Mohon tunggu...
Riris Ronauli
Riris Ronauli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura

Saya adalah mahasiswa ilmu komunikasi yang gemar menyusun kata menjadi cerita. Melalui artikel menarik, saya mengeksplorasi ide, menyampaikan pesan, dan menginspirasi pembaca untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Respresentasi Perempuan Batak Dalam Film Ngeri - Ngeri Sedap : Analisis Peran, Konflik, Dan Tuntutan Sosial Berdasarkan Perspektif Gender Dan Budaya

19 Desember 2024   00:51 Diperbarui: 19 Desember 2024   00:51 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

film ngeri - ngeri sedap
film ngeri - ngeri sedap

Dalam beberapa   Scenetersebut yang dibagi menjadi 3   Sceneberfokus pada Sarma dan menyoroti sedikit pada Mak Domu. Pada   Scene 1 (menit 1:00:30), Domu atau anak sulung pertama menhampiri Sarma, Sarma yang sedang melamun sambil duduk dekat pinggiran laut tepat dibelakang rumah mereka. Sarma tampak ragu dan sedikit cemas ketika Domu bertanya apakah Sarma senang menjadi seorang PNS, ia terlihat terdiam sejenak. Ada perasaan tidak nyaman yang jelas terlihat di wajahnya tetapi ia menjawab pertanyaan Domu disertai dengan senyuman. Ia terpaksa mengalihkan pembicaraan, berusaha menutupi kebimbangan dalam dirinya. Ketika Domu menyebutkan tentang cita-cita Sarma yang dulu ingin belajar di sekolah memasak, Sarma langsung menghindar, enggan membahas keinginan yang sebenarnya dan berdalih menganggap cita – citanya dulu hanyalah keinginan atau imajinasi seorang anak kecil. Sarma merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak ia pilih sendiri. Seolah-olah ada tekanan untuk memenuhi harapan orang lain—terutama keluarganya yang menginginkannya bekerja sebagai PNS. Lalu ketika Domu bertanya terkait kelanjutan hubungan adiknya itu dengan kekasihnya yang bernama nuel, Sarma hanya menjawab bahwa hubungannya telah selesai sejak 1 tahun yang lalu. Ia menyebutkan alasan untuk tidak melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahannya dengan Nuel karena nuel tidak setuju dengan pekerjaan Sarma yang menjadi seorang PNS lalu mengalihkan pembicaraan mereka ke hubungan asmara Domu. Pada adegan Sarma yang merasa terjebak dalam rutinitas sebagai PNS dan kehilangan keberanian untuk mengejar cita-cita pribadinya dapat dianalisis menggunakan teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann serta teori feminisme Simone de Beauvoir. Berdasarkan teori Berger dan Luckmann, realitas sosial terbentuk melalui konstruksi masyarakat yang mengatur apa yang dianggap normal dan ideal. Dalam konteks ini, budaya Batak yang patriarkal menciptakan realitas di mana perempuan diharapkan tunduk pada harapan keluarga dan masyarakat, seperti menjadi PNS—pekerjaan yang dianggap terhormat dan stabil. Sarma internalisasi nilai-nilai ini hingga ia meragukan keinginan pribadinya dan menganggap cita-citanya untuk belajar memasak sebagai "imajinasi anak kecil." Proses ini mencerminkan bagaimana konstruksi sosial dapat membatasi pilihan individu, terutama perempuan, dengan menempatkan mereka dalam kerangka yang ditentukan oleh norma budaya. Dari perspektif feminisme Simone de Beauvoir, perempuan seperti Sarma sering kali ditempatkan dalam posisi "liyan" (the Other), di mana mereka tidak memiliki otonomi atas hidup mereka dan hanya dipandang melalui hubungan mereka dengan orang lain—baik keluarga maupun pasangan. Sarma merasa terpaksa memenuhi ekspektasi orang tua dan menyerahkan kebahagiaannya demi menjadi sosok yang "dapat diterima" oleh masyarakat. (Kamelia & Nusa, 2018).

Hubungan Sarma dengan Nuel juga mencerminkan tekanan sosial yang dihadapi perempuan dalam budaya patriarkal. Ketika Sarma memberi alasan bohong bahwa hubungan mereka berakhir karena Nuel tidak setuju dengan pekerjaannya sebagai PNS, ia sebenarnya sedang mencoba melindungi dirinya dari rasa malu (hasiak) dan pertanyaan lebih lanjut dari Domu. Berdasarkan teori Berger dan Luckmann, kebohongan ini dapat dimaknai sebagai bentuk adaptasi terhadap norma sosial yang menuntut perempuan menjaga kehormatan keluarga. Sarma merasa perlu menyembunyikan kebenaran tentang akhir hubungan tersebut, karena ia tidak ingin memperlihatkan bahwa hubungan itu berakhir karena perbedaan suku yang pasti tidak akan disetujui oleh ayahnya.

Dalam konteks feminisme Simone de Beauvoir, kebohongan ini juga mencerminkan posisi subordinat perempuan yang sering merasa harus menutupi kerapuhan atau kegagalannya untuk menjaga citra yang diharapkan oleh masyarakat. Sarma berada di bawah tekanan ganda: ekspektasi keluarga untuk menjadi PNS, dan ekspektasi dari pasangan untuk menyesuaikan pilihan hidupnya dengan keinginan mereka. Dengan memberi alasan bohong, Sarma menunjukkan ketidakberdayaannya dalam menghadapi situasi di mana ia tidak memiliki kuasa penuh atas hidupnya sendiri.

Kebohongan ini bukan hanya refleksi dari ketidakjujuran, tetapi juga representasi dari konflik internal Sarma: ia merasa tidak memiliki ruang untuk mengungkapkan keinginan dan kebenaran tentang dirinya, baik kepada keluarga maupun kepada laki-laki dalam hidupnya. Adegan ini menggarisbawahi bagaimana perempuan sering kali harus menutupi realitas emosional mereka untuk menjaga harmoni sosial yang sudah dikonstruksi oleh budaya. Melalui adegan ini, memberikan gambaran tentang tekanan struktural dan budaya yang membatasi perempuan Batak seperti Sarma untuk mengejar kebahagiaan autentik mereka. Analisis ini menegaskan bahwa untuk mencapai kesetaraan, perempuan harus didukung untuk membebaskan diri dari ekspektasi sosial yang membatasi, sebagaimana ditegaskan de Beauvoir bahwa perempuan harus memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri di luar definisi yang diberikan oleh masyarakat patriarkal.

Lalu, pada   Scene 2 (menit 1:23:59) disoroti kepada Mak Domu. Pada   Scenetersebut, Pak Domu merasa dirinya tidak dihargai dan mulai merasakan bahwa anak-anaknya mulai menentang perkataannya. Sahat, yang merupakan anak bungsunya, menjelaskan bahwa sebelumnya mereka hanyalah anak-anak kecil yang tidak memiliki keberanian untuk melawan. Pak Domu merasa bahwa anak-anaknya kini mulai merasa benar dengan pilihan mereka sendiri dan enggan mendengarkan saran dari sang ayah. Perkataan tersebut akhirnya mendorong Mak Domu untuk bersuara setelah sekian lama tidak pernah menentang keputusan suaminya. Mak Domu pun dengan penuh emosi berkata, "Kau pikir, kau gak merasa benar sendiri? Kau pikir, anak-anakmu belajar dari siapa?" Mendengar itu, Pak Domu langsung memerintah istrinya untuk diam. Namun, Mak Domu menjawab dengan tegas, "Enggak, sekarang aku gak akan diam. Selama ini aku sudah diam, kuturuti maumu. Apa-apa kau putuskan sendiri, aku diam. Kau jauhkan aku dari anak-anakku, aku diam. Kau suruh aku berbohong ke anak-anakku, ku turuti kau. Sekarang kau yang diam!" Kata-kata tersebut terlontar dengan penuh emosi, membuat mata Mak Domu berkaca-kaca. Ucapan itu mengungkapkan penyebab kembalinya anak-anak mereka ke rumah, yakni sandiwara perceraian yang selama ini disembunyikan.

Menurut Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam karya mereka The Social Construction of Reality (1966), realitas sosial dibentuk melalui interaksi manusia dan proses sosialisasi. Dalam konteks   Sceneini, terdapat dinamika dalam konstruksi realitas keluarga yang telah terbentuk sejak lama. Pak Domu, sebagai figur otoritas, membentuk sebuah realitas di mana dirinya dianggap sebagai pihak yang berkuasa dan berhak menentukan keputusan dalam keluarga. Anak-anaknya, yang awalnya tidak memiliki keberanian untuk menentang keputusan ayah mereka, akhirnya mulai mengembangkan kesadaran untuk membuat pilihan sendiri. Perubahan ini menunjukkan proses konstruksi realitas sosial yang terus berkembang seiring waktu, di mana anggota keluarga (anak-anak) tidak lagi menerima begitu saja otoritas ayah mereka, tetapi mulai menyadari peran mereka dalam membentuk keputusan keluarga.

Sahat, sebagai anak bungsu, menggambarkan transisi dalam konstruksi identitas diri dan keluarga, di mana anak-anak yang dulunya bergantung pada orang tua kini berkembang menjadi individu yang memiliki pandangan dan pilihan hidup sendiri. Mak Domu, yang sebelumnya selalu diam dan mengikuti keputusan suaminya, juga mengalami perubahan dalam konstruksi realitas keluarganya, di mana dia menyadari bahwa selama ini ia terjebak dalam peran yang dirancang oleh suaminya dan masyarakat. Ucapan Mak Domu yang penuh emosi mencerminkan bagaimana identitas sosial perempuan, yang pada awalnya terbentuk berdasarkan peran domestik dan penurutan, mulai terungkap dan dipertanyakan. Dia akhirnya mulai menuntut untuk tidak lagi diam dan menerima peran yang diberikan kepadanya.

Simone de Beauvoir, dalam karya terkenalnya The Second Sex (1949), mengemukakan bahwa perempuan dalam masyarakat patriarkal sering diposisikan sebagai "Yang Lain" (the Other), yang sering kali menjadi objek dan dibatasi oleh peran sosial yang terbentuk. Dalam konteks   Sceneini, Mak Domu adalah representasi dari perempuan yang terjebak dalam konstruksi sosial yang membatasi peranannya. Selama bertahun-tahun, Mak Domu tunduk pada peran domestik yang telah diterima begitu saja oleh masyarakat, yang sering kali membatasi suaranya dan posisinya dalam keluarga. Ketika dia akhirnya berbicara dan menuntut untuk tidak lagi diam, ia sedang mencoba untuk melepaskan diri dari peran yang telah dipaksakan kepadanya, yaitu sebagai istri yang hanya menuruti keputusan suaminya dan sebagai ibu yang terlepas dari kebebasan personal. Mak Domu menunjukkan bagaimana perempuan, meskipun sering diperlakukan sebagai individu yang hanya berperan dalam ranah domestik, pada akhirnya juga memiliki suara dan hak untuk berbicara tentang kehidupan mereka dan keputusannya. Kata-katanya yang penuh emosi menggambarkan perlawanan terhadap posisi sosial yang selama ini mengekang dirinya, sesuai dengan pandangan de Beauvoir bahwa perempuan harus melepaskan diri dari posisi "Yang Lain" dan memperoleh kebebasan untuk mendefinisikan dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun