Mendengarnya menyebut bungsu, jujur aku tak sanggup membayangkan seandainya Dewi meminta perpisahan. Aku tak ingin kehilangan akar, ranting, dahan, bunga, juga daunku. Tanpanya, aku sama saja mati perlahan.
"Dewi, maafkan aku."
Dewi mengulum senyum. Senyum yang di mataku terlihat sangat menyedihkan. Namun, Dewiku tetap tak menangis. Â Usai tersenyum, ia justru berlalu ke dapur dan menyiapkan makan malamku seperti biasa.
Setelahnya, Dewi tetap melayani dapur, sumur juga kasurku dengan baik. Perempuan itu terlalu pandai menyimpan lukanya sendiri dengan tak berubah sedikit pun, meski itu tentu saja hanya di depan daun, ranting, dan buah kami. Namun kala kami hanya berdua, perlahan tapi pasti Dewi telah menjadi sosok yang lain.
"Apa kau tidak bisa mengembalikan Dewiku?" tanyaku suatu malam. Biasanya Dewi akan memelukku, menjadikan salah satu lenganku sebagai bantal. Namun setelah malam itu, kebiasaan tidur kami pun telah berubah. Tak ada lagi dua pasang tangan yang saling mendekap.
Dewi tak menjawab. Aku memaksanya berbalik agar menghadapku.
"Dewi ...."
Dengan sepasang mata yang menatap pasrah, Dewi bergeming.
"Marahlah jika itu bisa membuatmu lebih baik." Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya.
"Kumohon ... kembalilah," pintaku setengah berbisik.
"Aku tak bisa," ucapnya pelan, mengusap pipiku, lalu kembali memunggungiku.