Aku lahir dari sebuah keluarga yang sangat berkekurangan. Aku dan saudara-saudara ku sudah terbiasa tidur dalam keadaan perut yang lapar, dingin nya udara malam pun sudah kami rasakan sebagai selimut bagi kami karena rumah kami memang terbuat dari bilik yang sudah bolong disana-sini.
Lantai tanah di rumah kami menjadi saksi kesengsaraan kami. Barang yang mungkin masih bisa dikatakan berharga hanya sebuah lemari jati peninggalan kakek yang disimpan di sudut ruang tamu.
Yang kami katakan ruang tamu adalah sebuah ruangan kecil yang diisi dengan sofa pemberian tetangga dengan jok yang berlubang-lubang.
Makanan termewah yang aku rasakan saat itu adalah sayur sop ceker, biasanya ibuku membuat sayur sop satu panci besar tetapi ceker ayamnya hanya ada 5, sayuran nya pun sedikit, kuah sayur nya saja yang berlimpah.
Jika ibuku pulang dari pengajian, biasanya beliau membawa "berkat" sebutan untuk nasi box yg diberi dari tempat pengajian
Ibu memang sengaja membawa nasi box itu ke rumah, dan entah kenapa menu di nasi box nya selalu sama, 1 butir telur rebus, tahu goreng, bihun dan tumis cabe.
Aku dan saudara-saudaraku akan membawa piring masing-masing yang berisi nasi, lalu ibuku membelah telur rebus itu menjadi 5 bagian, tahu 5 bagian, bihun 5 bagian, dan tumis cabe menjadi jatah ibu.
Kami makan sangat lahap, aku dan saudara-saudaraku sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu. Namun dengan keadaan seperti itu kami tetap bersemangat sekolah, bahkan kami selalu menempati peringkat 3 besar di kelas masing-masing.
Ibu yang selalu menyemangati kami untuk sekolah, sedangkan ayah terkadang pasrah dengan keadaan, seringkali dia menyuruh kami untuk keluar sekolah jika pihak sekolah sudah mengirimkan surat tagihan SPP, tapi ibu dia lah yang selalu menenangkan kami, ibu selalu bilang, "Kalian belajar saja yang rajin, tentang SPP nanti ayah dan ibu akan bayar, ibu nanti ke sekolah".
Suatu hari, di larut malam, aku tidak sengaja mendengar percakapan ayah dan ibuku, yang intinya ayah menyuruh ku dan Dani untuk tidak melanjutkan sekolah dulu karena biaya sekolah ternyata tidak bisa dibayar, terlihat wajah kusut ayahku saat itu.
Ibu hanya terdiam mendengarkan ayah, suasana hening beberapa saat, kemudian terdengar suara ibu yang sangat lembut, "Pak, biaya sekolah memang mahal, anak sulung kita, Senja, tahun ini masuk SMA, dani tahun ini masuk SMP, Galih dia naik kelas 5, Ima dan Ami (ibu menyebut nama adik kembarku) tahun ini mereka baru naik kelas 3, Ibu paham bapak lelah membiayai kami, tapi ibu yakin Alloh pasti menolong kita pak, Ibu akan berusaha bantu bapak, ibu mau minta izin, ibu mau kerja di tetangga, kebetulan mereka katanya sedang mencari pengasuh untuk anaknya, apa boleh ibu menerima tawaran mereka?"
Ayah terdiam, terlihat wajahnya yang kusut, dia hanya mengangguk dan sedikit mengusap air matanya yang keluar begitu saja, lalu suara ayah terdengar parau, "Danti maafkan aku, kamu anak orang terpandang, keluargamu kaya raya, pendidikanmu juga tinggi, tetapi setelah menikah denganku kamu jadi seperti ini, maafkan aku yang belum bisa membahagiakanmu sampai saat ini" suara ayahku terhenti yang terdengar hanya suara ayah yang menahan tangis nya, seakan-akan mencekik lehernya.
Lalu terdengar suara ibu yang lembut, "Mas Rino, kamu sudah melakukan banyak hal untukku dan anak-anak kita, aku bangga padamu mas. Aku mohon jangan menyalahkan dirimu dengan keadaan kita saat ini, apa yang terjadi sudah menjadi qudrah dan IradahNYA, ingat mas kita menikah karena Alloh, kita menikah untuk menjalankan ketaatan kepadaNYA, aku memilihmu karena aku yakin kamu adalah jawaban dari do'aku dulu yang selalu aku panjatkan kepadaNYA, aku ingin memiliki seorang suami yang sholeh yang bisa membawaku dan anak-anak kelak menuju SurgaNYA"
Lalu ayah berkata, "MaasyaAlloh, Danti kamu memang istri yang sholehah, hampir aku melupakan hal itu, aku sering terbawa dengan situasi dan keadaan, terima kasih kamu sudah mengingatkanku Danti", lalu ayah memeluk ibu dengan erat dan mencium keningnya seraya mendo'akan semoga Alloh menjagamu, melindungimu dan memasukanmu ke dalam SurgaNya kelak"
Lalu ayah melanjutkan pembicaraanya,"Danti, bagaimana kabar ayah, ibu dan saudara-saudaramu?"
Terdengar suara ibu mendesah, lalu berkata, "Semoga Alloh memberi hidayah kepada mereka, semenjak aku memutuskan untuk menikah denganmu dan memakai hijab ini mereka tidak mau lagi berkomunikasi denganku mas, aku sering menghubungi ibu, tetapi beliau tidak mau berbicara banyak denganku, mungkin beliau sibuk dengan bisnis property nya, ah sudahlah mas jangan membicarakan mereka, aku sedih mengingatnya, aku hanya bisa mendo'akan semoga mereka mendapatkan hidayah"
Kemudian ayah berkata,"Danti, apa kamu tidak menyesal memutuskan menikah denganku dan memakai hijab? Karena dengan hal itu kamu ditinggalkan oleh keluargamu, mereka orang yang kaya raya, dan dulu kamu sering liburan keluar negeri bersama ayah ibu dan saudara-saudaramu"
Aku ingat waktu keluargamu pulang dari luar negeri dan memberi aku dan ibuku oleh-oleh dari sana berupa gantungan kunci saja, padahal aku lihat banyak makanan dan barang-barang bagus lainnya yang kalian bawa, aku bilang sama ibu, "Bu, tega banget ya mereka, rumahnya kita urus, segalanya kita bersihkan, tapi cuma ini yang mereka kasih buat kita", saat itu ibuku hanya bilang," hus, jangan begitu Rino, Alhamdulillah, bersyukur sama Alloh, dan jangan tergiur dengan apa yang dimiliki orang lain" kenang ayahku.
Ibu kemudian tersenyum, dan berkata," Mas, sebenarnya waktu itu aku juga merasa kok ayah dan ibuku seperti itu, lalu diam-diam aku membawa makanan dan aku masukan ke keranjang cucian yang dibawa bu isah. Ibumu kaget dan tersenyum melihatku melakukan hal itu"
Sejak saat itu aku sering ngobrol berdua saja dengan ibumu mas, tentu saja tanpa sepengetahuan orang tuaku, ketika mereka sibuk bekerja aku sering ngobrol dengan bu isah.
Banyak hal yang ibumu ajarkan kepadaku, ternyata banyak sekali hal yang belum aku tau tentang agamaku sendiri waktu itu, aku belajar sholat dan ngaji dengan bu isah, aku diajarkan tentang hal-hal yang prinsip dalam agama, bu isah juga menerangkan bahwa dalam Al-Qur'an  seorang muslimah itu diperintahkan untuk menutup auratnya ketika dia sudah baligh. Tapi saat itu aku belum berani memakai hijab.
Keluargaku memang beragama Islam, tetapi aku tidak pernah mendapatkan pengajaran agama dari mereka, bahkan mereka sendiri aku lihat jarang melakukan sholat, kakak-kakaku juga berprestasi dan mereka sampai kuliah keluar negeri, secara akademik membanggakan tapi aku lihat pemikiran mereka sangat matrealistis.
Saat itu aku memang memiliki keberlimpahan harta, apapun yang aku mau ayah dan ibu selalu memberikan, tapi hatiku merasa hampa, justru ketika aku bersama dengan bu isah aku merasakan ketenangan. Karena itu aku memutuskan untuk memperdalam ilmu agama.
Ketika lulus SMA aku berkata kepada orang tuaku bahwa aku ingin mempelajari ilmu agama, aku mau pesantren, tetapi mereka tidak setuju, akhirnya mereka memasukan aku ke universitas swasta yang menurut mereka bagus, di kampusku waktu itu tidak ada mata kuliah agama Islam, karena memang universitas tersebut berlandaskan agama yang lain, tetapi aku tidak dipaksa untuk mengikuti kegiatan keagamaan mereka.
Di kampus  itulah aku berkenalan dengan Mirna, dia kakak tingkatku, dia juga beragama Islam, dia memakai hijab, aku senang sekali bisa bertemu dengannya. Mirna mengajakku untuk mengikuti kajian setiap akhir pekan, disanalah aku terus memperdalam Islam. Sampai akhirnya aku lulus kuliah.
Setelah lulus, ayah dan ibuku sering mengomentari pakaian ku, karena saat itu aku sudah memakai baju yang lebih tertutup lagi, aku selalu memakai celana panjang atau rok panjang dengan baju yang juga berlengan panjang.
Sampai suatu hari aku memberanikan diri berbicara kepada ayah dan ibuku bahwa aku ingin mengenakan jilbab, ayah dan ibuku marah, menurut mereka berjilbab itu berarti terlalu fanatik dengan agama, nanti malah seperti orang-orang yang pada akhirnya menjadi teroris. Saat itu aku sedih bercampur marah kepada orang tuaku, aku sampaikan kepada mereka bahwa menutup aurat itu wajib. Tetapi mereka tidak mau mendengarku.
Sejak saat itu aku sering mengurung diri di kamar, aku sedih dan malu jika mau keluar rumah, karena aurat ku masih belum bisa aku tutup. Aku teringat bu Isah, beliau yang mengajarkan aku pertama kali, aku sering berdo'a untuk ibumu mas, setelah kepergian Bu Isah sebenarnya aku sangat kehilangan.
"MaasyaAlloh, Ibu, Danti, mas juga sangat kehilangan beliau, dialah satu-satunya yang mas miliki saat itu, setelah kepergiannya, mas sebatang kara, mas merasa hidupku tak berguna lagi, tetapi mas teringat pesan ibu, "Jadilah orang yang berguna untuk sebanyak-banyaknya orang, jadilah cahaya ditengah gelapnya zaman ini", hanya itu yang ibu sampaikan kepadaku di detik-detik menjelang wafatnya. Setelah kepergiannya mas tinggal di pondok mengajar ngaji disana" Sahut ayah sambil menitikkan air matanya.
"Iya Mas, semoga beliau Alloh tempatkan dalam JannahNYA", sahut ibu.
Ibu kembali melanjutkan kisah hidupnya, "Suatu hari, di hari minggu pagi Mirna mengajakku untuk mengikuti kajian, aku bingung saat itu bagaimana aku bisa keluar rumah tanpa menggunakan jilbab, aku sampaikan kegelisahanku pada Mirna, lalu Mirna memberiku ide untuk aku keluar rumah dengan menggunakan baju olah raga dan topi, tapi aku bekal baju dan jilbab, nanti aku bisa berganti pakaian di toilet masjid. Aku mengikuti ide Mirna, aku merasa sangat bahagia bisa menghadiri kajian itu.
Waktu itu menjelang Idul Adha, kajian nya tentang kisah teladan Keluarga Ibrahim, dalam kajian itu digambarkan bagaimana kesabaran Ibrahim, istrinya Hajar dan anaknya Ismail, dan bagaimana kuatnya mereka memegang kebenaran, aku malu dengan diriku saat itu, selama kajian aku terus meneteskan airmata.
Setelah kajian berakhir, aku memeluk Mirna dan berterima kasih kepadanya karena sudah mengajakku untuk mengikuti kajian ini. Sejak saat itu aku memutuskan untuk berjilbab, walaupun orang tuaku tidak menyukai nya. Aku pulang ke rumah dengan masih menggunakan jilbab, sebenarnya aku takut mereka marah, tapi aku ingin meraih keridhoanNya, aku ingin seperti Hajar yang bergantung hanya kepadaNYA, dengan ucapan Bismillah aku masuk ke rumah...".
"Keputusanku untuk berjilbab dan menikah denganmu tidak pernah aku sesali mas, bahkan aku bersyukur, karena bagiku, apa yang aku pilih ini lebih berharga daripada kekayaan dunia", lanjut ibuku, setelah itu ibu terdiam.
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi, ibuku mengakhiri ceritanya, dan mengajak ayahku untuk sholat tahajjud bersama, dan aku melihat mereka berdua sholat tahajjud di tengah rumah dengan beralaskan tikar lusuh sebelum sejadah digelar. Aku bangga dengan mereka dan aku berdo'a dalam hatiku, Ya Alloh berikanlah kebahagiaan kepada kedua orang tuaku dan masukanlah mereka ke dalam surgaMU kelak.
Aku bersyukur memiliki orang tua seperti mereka, mereka selalu menjadi rumah tempatku kembali.
Tak terasa, air mataku ikut menetes, aku jadi mengerti mengapa aku dan saudara-saudaraku tidak pernah berkunjung ke rumah nenek, ibu selalu bilang kalau rumah nenek jauh, "insyaAlloh nanti kalau sudah ada waktu dan ongkosnya kita ke rumah nenek ya". Aku terharu mendengar kisah perjalanan ibuku, aku semakin menyayangi nya.
Aku juga terharu dengan kisah hidup ayah, beliau orang yang tegar, hidup sebatang kara tdk membuatnya kehilangan arah. Ayah selalu mengajarkan kami untuk senantiasa taat kepada Alloh, melaksanakan ajaran agama dengan baik.
Aku ingin sekali bertemu dengan Bu Isah, nenekku dari ayah. Aku membayangkan beliau adalah sosok wanita tangguh dan sholihah... MaasyaAlloh
Aku juga ikut mendo'akan nenek dan kakek ku dari ibu, semoga mereka semua mendapatkan cahaya hidayahNYA.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H