Anak-anak yang didorong untuk berkreasi dan bebas dari kritik cenderung lebih percaya diri dalam mengungkapkan ide-ide mereka. Apresiasi terhadap karya anak, meskipun sederhana, memberikan motivasi bagi mereka untuk terus berkarya. Lingkungan yang positif dan memberikan penghargaan akan membantu anak merasa dihargai dan termotivasi untuk mengeksplorasi lebih banyak ide (Harlock, 1978). Selain itu, apresiasi yang tulus dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan membangun persepsi positif anak terhadap kreativitasnya sendiri.
5. Sarana dan Peralatan Bermain
Penyediaan sarana bermain yang fleksibel seperti alat-alat gambar, bahan konstruksi, dan media kreatif lainnya akan mendorong perkembangan kreativitas. Anak yang diberikan alat-alat sederhana akan terdorong untuk bereksperimen dan menemukan berbagai cara baru dalam bermain. Harlock (1978) mencatat bahwa permainan konstruktif dan eksplorasi bebas memainkan peran signifikan dalam menumbuhkan kreativitas anak. Aktivitas seperti membangun rumah-rumahan dengan kursi dan selimut atau melukis dengan warna-warni yang bebas dapat menjadi sarana eksplorasi kreativitas yang efektif.
Â
Hambatan Perkembangan Kreativitas
1. Lingkungan Rumah yang Tidak Mendukung
Lingkungan rumah memainkan peran sentral dalam membentuk dasar perkembangan kreativitas anak. Pola asuh yang otoriter, harapan keseragaman, dan pembatasan terhadap eksplorasi menciptakan atmosfer yang membekukan daya imajinasi anak. Ketika orang tua menerapkan aturan yang kaku, menekankan keseragaman dalam perilaku, atau bahkan membatasi kebebasan anak untuk bereksperimen, hal ini secara signifikan menghalangi tumbuhnya kreativitas. Harlock (1978) menekankan bahwa anak memerlukan ruang untuk mengeksplorasi lingkungannya secara bebas guna mendorong imajinasi kreatif mereka. Orang tua yang terlalu konservatif, dengan ketakutan akan penyimpangan dari norma sosial yang diterima, sering kali menjadi hambatan tambahan. Mereka cenderung membatasi perilaku kreatif anak, seperti bermain dengan alat sederhana atau menciptakan cerita imajinatif. Selain itu, harapan bahwa semua anggota keluarga harus terlibat dalam kegiatan bersama tanpa memedulikan minat individu, semakin mengikis ruang pribadi anak untuk berekspresi.
2. Sikap Sosial yang Negatif
Sikap negatif dari lingkungan sosial terhadap anak kreatif juga menjadi penghalang utama. Anak-anak yang menunjukkan ide-ide baru sering kali dianggap aneh, tidak masuk akal, atau bahkan tidak relevan oleh lingkungan sekitarnya. Menurut Torrance, sikap semacam ini tidak hanya merusak rasa percaya diri anak, tetapi juga menciptakan tekanan sosial yang mendorong mereka untuk menyembunyikan atau mengurangi intensitas ekspresi kreatifnya. Anak-anak yang merasa bahwa ide-idenya tidak dihargai cenderung menginternalisasi perasaan negatif tersebut, yang pada akhirnya berdampak pada pengembangan karakter dan kemampuan berpikir kreatif di masa depan. Dalam beberapa kasus, anak bahkan bisa menjadi enggan untuk berbagi gagasan karena takut dikritik atau diejek.
3. Kondisi Sekolah yang Otoriter
Lingkungan sekolah yang didesain secara otoriter juga sering menjadi penghambat kreativitas. Sekolah yang berfokus pada disiplin yang kaku, tekanan untuk menghafal, dan jadwal belajar yang terlalu terstruktur menciptakan kondisi yang menekan  kemampuan anak untuk berpikir divergen. Pemikiran divergen, yang menjadi dasar kreativitas, sulit berkembang dalam suasana belajar yang hanya menekankan pada jawaban yang benar sesuai standar. Kurikulum yang terlalu terpaku pada pemikiran konvergen mengabaikan pentingnya ruang untuk imajinasi dan eksperimen. Harlock (1978) mencatat bahwa lingkungan sekolah yang mendorong eksplorasi ide dan kebebasan berpikir adalah kunci untuk menumbuhkan kreativitas anak secara optimal.