Aku menghela napas berat. Siapa pedagang di dunia ini yang tidak senang mendapatkan pelanggan? Akan tetapi, bukan pelanggan semacam ini juga. Ini sudah hari keenam dan kami menghitung dia menelepon lebih dari tujuh ratus kali. Wajar saja, beberapa pelangganku mulai protes karenaline telepon selalu sibuk. Psikopat dari planet mana. Dia menghalangi aliran rejeki masuk ke kantongku. Memesan hal tidak masuk akal. Klepon. Astaga! Makanan itu bisa dicari di pasar tradisional. Kenapa harus kami sih? Lebih tepatnya kenapa harus aku sih?
Aku mengirimkan tatapan menusuk ke arah adikku. Karla kembali mengirimkan tatapan laser, matanya seolah mengatakan “ini di luar kontrolku, itu pelangganmu”.
“Minta transfer uangnya!” aku menyerah. Demi kemaslahatan umat manusia, lebih baik aku menuruti pelanggan gila ini.
“Dia sudah membayar untuk semua pesanannya,” Karla menunjuk bukti transfer yang dikirim oleh pelanggan gila itu.
Mataku membesar melihat nominal uang yang baru saja masuk. Jumlah nol di belakang angka pertama membuatku nyaris tersedak. Itu lebih dari cukup untuk membeli semua kue paling mahal toko ini.
“Kak...,” suara Karla mulai terdengar takut.
“Apa?” suaraku keluar dengan sengit.
“Dia minta kau yang mengantarkannya sendiri.”
“Oh, Tuhanku!” aku meremas rambut frustasi. “Batalkan!”
“Uangnya kan sudah di transfer, tidak bisa di batalkan.”
“Aku belum menentukan harganya, kita kembalikan uangnya,” kakiku melangkah lebar mendekati adikku.