Soal ketimpangan ekonomi, mencari kerja di kota Medan ini susah sekali asal kalian tahu wahai warga yang punya slip gaji dan tunjangan macam-macam. Apalagi jika punya catatan kriminal, seperti kata polisi bahwa pelaku kejahatan kebanyakan adalah residivis.
HRD yang rada malas itu selalu memagari dengan tinggi gerbang perusahaan tempat dia kerja. Harus sarjana, rajin menabung, bermuka alim, dan syarat-syarat konyol lainnya. Pelaku atau calon kriminal yang punya banyak bakat, langsung sirna harapannya untuk bertaubat ketika tak kuasa menembus pagar listrik perusahaan itu. Mereka ingin dites, tetapi di muka sudah tereliminasi oleh administrasi.
Polisi, Bobby, dan warga yang mementingkan diri sendiri, seperti tak mau paham dengan problematika itu. Mungkin mereka memang tak pernah merasakan susahnya mencari kerja ketika tak punya gelar akademik, orang dalam, uang agen, wajah yang cerah, dan yang paling menghina yaitu SKCK yang harus bersih.
Dengan fakta bahwa rerata perusahaan terlalu eksklusif, pelaku kriminal yang ingin hijrah jadinya mentok menjadi sopir angkot. Setidaknya mendaftar jadi sopir angkot tidak dibutuhkan ijazah mentereng serta SKCK. Tapi nahasnya, ketika mereka menjadi sopir angkot, kalian para warga memarahinya karena ugal-ugalan. Tidakkah kalian sadar bahwa itu satu-satunya pekerjaan yang bisa digarap?
Tentu tidak dibenarkan ugal-ugalan di jalan, tetapi jangan menyalahkan mereka sepihak kalau tak punya solusi yang bijak. Mereka begitu demi hidup dari hari ke hari: setoran! Misalnya mobil angkot yang kalian bawa mendapati saingan satu jurusan di depan dan di belakang. Pikiran survive kalian pasti akan berusaha mendahului yang di depan dan menjauh dari yang belakang agar penumpang tidak keburu habis; agar hidup kalian untuk hari ini bisa makan dan memberi uang jajan ke anak istri untuk esok hari. Maka kalau bijak, cobalah kalian berikan dulu solusi ke Bobby untuk urusan mencari makan di lapangan ini.
Alih-alih solusi win-win, sekarang Bobby malah merazia sopir angkot setiap hari. Dividiokan, viral, menjadi walikota idaman karena mendapat tepuk tangan meriah untuk ke sekian kalinya.
Kalau para pelaku atau calon kriminal tidak menjadi sopir angkot, ya paling-paling mereka menjadi tukang parkir. Dari sini bisa kita lihat bahwa mereka sangat berusaha untuk tidak (lagi) berbuat kriminal.
Tetapi nahas lagi, ketika menjadi tukang parkir, kita para warga si paling sempura sibuk mengeluh bahwa tukang parkir tak ubahnya pemalak atau pungli. Kita terus memojokkannya hingga mereka viral dan diolok-olok seantero negeri. Bobby pun menyambutnya dengan sweeping ke para tukang parkir, supaya makin dicintai warga.
Alhasil muncul kebijakan baru: Bobby mendigitalkan perparkiran. Sungguh itu sangat menyiksa para pekerja lepas yang banyak diisi oleh mantan atau yang rentan melakukan kriminal. Bobby berdalih bahwa kebijakannya itu akan menambah pundi-pundi kas daerah alih-alih ke kantong organisasi kepemudaan (organisasi para ketua/mafia yang menaungi pemuda-pemuda "unik").
Kita lantas senang, padahal Bobby baru saja memperkaya kota. Mending kalau ada timbal baliknya: menyalurkan bansos misalnya. Tapi jangankan bansos. Para kriminal itu bahkan tak terdata di Disdukcapil. Dan kalaupun terdaftar, pembagian bansos di Medan ini masih jauh panggang dari api. Pemerintah ingin memberantas mafia di jalanan, tapi seolah segan terhadap mafia di tubuh mereka sendiri.
Nah, sementara warga bersorak-sorai, si tukang parkir dan sopir angkot tadi balik atau menjadi tukang begal karena tak ada lagi apa pun yang bisa digarap.