Mohon tunggu...
Junior Tralalaaa Trililiiii
Junior Tralalaaa Trililiiii Mohon Tunggu... lainnya -

nggak suka kodok. terlalu mirip sama ikon yang agli ituhhh...(nunjuk monster biru yg picek atas)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kalau Sejati, Haruskah ‘Sempurna’?

19 Juli 2015   14:15 Diperbarui: 19 Juli 2015   14:15 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

RAYA & VITO

 

“Saya memang jauh dari sempurna. Bahkan tidak akan pernah mampu mendekati sempurna. Tapi saya sangat menyayangi kalian: mbak dan Akbar. Bukan salah saya kalau saya lahir 14 tahun lebih lambat dari mbak, kan?” Anak muda dihadapan Raya menatap matanya lekat. Meski pelan, suaranya terdengar tegas, bernada sedikit menggugat. “Beri saya kesempatan, mbak. Akan saya buktikan.”

Raya mengeluh dalam hati. ‘Anak kemarin sore’ di hadapannya ini ia akui memang sedikit ‘berbeda’. Tapi tetap saja, jarak usia belasan tahun bukan hal yang lazim dalam sebuah hubungan percintaan serius, kalau sang perempuan adalah pihak yang lebih tua. Apa kata seluruh dunia nanti?

“Padahal kita sudah membahas ini berkali-kali, Vito…” dihindarinya pemuda itu dengan sedikit menambah jarak pada posisi duduk mereka.

“…tapi mbak sendiri yang dulu bilang, usia seharusnya bukan jadi penghalang untuk sebuah niat baik!” Belum sempat Raya meneruskan, pemuda itu sudah memotong kalimatnya. “Niat saya terhadap mbak dan Akbar sangat baik. Jangan pedulikan usia saya. In syaa Allah saya sudah siap mengambil tanggungjawab yang sangat besar sekalipun.”

Meski tersanjung, Raya disesaki perasaan ragu. Entah apa isi kepala anak muda ini. Bukannya mau meremehkan, tapi memang ia tau apa tentang pernikahan? Jangan-jangan hanya untuk sekedar mengenali perbedaan antara cinta dan nafsu saja Vito belum mampu. Sadarkah kalau ia sedang berhadapan dengan perempuan berusia 40 tahun, berstatus janda, ibu dari seorang pemuda cilik berumur 10 tahun?

 

 

RAYA & WINA

 

“Kalau aku coba bantu menganalisa, sepertinya Vito memang murni jatuh cinta padamu, Ray, bukan karena punya motif-motif terselubung yang aneh-aneh,” Wina mencoba memberi masukkan pada sahabatnya. “Kalau dipikir-pikir, apa sih kurangnya dia? Masih muda, lumayan ganteng, masa depan karirnya juga cukup menjanjikan. Pintar dan berpotensi sukses pula. Bukan dari latar belakang broken home juga kan? Hubungan dia dengan ibunya yang aku tahu cukup baik dan harmonis, sepertinya secara kejiwaan dia normal-normal aja…”

“Justru itu yang menjadi sumber kebingunganganku paling besar, Win. Ngebayang nggak sih, kalau sampai ada pemuda baik-baik dan masa depannya cerah, kemudian tiba-tiba hidupnya jadi ‘berantakan’ dalam penilaian semua orang, cuma gara-gara dia bertemu, jatuh cinta dan kemudian nekad menikah dengan perempuan yang ‘salah’? Aku akan jadi seperti kutukan mimpi buruk dong…”

Wina tersenyum santai menanggapi. “Ya nggak gitu juga sih, tergantung kamu menilai dirimu sendiri seperti apa. Apa ada niat dan usahamu untuk ‘menjerumuskan’ dia dalam kesulitan?”

“Ya nggaklah! Sejujurnya aku juga surprise bisa merasa nyaman dan cocok bergaul dekat dengan anak semuda Vito. Awalnya aku bahkan nggak tau kalau umurnya baru 26, akhir tahun ini. Aku pikir setidaknya dia sudah sedikit diatas 30an, mengingat gaya dan cara berpikirnya yang cukup matang...”

“Itulah. Dan aku yakin dia juga pasti kaget setengah mati dong saat tau usiamu ternyata jauh lebih dewasa? Sudah punya jagoan umur 10 tahun pula! Tapi apa kemudian dia jadi menarik diri dan memilih menjauh? Di matanya, kamu tetap perempuan menarik yang ia sukai, tak peduli berapapun usiamu. Baginya, kamu cerdas tapi nggak pernah berkesan menggurui. Dewasa tapi nggak suka ngatur. Dan tampangmu itu lho, siapa juga sih yang sanggup menyangka kalau usiamu sudah 40 tahun?” Wina sedikit menggoda.

“Dan itu aneh sekali kan Win? Setelah tau keadaanku, kenapa dia malah justru semakin serius menginginkan kami, aku dan Akbar? Apa sih maunya anak itu?”

“Kalau kamu nggak keberatan aku bicara apa adanya, terus terang awalnya aku juga terheran-heran, sedikit kesal malah. Nggak sudi dong lihat temanku yang mapan ini jadi target brondong nggak jelas…” Wina tertawa kecil. “Tapi kenyataannya Vito bukan tipe anak muda yang punya niat buruk di belakang manis sikapnya. Pernah dia berusaha mengambil keuntungan materi darimu?”

“Vito nggak pernah meminta materi apapun. Pernah sekali aku tes dengan menawarkan sesuatu, tapi dia justru tersinggung. Nggak perlu katanya, karena dia sudah punya lebih dari cukup. Bingung aku, Win. Atau mungkin dia punya kecenderungan suka pada wanita yang jauh lebih tua?”

I don’t know… maybe. Or maybe not. Tapi kalaupun iya atau enggak, memangnya kenapa?”

“Hmmm.. anyway, bantu bicara padanya supaya dia mau menjauhi kami ya Win? Meskipun aku dan Akbar juga sangat menyayanginya, tapi rasanya kami wajib menolak…”

 

 

VITO & WINA

 

“Apa salah saya, mbak? Seandainya ada norma hukum, moral, kesopanan atau agama yang saya langgar, mohon beritahu. Baru saya akan mundur…"

“Yang kamu langgar adalah norma kelaziman, Vito. Terlalu aneh bagi masyarakat kita yang terbiasa menganggap laki-laki selayaknya jadi pihak yang “lebih tinggi” dari perempuan dalam hal apapun.”

“Tapi saya mencintai mbak Raya dan Akbar. Untuk apa menyenangkan hati semua orang dengan mengorbankan kebahagiaan diri sendiri? Apa mereka peduli pada perasaan kami?”

“Bagaima dengan keluargamu? Orangtuamu mungkin tak siap…”

“Saya akan bantu mereka memahami. Bukan hal yang sulit bagi seorang muslim untuk menerima sebuah takdir, meskipun awalnya sedikit kaget kan."

“Pernah coba bersimulasi dan membayangkan seandainya kamu ada pada posisi Raya? Karena dia nanti yang akan lebih banyak menerima tatapan sinis orang-orang..”

“Seandainya memang ada, mbak Raya boleh melimpahkan semua pendapat negatif itu pada saya. Saya bisa menanggung bagiannya dan bagian saya sendiri juga. Toh tak akan lama, karena semua prasangka yang salah akan segera terpatahkan.”

“Padahal ada banyak teman perempuan yang seusia denganmu, boleh tau apa alasanmu memilih Raya yang jauh lebih tua?”

“Saya tidak merasa memilih. Mbak Raya dan Akbar seperti sudah ada dalam jalur takdir saya. Saya hanya dengan tulus bersedia berjuang mengikuti alirannya..”

 

 

WINA & RAYA


“…tapi aku jadi merasa seperti ‘nggak tau diri’. Hidup kami bisa-bisa seramai pertunjukkan sirkus dengan aku yang akan jadi badut utamanya. You know, kan? Seperti kasus Yuni Shara dan Raffi Ahmad dulu…”

“Belum tentu. Not like them, you’re not living in the ‘zoo’. Kisah hidupmu bersama Vito mana laku sih dijual di infotaintment atau di acara-acara TV bergaya kampungan yang host-nya hobi saling melecehkan dan membuka-buka aib diri sendiri demi kelihatan (seolah-olah) lucu? Lagi pula, tau nggak apa perbedaan paling mendasar dari kondisi kalian dengan kasus Yuni Shara dan Raffi Ahmad dulu?”

What?

“Karena kalian (akan) menikah. Sementara mereka hanya pacaran. See? Pernikahan tidak akan terjadi kecuali Tuhan mengijinkan. Memangnya beberapa banyak sih manusia di sekeliling kalian yang merasa know the best, better than God?”

 

(For someone: be brave. Kadang-kadang cinta hadir dengan wajah yang nggak sesempurna khayalan, sekedar untuk membuktikan bahwa dia ‘sejati’. Untuk referensi, coba deh baca-baca kisah cinta Rasulullah bersama Siti Khadijah…)

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun