentuk sebuah realitas di mana dirinya dianggap sebagai pihak yang berkuasa dan berhak menentukan keputusan dalam keluarga. Anak-anaknya, yang awalnya tidak memiliki keberanian untuk menentang keputusan ayah mereka, akhirnya mulai mengembangkan kesadaran untuk membuat pilihan sendiri. Perubahan ini menunjukkan proses konstruksi realitas sosial yang terus berkembang seiring waktu, di mana anggota keluarga (anak-anak) tidak lagi menerima begitu saja otoritas ayah mereka, tetapi mulai menyadari peran mereka dalam membentuk keputusan keluarga.

Sahat, sebagai anak bungsu, menggambarkan transisi dalam konstruksi identitas diri dan keluarga, di mana anak-anak yang dulunya bergantung pada orang tua kini berkembang menjadi individu yang memiliki pandangan dan pilihan hidup sendiri. Mak Domu, yang sebelumnya selalu diam dan mengikuti keputusan suaminya, juga mengalami perubahan dalam konstruksi realitas keluarganya, di mana dia menyadari bahwa selama ini ia terjebak dalam peran yang dirancang oleh suaminya dan masyarakat. Ucapan Mak Domu yang penuh emosi mencerminkan bagaimana identitas sosial perempuan, yang pada awalnya terbentuk berdasarkan peran domestik dan penurutan, mulai terungkap dan dipertanyakan. Dia akhirnya mulai menuntut untuk tidak lagi diam dan menerima peran yang diberikan kepadanya.

Simone de Beauvoir, dalam karya terkenalnya The Second Sex (1949), mengemukakan bahwa perempuan dalam masyarakat patriarkal sering diposisikan sebagai "Yang Lain" (the Other), yang sering kali menjadi objek dan dibatasi oleh peran sosial yang terbentuk. Dalam konteks   Sceneini, Mak Domu adalah representasi dari perempuan yang terjebak dalam konstruksi sosial yang membatasi peranannya. Selama bertahun-tahun, Mak Domu tunduk pada peran domestik yang telah diterima begitu saja oleh masyarakat, yang sering kali membatasi suaranya dan posisinya dalam keluarga. Ketika dia akhirnya berbicara dan menuntut untuk tidak lagi diam, ia sedang mencoba untuk melepaskan diri dari peran yang telah dipaksakan kepadanya, yaitu sebagai istri yang hanya menuruti keputusan suaminya dan sebagai ibu yang terlepas dari kebebasan personal. Mak Domu menunjukkan bagaimana perempuan, meskipun sering diperlakukan sebagai individu yang hanya berperan dalam ranah domestik, pada akhirnya juga memiliki suara dan hak untuk berbicara tentang kehidupan mereka dan keputusannya. Kata-katanya yang penuh emosi menggambarkan perlawanan terhadap posisi sosial yang selama ini mengekang dirinya, sesuai dengan pandangan de Beauvoir bahwa perempuan harus melepaskan diri dari posisi "Yang Lain" dan memperoleh kebebasan untuk mendefinisikan dirinya sendiri.

Makna Denotatif (literal) dari representasi perempuan dalam   Sceneini dapat dilihat dalam peran Mak Domu sebagai seorang ibu rumah tangga yang selama ini mengikuti keinginan suaminya dan berperan dalam tugas-tugas domestik. Dia adalah seorang perempuan yang selama bertahun-tahun berperan sebagai pendukung suaminya, dengan mengikuti setiap keputusan Pak Domu tanpa banyak pertanyaan, bahkan jika itu berarti menjauhkan dirinya dari anak-anaknya atau berbohong kepada mereka. Namun, Makna Konotatif (sosial-budaya) dari representasi perempuan ini mencerminkan konstruksi gender yang lebih luas, yaitu bagaimana peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat sering kali dibatasi oleh norma sosial yang membentuk mereka sebagai pengikut dan pendukung dalam kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, perempuan diharapkan untuk diam, mendukung, dan tidak melawan otoritas laki-laki (suami). Ketika Mak Domu akhirnya berbicara dan menuntut untuk tidak lagi diam, ini dapat dilihat sebagai representasi dari pemberontakan terhadap peran tradisional yang diberikan kepadanya dalam masyarakat patriarkal. Secara konotatif, tindakan Mak Domu mencerminkan perlawanan terhadap ketidaksetaraan gender yang membatasi kebebasan perempuan.

Representasi perempuan dalam film ini, terutama yang berfokus pada tugas domestik, menunjukkan bagaimana masyarakat menormalkan peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan ibu yang harus tunduk pada otoritas laki-laki. Namun,   Sceneini menunjukkan bahwa perempuan, meskipun dibentuk oleh konstruksi sosial ini, juga memiliki kemampuan untuk meruntuhkan batas-batas tersebut dan menuntut perubahan dalam cara mereka diperlakukan, sesuai dengan teori feminisme Simone de Beauvoir yang menekankan pembebasan perempuan dari peran yang terkungkung oleh norma-norma sosial tersebut.

Terakhir, pada   Scene 3 (menit 1:26:56) Sarma menyatakan bahwa perempuan dalam keluarganya tidak boleh melawan dan harus selalu tunduk, sebuah nilai yang telah tertanam kuat dalam keluarga Pak Domu. Namun, ketika melihat Mak Domu akhirnya berani menyuarakan perasaan dan pendapatnya, Sarma pun mulai menemukan keberanian untuk melawan norma yang selama ini mengekangnya. Hal ini mencerminkan bagaimana, meskipun keluarga Pak Domu mengajarkan bahwa perempuan harus selalu menurut dan tidak boleh menentang, perubahan terjadi ketika seorang perempuan dalam keluarga, yakni Mak Domu, mulai berani melawan ketidakadilan.

Di setiap   Sceneyang membahas permasalahan dalam keluarga Pak Domu, suara yang lebih dominan datang dari para laki-laki—Domu, Sahat, dan Gabe. Sampai pada menit 1.27.32, ketika terjadi konflik antara saudara laki-lakinya dengan ayahnya, Sarma merasa terjebak dalam peran yang sudah ditentukan untuknya sebagai seorang perempuan, yang dituntut untuk selalu taat kepada orang tua. Sebagai contoh, Sarma memilih untuk membatalkan pernikahannya dengan Nuel, kekasih yang berasal dari suku Jawa, demi menghormati keputusan ayahnya dan mengalah untuk kepentingan kakak laki-lakinya yang memilih menikah dengan seorang wanita Sunda.

Sarma juga dengan ikhlas menanggalkan cita-citanya untuk bersekolah memasak, hanya karena ayahnya menginginkan agar ia memiliki pekerjaan yang "lebih jelas," sebuah pandangan yang berbeda dengan jalan hidup Gabe. Bahkan, ketika ditawarkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Bali, Sarma memilih untuk mengalah demi Sahat, adik laki-lakinya, yang selama tiga tahun tidak pulang dan meninggalkan tanggung jawab untuk merawat orang tua sesuai adat Batak. Sarma, dalam setiap langkahnya, terus memilih untuk mengalah demi keluarganya, bahkan menggantikan peran yang seharusnya diemban oleh saudara laki-lakinya. Keputusannya ini tidak hanya untuk mengurangi ketegangan dengan ayahnya, tetapi juga untuk menjaga keharmonisan keluarga. Sarma hampir tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, karena ia memandang dirinya sebagai perempuan yang harus selalu tunduk dan mengutamakan kepentingan orang tuanya, bahkan jika itu berarti mengorbankan impian dan kebahagiaannya.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality (1966) menyatakan bahwa realitas sosial dibentuk melalui interaksi individu dalam masyarakat dan melalui proses sosialisasi yang berlangsung secara terus-menerus. Dalam konteks film Ngeri-Ngeri Sedap, keluarga Pak Domu, terutama dalam pola hubungan antara ayah, anak laki-laki, dan anak perempuan, menggambarkan proses pembentukan realitas sosial yang berlaku dalam keluarga tersebut. Di dalam keluarga Pak Domu, nilai bahwa perempuan harus tunduk dan tidak melawan adalah hasil dari sosialisasi sosial yang sudah tertanam dalam masyarakat Batak, yang juga diperankan oleh karakter seperti Mak Domu dan Sarma. Sarma, yang awalnya menurut dan mengikuti kehendak ayahnya, menjadi bagian dari konstruksi sosial yang membatasi perempuan untuk mengutamakan kepentingan keluarga tanpa memikirkan hak pribadi mereka. Namun, ketika Mak Domu akhirnya mulai bersuara dan menentang, ia memulai proses konstruksi ulang realitas sosial dalam keluarganya. Ini adalah contoh bagaimana individu (Mak Domu) dan kelompok (keluarga) dapat mengubah konstruksi sosial yang sudah ada. Sarma, yang awalnya pasif dalam mengikuti peran tradisional perempuan, mulai menemukan keberanian untuk mempertanyakan peran tersebut. Meskipun proses perubahan ini tidak cepat dan penuh perlawanan internal, ini menunjukkan dinamika bagaimana konstruksi sosial yang membentuk peran perempuan di dalam keluarga dapat berubah seiring waktu.

Kaitan dengan Teori Feminisme Simone de Beauvoir yaitu Simone de Beauvoir dalam bukunya yang berjudul The Second Sex (1949) berargumen bahwa perempuan dalam masyarakat patriarkal sering kali ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah dan dianggap sebagai “Yang Lain” (the Other), yang terjebak dalam konstruksi sosial yang membatasi kebebasan mereka. Dalam film ini, Sarma adalah contoh yang sangat jelas dari kondisi tersebut. Selama ini, ia hidup di bawah bayang-bayang norma sosial yang menyatakan bahwa perempuan harus selalu taat, mengutamakan keluarga, dan menahan diri untuk tidak mengejar cita-cita pribadi jika hal itu bertentangan dengan kehendak orang tua atau kakak laki-laki.

Keputusan Sarma untuk mengorbankan pernikahannya dengan Nuel, menanggalkan cita-citanya untuk bersekolah memasak, dan menolak kesempatan melanjutkan pendidikan di Bali semuanya merupakan contoh bagaimana konstruksi gender dalam masyarakat menuntut perempuan untuk tidak mengejar keinginan pribadi demi memenuhi harapan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, Sarma bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tua dan masyarakat, meskipun itu berarti menekan keinginan dan hak-haknya sebagai individu. Tindakan Sarma ini sejalan dengan kritik de Beauvoir terhadap peran-peran yang telah ditentukan untuk perempuan dalam masyarakat patriarkal, di mana perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi subordinasi dan pengorbanan tanpa mempertimbangkan keinginan atau kebahagiaan mereka sendiri.

Mak Domu, yang pada akhirnya berani berbicara, mewakili perlawanan terhadap ketidakadilan gender. Dalam hal ini, Mak Domu mencoba untuk merebut kembali peran dan suaranya, meskipun prosesnya penuh dengan konflik internal dan eksternal. Perubahan ini menunjukkan bahwa perempuan, meskipun sering terjebak dalam peran yang telah dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya, tetap memiliki potensi untuk melepaskan diri dan menuntut hak untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri, sesuai dengan gagasan de Beauvoir tentang pembebasan perempuan.

Makna Denotatif dan Konotatif dari Representasi Perempuan   Scenetersebut. Makna Denotatif (literal) dari representasi perempuan dalam film ini adalah peran Sarma sebagai anak perempuan yang harus tunduk pada keputusan orang tua, terutama ayahnya. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan yang hampir selalu memilih untuk mengorbankan keinginan dan cita-citanya demi kepentingan keluarga, baik itu dalam urusan pernikahan, pendidikan, atau pekerjaan. Sarma terlihat mengikuti norma-norma tradisional keluarga Batak, yang menempatkan perempuan dalam posisi pendukung dan pengorban.

Namun, makna konotatif (sosial-budaya) yang lebih dalam menggambarkan bagaimana peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat sering kali dibatasi oleh konstruksi sosial yang memaksakan mereka untuk tunduk pada otoritas laki-laki (baik itu ayah, kakak laki-laki, atau suami). Sarma tidak hanya digambarkan sebagai individu yang patuh, tetapi sebagai representasi dari konstruksi gender yang membatasi peran perempuan dalam masyarakat. Peranannya yang hampir selalu mengalah demi kepentingan orang lain—baik itu ayah atau saudara laki-lakinya—menunjukkan bagaimana masyarakat Batak (dan lebih luas lagi, masyarakat patriarkal) sering menuntut perempuan untuk mengorbankan kebahagiaan pribadi demi kepentingan kolektif.

Di sisi lain, representasi Mak Domu yang akhirnya berani berbicara dan mengungkapkan perasaannya memberikan konotasi pembebasan. Ini menggambarkan bahwa meskipun ada konstruksi sosial yang membatasi perempuan, mereka tetap bisa mencari cara untuk menentang dan merebut kembali hak-haknya, bahkan jika itu melibatkan konfrontasi dengan norma-norma yang sudah lama ada. Proses ini menjadi simbol perlawanan terhadap konstruksi gender yang membatasi peran perempuan.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari artikel ini menunjukkan bahwa film Ngeri-Ngeri Sedap beberapa   Scenesecara efektif menggambarkan ketimpangan gender dalam masyarakat Batak melalui karakter-karakter perempuan seperti Mak Domu dan Sarma. Mak Domu berperan sebagai simbol perempuan tradisional yang terjebak dalam peran domestik dan tunduk pada otoritas laki-laki, terutama suaminya, Pak Domu. Meskipun memiliki tanggung jawab besar dalam keluarga, Mak Domu sering kali berada dalam posisi yang dibatasi oleh struktur patriarkal. Dalam adegan-adegan tertentu, seperti ketika ia hanya menyampaikan pesan yang dikendalikan oleh Pak Domu atau merasa harus menjaga citra keluarga, terlihat bahwa perempuan dalam konteks ini sering kali kehilangan otonomi mereka.

Di sisi lain, karakter Sarma mencerminkan generasi muda yang mulai meragukan peran perempuan yang telah ditentukan oleh tradisi, namun ia masih merasa terperangkap dalam ekspektasi keluarga dan masyarakat. Sarma merasa terpaksa mengikuti kehendak orang tua, seperti dalam keputusannya untuk menjadi PNS dan mengabaikan cita-cita pribadinya, serta dalam pengorbanannya demi menjaga keharmonisan keluarga. Proses ini menunjukkan bagaimana konstruksi sosial membentuk realitas perempuan dalam masyarakat patriarkal, di mana mereka sering kali diposisikan sebagai "yang lain" yang tidak memiliki kebebasan untuk mendefinisikan hidupnya sendiri. Namun, ketika Mak Domu mulai bersuara dan menuntut untuk tidak lagi diam, hal ini mencerminkan perubahan dalam konstruksi sosial dalam keluarga, di mana perempuan mulai menyadari hak mereka untuk berbicara dan menentang ketidaksetaraan. Perubahan ini juga mulai memengaruhi Sarma, yang mulai menemukan keberanian untuk melawan norma yang selama ini mengekangnya. Secara keseluruhan, film ini menggambarkan pentingnya pembebasan perempuan dari peran sosial yang dibatasi oleh tradisi dan norma patriarkal, serta perlunya dukungan untuk perempuan agar dapat menentukan hidup mereka sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, A. (2019). Bentuk-Bentuk Perilaku Bias Gender. LENTERA: Journal of Gender and Children Studies, 1(1), 1–18. https://journal.unesa.ac.id/index.php/JOFC/article/view/6819%0Ahttps://journal.unesa.ac.id/index.php/JOFC

Butar-Butar, G. M. (2020). Eksistensi Perempuan Batak Toba Dalam Budaya Dan Agama. Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan, 6(2), 190–202.

Kamelia, F., & Nusa, L. (2018). Bingkai Media Online Coverage of Indonesia ’ s Debt in an Online. Kanal: Jurnal Ilmu Komunikasi, 7(1), 10–16. https://doi.org/10.21070/kanal.v

Katubi. (2004). Studi Bahasa dan Jender: Sejarah Singkat, Ancangan, dan Model Analisis. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 6(Sosiolinguistik), 37–56. https://www.google.com/search?q=teori+bahasa+dan+gender+dalam+etnolinguistik&safe=strict&sxsrf=ALeKk027M9FzK1uoXqbaJzdJb12NfiVM7A%3A1623743192451&ei=2FrIYIyJG9meyAOMxInwCQ&oq=teori+bahasa+dan+gender+dalam+etnolinguistik&gs_lcp=Cgdnd3Mtd2l6EAMyBQgAEM0COgcI

Lee, D. (2000). The Society of Society: The grand finale of Niklas Luhmann. Sociological Theory, 18(2), 320–330. https://doi.org/10.1111/0735-2751.00102

Saputri, V., & Christina. (2022). Analisis wacana kritis kesetaraan gender pada akun Instagram women march Indonesia 2018. Jurnal SEMIOTIKA, 16(2), 158–177. http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/view/1268/1127%0Ahttp://publicacoes.cardiol.br/portal/ijcs/portugues/2018/v3103/pdf/3103009.pdf%0Ahttp://www.scielo.org.co/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0121-75772018000200067&lng=en&tlng=

Syafe’i Imam. (2015). Subordinasi Perempuan dan Implikasinya Terhadap Rumah Tangga. Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, 15(Studi Keislaman), 146.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun