Mohon tunggu...
Rio Slamet Remanda
Rio Slamet Remanda Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Musisi

Pendidik, budayawan serta musisi di blitar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyesalan yang Terlambat

29 Juni 2021   12:44 Diperbarui: 29 Juni 2021   12:59 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penyesalan Yang Terlambat

Kami merupakan sepasang suami istri yang diumpamakan seperti pohon kecil. Istriku adalah akar yang setia memelukku dari belakang, memberikan semua yang kubutuhkan dan mengokohkanku. Saat kami masih dalam proses tumbuh, aku begitu kokoh sebagai tunas. Hama, cahaya matahari yang sedikit serta sedikitnya makanan yang disiapkan akarku bukan alasan untuk aku berhenti tumbuh. Aku adalah tunas paling bahagia, sebab akarku begitu setia meski apa yang kuberi tak sebanding dengan apa yang ia korbankan untukku.

Hingga bertahun-tahun kemudian, akhirnya kami tumbuh menjadi pohon dengan bunga yang memukau, daun lebat, dahan kokoh, ranting yang banyak, serta buah yang melimpah.

Benarlah kata orang bahwa ujian yang sesungguhnya adalah saat kau terbuai tanpa sadar. Bukan kesakitan melainkan sesuatu yang melenakkan. Sebagai pohon yang kokoh, aku terbuai oleh sepoi angin hingga melupakan akar yang senantiasa setia menemaniku.

"Apa kesetiaanku selama ini tak cukup untuk membuktikan bahwa aku layak?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari lisannya saat kekhilafanku terbongkar.

"Sayang, aku .... "

Bukan tak sanggup berkata-kata, melainkan aku tak punya jawaban sebagai pembelaan diri. Apa yang kulakukan terlampau salah. Aku berkhianat atas apa yang kami sepakati bertahun-tahun lalu saat pertama kali memutuskan hidup bersama: menumbuhkan kehidupan pohon yang lebih baik.

"Aku akan melakukan apa pun untukmu. Termasuk mati jika itu membuatmu bahagia" ucapnya hari itu.

Memang benar bahwa cinta dan kesetiaan dapat membuat orang melakukan apa pun termasuk mati. Namun, tak tahukah Dewi bahwa jika ia mati, tanpa tebasan pedang pun aku akan ikut mati bersamanya.

Semua pengkhianatan itu tentu bukan tanpa alasan. Dewi, akarku, terlalu tenang. Pohon kami terlalu indah. Dulu, yang kubutuhkan memang ketenangan ini. Entah mengapa, saat semua dalam genggaman aku justru kehilangan gairah untuk bertumbuh. Bersama akar-akar kecil itu, aku menemukan diriku yang lain. Diriku yang lebih hidup.

"Kupikir aku sudah sangat sempurna menjadi istrimu, Mas. Aku terlalu percaya diri selama ini. Buktinya, kau masih mencari pelukan pada wanita-wanita yang usianya justru lebih muda dari bungsumu."

Mendengarnya menyebut bungsu, jujur aku tak sanggup membayangkan seandainya Dewi meminta perpisahan. Aku tak ingin kehilangan akar, ranting, dahan, bunga, juga daunku. Tanpanya, aku sama saja mati perlahan.

"Dewi, maafkan aku."

Dewi mengulum senyum. Senyum yang di mataku terlihat sangat menyedihkan. Namun, Dewiku tetap tak menangis.  Usai tersenyum, ia justru berlalu ke dapur dan menyiapkan makan malamku seperti biasa.

Setelahnya, Dewi tetap melayani dapur, sumur juga kasurku dengan baik. Perempuan itu terlalu pandai menyimpan lukanya sendiri dengan tak berubah sedikit pun, meski itu tentu saja hanya di depan daun, ranting, dan buah kami. Namun kala kami hanya berdua, perlahan tapi pasti Dewi telah menjadi sosok yang lain.

"Apa kau tidak bisa mengembalikan Dewiku?" tanyaku suatu malam. Biasanya Dewi akan memelukku, menjadikan salah satu lenganku sebagai bantal. Namun setelah malam itu, kebiasaan tidur kami pun telah berubah. Tak ada lagi dua pasang tangan yang saling mendekap.

Dewi tak menjawab. Aku memaksanya berbalik agar menghadapku.

"Dewi ...."

Dengan sepasang mata yang menatap pasrah, Dewi bergeming.

"Marahlah jika itu bisa membuatmu lebih baik." Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya.

"Kumohon ... kembalilah," pintaku setengah berbisik.

"Aku tak bisa," ucapnya pelan, mengusap pipiku, lalu kembali memunggungiku.

Hatiku patah.

Dewi terlalu tenang dan itu membuatku marah. Marah padanya juga pada diriku sendiri. Bukankah kami telah melewati banyak ujian yang lebih menyakitkan dari ini? Mengapa ia harus menyerah secepat itu?

.

.

Dewi tak kunjung kembali seperti inginku. Perlahan, perubahan Dewi juga mulai dirasakan anak-anak kami.

"Bunda kenapa?"

"Bunda sakit?"

"Ayo ke dokter."

Pertanyaan serta ajakan itu hanya ditanggapi Dewi dengan senyum. Lalu semakin lama, bukan hanya aku yang kehilangan akar, tapi ranting, daun, bunga, serta bagian-bagian yang susah payah kubangun sekian tahun juga kehilangan sumber kehidupan mereka.

"Bunda baik-baik saja," jawabnya tiap kali salah seorang anak-anak kami bertanya.

Entah bagaimana cara mengembalikan Dewiku. Ia tak lagi menjadi akar yang ramah, mungkin dia telah kecewa denganku bersamaan dengan ranting, daun, serta bunga kami yang layu satu-satu. Kehilangan akar sama saja kehilangan hidupku. Aku tak lagi utuh dan telah mematahkan akarku sendiri, entah bagaimana agar akarku dapat bersatu lagi denganku.

Kini aku tak lagi terbuai oleh sepoi angin yang melenakanku. Dewiku kini hanya diam, entah ia masih marah kepadaku atau sudah memaafkankanku.

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun