Hatiku patah.
Dewi terlalu tenang dan itu membuatku marah. Marah padanya juga pada diriku sendiri. Bukankah kami telah melewati banyak ujian yang lebih menyakitkan dari ini? Mengapa ia harus menyerah secepat itu?
.
.
Dewi tak kunjung kembali seperti inginku. Perlahan, perubahan Dewi juga mulai dirasakan anak-anak kami.
"Bunda kenapa?"
"Bunda sakit?"
"Ayo ke dokter."
Pertanyaan serta ajakan itu hanya ditanggapi Dewi dengan senyum. Lalu semakin lama, bukan hanya aku yang kehilangan akar, tapi ranting, daun, bunga, serta bagian-bagian yang susah payah kubangun sekian tahun juga kehilangan sumber kehidupan mereka.
"Bunda baik-baik saja," jawabnya tiap kali salah seorang anak-anak kami bertanya.
Entah bagaimana cara mengembalikan Dewiku. Ia tak lagi menjadi akar yang ramah, mungkin dia telah kecewa denganku bersamaan dengan ranting, daun, serta bunga kami yang layu satu-satu. Kehilangan akar sama saja kehilangan hidupku. Aku tak lagi utuh dan telah mematahkan akarku sendiri, entah bagaimana agar akarku dapat bersatu lagi denganku.