"Kami juga berpikir penagihan dengan debt collector akan kami kaji ulang, bisa-bisa kami larang," ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso pada acara bertajuk Pinjaman Online Legal atau Ilegal: Kebutuhan Masyarakat dan Penegakan Hukum. (CNN Indonesia, Jumat/11/2/2022, 17:04).
Debt Collector Dilarang Menagih ke Domisili Debitur
SEKARANG terasa ada sedikit perbaikan. Debt Collector mulai paham bahwa menagih pada hari Sabtu dan Minggu  atau menagih pada hari Senin sd Jum'at antara pukul 20.00 malam sampai pukul 7 pagi adalah kesalahan. Orang yang terjerat rentenir dan keluarganya sebaiknya berangkat keluar dari rumah sejak pukul 6  pagi dan  pulang setelah pukul 8 malam. Hari Sabtu dan Minggu menjadi hari luang dan agak tenang karena bebas dari kedatangan Debt Collector.Â
Dulu sebelum Otoritas Jasa Keuangan mengaturnya. Debitur yang terjerat utang sangat merasa tersiksa. Semua harta benda sudah dijual tetapi tetap saja tidak mampu melunasi utang. Lebih celaka lagi kalau berutang kepada lebih dari satu Kreditur. Sehari bisa didatangi oleh 5 penagih!. Istri dan anak-anak tidak mau tinggal dirumah. Keluarganya hanya bisa berkumpul pada tengah malam saja. Pagi buta terpaksa harus pergi lagi. Yang penting keluar dari rumah. Padahal ketika usaha Debitur berjalan baik, merekalah yang memberikan kontribusi keuntungan bagi lembaga keuangan, tetapi ketika usaha menurun malah ditekan dan dibuat malu begitu rupa sampai mereka betul-betul tidak bisa bangkit lagi.Â
Pemikiran Wimboh Santoso agar penagihan dengan Debt Collector dilarang adalah ide bijaksana. Â Gagasan yang lahir dari pemimpin OJK yang pekerjaannya mengurus lembaga keuangan. Suatu lembaga yang terkesan hanya fokus menghimpun dana lalu menyalurkannya kepada masyarakat agar lembaga keuangan itu mendapatkan keuntungan jangka pendek. Â Keuntungan finansial di satu pihak tetapi dapat mengakibatkan bencana kerugian finansial dan sosial bagi pihak lainnya. Â Ide Wimboh Santoso itu tentunya tidak terbatas hanya untuk Pinjaman Online (Pinjol) melainkan bisa diterapkan pula di semua lembaga keuangan.Â
Semoga Om Wimboh Santoso, selalu diberikan kesehatan. Aamiin...
Tentang Hak Asasi Manusia
Pengaturan tentang Hak Asasi Manusia diatur secara rinci pada Pasal 28A sampai dengan 28 J UUD 1945. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semoga kelak saya uraikan lebih lanjut dasar hukum mengapa OJK harus melindungi Debitur Macet dan Write Off. Â
Sebenarnya OJK telah berupaya membuat regulasi tentang tata cara melakukan penagihan utang. Namun regulasi itu belum berpihak kepada hak-hak Debitur sebagai konsumen. OJK hanya mengatur tentang kewajiban Kreditur melalui Debt Collector dalam melaksanakan tugasnya: memakai identitas resmi, tidak boleh mengancamkekerasan/mempermalukan debitur, kekerasan fisik atau verbal, menagih kepada pihak yang bukan berutang, serta tidak boleh menteror. Tentu saja pengaturan seperti itu tidak memberikan ancaman  signifikan kepada kreditur dan perusahaan Debt Collector yang melanggar.Â
Dalam regulasi tersebut OJK memberikan solusi bahwa Debitur dapat melakukan pengaduan kepada OJK dan/atau Kepolisian. Solusi ini sifatnya  normatif sehingga tidak efektif.  Sebaiknya OJK memiliki program :Â
"Memberikan perlindungan kepada Debitur Macet dan/atau write off agar memiliki kesempatan berusaha dengan tenang untuk bangkit kembali mencari penghasilan yang layak dan mampu menyisihkan sebagian keuntungan untuk melunasi utangnya". Â
Keberpihakan OJK kepada Debitur hari ini sangat dibutuhkan, karena  Debt Collector  melakukan penagihan intensif tidak hanya kepada Debitur Macet melainkan pula pada Debitur yang masih kategori Lancar (L) / terlambat 1 bulan, Dalam Perhatian Khusus (DPK) atau Diragukan (D).  Hal ini mengakibatkan  kondisi keuangan Debitur semakin turun karena terpaksa harus membayar tagihan cicilan kredit sesuai permintaan Debt Collector walaupun bersumber dari modal usaha. Pada akhirnya Debitur tidak punya kemampuan keuangan sama sekali. Â
Padahal faktanya, Perusahaan Debt Collector mendapatkan keuntungan finansial karena dianggap berhasil menagih utang. Ironisnya perusahaan jasa penagihan itu pula yang mempercepat pemburukan kolektibilitas Kreditur dari Lancar menjadi Macet.  Sedangkan korban yang mengalami nasib paling  tragis adalah Debitur karena kesulitan bangkit memulai usahanya kembali.
Hubungan Kreditur dan Debitur
Perjanjian kredit antara Kreditur dan Debitur berlaku sebagai undang-undang sebagaiman asas pacta sunt servada atau sesuai  Pasal 1338 KUH Perdata. Kekayaan Debitur berupa tanah/bangunan dan/atau hak/benda lainnya beralih menjadi hak kreditur untuk dijual atau dilelang. Bahkan harta yang ada dan akan ada menjadi jaminan utang Debitur sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 - 1132 KUH Perdata atau apabila Kreditur belum puas maka bisa meminta hakim menyatakan bahwa utang debitur termasuk bundel harta waris yang harus diperhitungkan oleh para ahli warisnya.  Begitu kuatnya kedudukan Kreditur dalam peraturan perundang-undangan, kenapa masih belum puas? Sampai  rela mengeluarkan biaya besar untuk membayar jasa Debt Collector. Kreditur tidak peduli bahwa cara seperti itu akan membuat malu Debitur dan keluarganya.
Bagaimana jika kredit tidak mensyaratkan agunan? Mekanismenya sudah jelas. Kredit wajib melakukan pengalihan risiko kepada Perusahaan Asuransi dan Re-asuransi atau Perusahaan Penjaminan dan Re-penjaminan. Sistem pengelolaan risiko yang baik ini melindungi Kreditur agar tidak mengalami kerugian. Selain itu, tidak cukup dengan pengalihan risiko. Jika terjadi kredit bermasalah maka Kreditur wajib membentuk cadangan secara bertahap. Sehingga saat kualitas kredit menjadi Macet maka lembaga keuangan wajib menyisihkan dana sebesar 100% . Dan jangan lupa, masih terdapat penggantian dana dari perusahaan asuransi / penjaminan kredit. Artinya OJK sudah menciptakan sistem agar operasional lembaga keuangan selalu aman berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Fakta membuktikan, bahwa Lembaga Keuangan selalu berlimpah keuntungan. Bahkan return on equity (ROE) diatas 10%.  Remunerasi dan fasilitas kesejahteraan para pengurus dan pegawai Lembaga Keuangan masih yang terbaik di negeri ini.  Tapi mengapa strategi penyelesaian kredit bermasalah selalu memprioritaskan penagihan oleh Debt Collector ke lokasi domisili debitur? Bahkan seringkali melakukan perampasan kendaraan jaminan secara paksa.  OJK tidak cukup hanya memberikan saran agar Debitur menyampaikan pengaduan kepada OJK atau Kepolisian. Harus ada terobosan.
Semoga Mahendra Siregar Ketua OJK saat ini  dapat merealisasikannya...
Debt Collector Dilarang
Kembali kepada pernyataan Wimboh Santoso diatas yang menyatakan"bisa-bisa dilarang". Â Artinya ingin melarang tetapi belum memiliki referensi bagaimana cara melarangnya. Orang awampun tahu, minimal sebagai berikut:Â
Pertama, satukan dulu persepsi antara OJK, Kreditur dan Debitur bahwa sebagian besar kredit macet disebabkan oleh suku bunga tinggi yang menjerat Debitur dan diperparah dengan Pandemic Covid-19.
Kedua, bahwa mitigasi risiko kredit Macet telah diantisipasi melalui kewajiban pembentukan cadangan pada lembaga keuangan.
Ketiga, Â bahwa mitigasi risiko kredit Macet wajib dialihkan melalui perusahaan asuransi dan/atau penjaminan kredit. OJK perlu memberikan perhatian khusus terhadap broker, Â perusahaan asuransi dan penjaminan kredit. Banyak sekali permasalahan yang berpotensi memenuhi unsur pidana terutama Pasal 2 Â atau Pasal 3, Â dan Pasal 12a UU 31/1999 jo. UU 20/2001 Â tentang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
Keempat,  perhatikan penggunaan dana corporate social responsibility lembaga keuangan.  Dana ini dapat dapat digunakan untuk aktifitas literasi dan inklusi keuangan dalam rangka membantu membangun kembali usaha Debitur produktif yang Macet  atau Hapus Buku (writeoff). Bukan digu akan untuk kepentingan politik pemimpin daerah yang merupakan representasi dari bank milik negara dan/atau milik daerah.
Kelima, perhatikan proses pengadaan Perusahaan Jasa Debt Collector dan  telusuri aliran keuangannya. OJK berpeluang secara aktif membentuk tim khusus bersama PPATK dan KPK. Dibutuhkan personil OJK yang memahami Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, serta memahami Hukum Acara Perdata dan Pidana untuk menemukan "special business" yang  diduga sering terjadi pada unit ini.Â
Keenam,  mendorong Lembaga Keuangan untuk menggunakan Perma No. 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perma No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana (small claim court) secara masif diseluruh kota/kabupaten. Gugatan Sederhana melalui Pengadilan Negeri setempat ini merupakan alternatif  solusi yang dianggap adil untuk menyelesaikan permasalahan cedera janji Debitur di bidang perkreditan. Baik kredit dengan agunan atau pun tanpa agunan secara mudah, murah, cepat dan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).  Alternatif penyelesaian kredit melalui Gugatan Sederhana berpotensi meningkatkan nama baik dan kapasitas staf penagihan (Debt Collector) untuk beracara di Pengadilan layaknya seorang Advokat, walaupun tidak berpendidikan Sarjana Hukum.
Ketujuh, BI Checking atau SLIK adalah data OJK yang paling ditakuti oleh Debitur.  SLIK berpotensi membatasi aktifitas keuangan Debitur  sehingga mereka akan selalu berusaha membersihkan namanya. SLIK berpotensi menggantikan peran Debt Collector  karena sistem pembayaran online akan semakin meluas, menyebabkan Debitur Macet tidak bisa melakukan transaksi-transaksi tertentu.
Kedelapan, OJK dapat menginisiasi pembinaan, pendampingan usaha dan pameran khusus untuk Debitur Macet dan Write off dikolaborasikan dengan kegiatan literasi dan inklusi keuangan menggunakan dana corporate social responsibility lembaga keuangan.
Jika delapan butir alasan tersebut diatas masih belum cukup -nanti ditambah lagi kajian dari aspek: filosofis, aspek yuridis, aspek sosiologis dan aspek bisnis. Masih belum puaskah? Nanti kita buatkan juga  analisis strategis, road map, bisnis model.  Ataukah masih belum paham? Nanti dikirim ayat-ayat kitab suci, hadist dan pendapat para ahli agama agar masuk kedalam hati sanubari.
Semoga nanti OJK berani mengatakan Perusahaan Jasa Debt Collector "HILANG",  bukan "bisa-bisa dilarang" karena Debt Collector ditengarai lebih banyak mudharat dibandingkan manfaatnya bagi lembaga keuangan, masyarakat dan pemerintah.
Peluang OJK Untuk Indonesia Lebih Baik
Kolaborasi OJK dengan PPATK dan KPK melalui pendekatan penegakan hukum berpeluang mempersempit ruang bisnis penagihan yang dilakukan oleh Perusahaan Penyedia Jasa Debt Collector.  Sudah saatnya OJK membangun ekosistem tata kelola  usaha jasa keuangan yang baik berdasarkan kebutuhan Konsumen. Â
Pembangunan hukum atau kebijakan OJK saat ini cenderung diawali dari perlindungan bisnis Pelaku Usaha Jasa Keuangan,  kemudian mengakhirinya dengan memanfaatkan kekuatan Debt Collector.  Alangkah baiknya kebijakan OJK diawali dari aspek perlindungan Konsumen terlebih dahulu, karena Konsumenlah yang sebenarnya mendorong kinerja Pelaku Usaha Jasa Keuangan.  Masyarakat merindukan regulasi dan rencana aksi yang memenuhi salah satu prinsip Good Corporate Governance yaitu keadilan untuk pihak Debitur dan Kreditur (fairness).  Dibutuhkan program terintegrasi  yang merupakan tindak lanjut dari pernyataan Wimboh Santoso, sehingga pernyataan Debt Collector "bisa-bisa dilarang" dapat berubah menjadi "Perusahaan Jasa Debt Collector Hilang".  Karena bisnis jasa Debt Collector dengan cara penagihan seperti  ini, suatu saat tidak akan efektif karena menimbulkan risiko kredit, risiko hukum dan risiko reputasi yang merugikan Lembaga Keuangan.
Semoga bisnis jasa membuat malu Konsumen seperti yang saya uraikan diatas akan hilang pada periode kepemimpinan OJK saat ini...Â
Semoga korban-korban negatif BI Checking/SLIK segera dipulihkan namanya agar bisa mendapatkan fasilitas pinjaman lunak dari lembaga keuangan lagi, seperti dulu...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H