"Lho piye toh, itu Gi'an apa bisa main?" tanya Eyang Putri Mejah
Asto menjawab: " Seluruh pengamat sepakbola yang mumpuni di kelurahan kita, menyatakan, dari hasil pertandingan uji coba dan persahabatan, kesebelasan PG sangat hebat. Mereka diperkirakan akan menang".
Di kelurahan Nusa Antara memang ada 7 sampai 8 pengamat sepakbola yang selama ini terbukti keandalannya. Selama ini, hasil pengamatan mereka tidak jauh meleset dari kenyataan.
"Iya, ini kan masih ada beberapa bulan, tenang saja, coba latih dengan baik lagi kesebelasan Gama", Eyang Putri Mejah berusaha menutupi kegelisahannya dengan bijak. "Kita lihat lagi perkembangannya dalam satu-dua bulan ini", lanjutnya.
"Baik, Eyang Putri, saya permisi", jawab Asto dengan takzim sambil membungkuk, membalikkan badan dan meninggalkan ruangan Eyang Putri Mejah.
Eyang Putri Mejah mengarahkan pandangannya ke jendela, ke arah lapangan rumput hijau dan ke bangunan-bangunan merah di luar. Bangunan-bangunan merah itu adalah kandang-kandang kerbau miliknya.
"Hm..., kamu lupa diri Jaka! Kamu dulu adalah petugas peternakanku, aku angkat kamu jadi ketua panitia lomba menggambar, aku juga yang mengangkat kamu jadi ketua panitia pembersihan gorong-gorong, hingga menjadi lurah. Tapi sekarang kau membalas dengan cara begini?", batinnya.
Jaka, Ayah Gi'an, Â lurah Nusa Antara saat ini dulu memang adalah pekerja di peternakan kerbau Eyang Putri Mejah.
Pandangan Eyang Putri Mejah makin menerawang jauh, pikirannya berkecamuk, muka tuanya berkerut-kerut, entah apa lagi yang ada di dalam pikirannya saat itu.
Di tempat lain, di sebuah kantor bertingkat di pusat kelurahan, Suta Salo tersenyum dan mengelus janggut saat menerima laporan dari Hamis, kapten kesebelasan Amin.
"Ya ndak apa-apa Mis, kalau kata pengamat kamu nanti kalah, yang penting kamu usaha keras kembalikan hutang, ya? Lama ndak apa-apa, cicil, saya ini pengusaha, pengusaha anti kehilangan uang! Mengerti Mis?"