Mohon tunggu...
Suripman
Suripman Mohon Tunggu... Akuntan - Karyawan Swasta

Pekerja biasa, menulis alakadarnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] "Maaf, Saya Melempar Kacang ke Sungai"

24 Maret 2017   18:10 Diperbarui: 21 Oktober 2022   12:59 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: http://cliparting.com/free-river-clipart-35640/

Sore

Dengan muka ketakutan, Andi, seorang bocah berumur 10 tahun menemui Pak Kosim, satu-satunya guru yang masih setia mengajar di desanya. Guru-guru yang lain tidak pernah betah di desa ini. Maklum listrik belum masuk, belum lagi jaraknya yang jauh dari kota kecamatan. Dan jalan menuju desa hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 2 jam lebih.

Sebagai satu-satunya guru, Pak Kosim menikmati kehormatan dan penghargaan yang tinggi dari semua penduduk desa. Setiap ada masalah atau ada rencana acara, Pak Kosim selalu ditemui untuk diminta pendapatnya. Dan biasanya, Pak Kosim selalu memberikan jalan keluar terbaik buat setiap persoalan.

Dengan santai Pak Kosim memandang Andi yang tertunduk takut.

“Ada apa Andi?”

Andi sebagaimana anak-anak lain di desa sangat takut sekaligus hormat kepada Pak Kosim. Dengan suara kecil hampir tidak terdengar, dia melanjutkan kalimatnya, “Saya disuruh Bapak untuk menemui Pak Kosim, untuk minta nasehat.”

 “Hmm, kamu nakal lagi? Berkelahi lagi?

“Ng…nggak Pak.”

“Terus kenapa?”

“Maaf Pak, saya…, saya tadi melempar kacang ke sungai, Pak,” lanjut Andi

Pak Kosim menghela napas. Dia ingat tadi pagi memang mengajarkan soal kelestarian alam dan pencegahan bencana, termasuk bencana banjir. Dia melarang keras anak-anak membuang benda apa pun ke sungai di sebelah sekolah.

“Ya sudah, lain kali jangan ulangi ya?”

Andi terperanjat, seperti kaget dengan jawaban singkat Pak Kosim, dan segera pamit. Dia permisi, lalu membalikkan badan dan berlari pulang. Pak Kosim menggeleng-gelengkan kepalanya sebentar, lalu melanjutkan membaca majalahnya.

Baru berselang dua menit, Pak Kosim kembali didatangi Bowo, teman satu kelas Andi. Sama seperti Andi, Bowo juga menunduk ketakutan.

“Kenapa, Wo?” tanya Pak Kosim. Ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, pernah dalam satu hari ia didatangi lima hingga sepuluh anak-anak di desa itu. Biasanya karena berkelahi dan kenakalan-kenakalan kecil lainnya. Anak-anak ini datang karena diperintahkan oleh orang tua mereka. Orang tua anak-anak ini yakin sekali jika Pak Kosim dapat memberikan pengarahan yang terbaik buat anak-anak mereka.

“Saya minta maaf, Pak, tadi saya ikut melempar kacang ke sungai,” Bowo dengan suara pelan menjawab.

“Oh… itu, Bapak kan sudah sampaikan tadi pagi, jangan membuang benda apa pun ke sungai? Ya sudah, sekarang pulang dan kerjakan PR dari Bapak!” tegas Pak Kosim.

“Benar Pak? Saya tidak dihukum?” tanya Bowo.

“Karena kamu jujur, dan kesalahan kamu juga tidak terlalu besar, Bapak tidak hukum,” lanjut Pak Kosim.

Bowo pun pamit dan bergegas pulang. Tiga menit kemudian, Arif dan Farid, yang juga teman satu kelas Andi dan Bowo datang menemui Pak Kosim.

Kali ini Pak Kosim yang memulai percakapan. Ia sudah pengalaman, biasanya anak-anak desa ini melakukan kegiatan bersama-sama, maklum namanya desa kecil.

“Ah…, kalian juga membuang kacang ke sungai? Sudah Bapak ampuni dan maafkan, sekarang segera pulang dan kerjakan PR!” Pak Kosim ingin ini segera selesai agar dia dapat melanjutkan membaca majalahnya.

Arif dan Farid saling pandang. Arif menyenggol Farid dan mendorongnya sedikit ke depan. Farid gelagapan dan berkata perlahan, “Tadi, saya dan Arif menggigit kacang, kemudian bersama Andi dan Bowo melemparkannya ke sungai, kami minta maaf, Pak.”

“Ya… ya... ya, saya sudah tahu, sekarang pulang! Bapak banyak kerjaan!” jawab Pak Kosim tidak sabar.

“Gitu aja, Pak?” tanya Arif.

“Lha, apa lagi? Cukup begitu saja, pulang cepat,” tegas Pak Kosim.

Kedua anak itu lalu permisi dan berlari pulang. “Ada-ada saja,” batin Pak Kosim.

Malam

“Pak Kosim…., Pak Kosim…!”

“Sebentar Pak Kadus,” Pak Kosim familiar sekali dengan suara serak Pak Kepala Dusun. Dan memang sudah biasa Pak Kepala Dusun menemuinya. Ia bergegas membuka pintu.

Pak Kadus tidak sendirian, ia bersama seorang laki-laki paru baya, satu wanita dan seorang anak berumur sekitar 9 tahun.

“Ada apa, Pak Kadus?”

“Ini saya mau mengenalkan warga yang baru pindah ke dusun kita,” kata Pak Kadus.

“Oh, silahkan... silahkan, Pak,” lanjut Pak Kosim gembira.

“Permisi, Pak, nama saya Jarwo, ini istri saya Sutini, dan yang kecil ini anak saya,” kata laki-laki itu sambil mengulurkan tangan ke Pak Kosim.

“Sebenarnya kami sudah sampai tadi siang, cuma baru bisa datang menemui Pak Kosim sekarang,” lanjut Pak Jarwo.

“Oh, gak apa-apa…. Selamat datang di dusun kita, Pak. Saya biasanya dianggap paling bijaksana di dusun ini dan selalu dimintai pendapat. Jika nanti Pak Jarwo ada masalah atau kesulitan, boleh datang ke sini, saya dengan senang hati membantu,” dengan bangga Pak Kosim menjabat tangan Pak Jarwo.

Lalu Pak Kosim melirik ke anaknya Pak Jarwo, dan bertanya, ”Siapa namamu, Nak?”

“Nama saya, Kacang, Pak.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun