Mohon tunggu...
Rio Nur Ilham
Rio Nur Ilham Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati

Bukan Basa-basi

Selanjutnya

Tutup

Medan Pilihan

Renungan Mengapa Kriminalitas di Medan Terus Tumbuh: Apa Kita Turut Melestarikannya?

4 Agustus 2023   13:17 Diperbarui: 4 Agustus 2023   13:26 1531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kejahatan oleh BAS, via Hukumonline.com

Nampaknya sudah menjadi aksioma kalau ibu kota Sumatera Utara, Kota Medan ini, adalah kota yang bertabur kesemrawutan, ketidakjujuran, serta kriminalitas. Gotham City julukannya oleh warga yang merasa bersih, terinspirasi dari kota fiktif dalam serial Batman.

Sebutlah sesuka hati: begal, sabu-sabu, pungli, penipu, sampai maling kelas teri. Di Medan semua itu bukan sekadar "ada" layaknya masalah umum kota besar, melainkan marak. Begitu parah sampai-sampai ada kalimat satire berbunyi, "Kalau khatam hidup di Medan, maka hidup di belahan bumi mana pun bukan lagi soal."

Mengapa demikian, jelas banyak jawabannya. Tetapi bagi rakyat egois seperti kita-kita ini, ditambah pejabat pencitraan, kompak hanya menyalahkan kelompok marginal nan kriminal sebagai penyebab tunggal mengapa Medan seperti neraka. Mungkin saking emosi kita lupa introspeksi diri.

Pertama-tama dalam ilmu kebijakan publik, rakyat tidak boleh disalahkan. Jadi, ketika kriminalitas tumbuh subur, seharusnya mata kita menyorot tajam ke pemerintah dulu alih-alih menghakimi si pelaku yang tentu saja bagian dari rakyat. Oke, silakan memaki pelaku, tetapi lakukan hal yang sama ke pemerintah supaya fair.

Tentu pemerintah! Karena pemerintah-lah yang bertanggung jawab menghadirkan keamanan dan kenyamanan kepada warganya. Pemerintah sudah kita beri segala yang dibutuhkan, mulai dari uang (APBD), aparat keamanan sebagai alat pencegah kejahatan (bukan sebagai tukang pukul yang semena-mena), dan kuasa membikin peraturan.

Pemerintah Medan di tangan Bobby malah ambil jalan pintas dengan memilih menembak mati pelaku kriminal, khususnya begal, ketimbang mencegah dan mengadilinya. Ini jelas membuktikan kalau Bobby sedang lepas tangan dari tanggung jawab. Dia seakan hendak menyingkirkan warganya yang menyimpang, yang padahal seharusnya dia bina. Dan atas alasan itu Bobby mendapat tepuk tangan karena dianggap pahlawan.

Sadarlah wahai Bobby dan kita-kita yang tahunya menghakimi, pembegal ada dan marak juga karena hidup mereka tidak sejahtera. Mereka terpaksa merampok demi sesuap nasi. Logikanya kalau kecukupan, mereka tidak akan ambil risiko jadi penjahat, yang kalau gagal saat beraksi bisa berakibat mati diamuk masa atau polisi.

Oleh karenanya Bobby sebagai walikota gagal membawa kesejateraan seluruh warga. Jangan kabur dong, Bob. Jangan biarkan tangan Anda berlumuran darah...

Sekalipun dibilang kalau pembegal hanya foya-foya beli sabu---bukan untuk makan, tetap saja itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Maksudnya, kenapa warga seolah-olah dibuat gampang mencari sabu? Kalau bandar sabu masih tak bisa diberantas, ya jangan salahkan orang lain.

Ketahuilah bahwa hukum positif tak pernah menyasar para pemakai narkoba. Ya, walaupun hukum kita agak katarak saat membedakan mana pengedar dan pemakai. Tapi ini jelas masih kesalahan pemerintah---kali ini bukan Bobby, melainkan Menteri Yasonna yang sampai sekarang tak kunjung merevisi hukum anti-narkoba.

Mengapa warga yang tidak sejahtera akhirnya terjun ke dunia kriminal

Soal ketimpangan ekonomi, mencari kerja di kota Medan ini susah sekali asal kalian tahu wahai warga yang punya slip gaji dan tunjangan macam-macam. Apalagi jika punya catatan kriminal, seperti kata polisi bahwa pelaku kejahatan kebanyakan adalah residivis.

HRD yang rada malas itu selalu memagari dengan tinggi gerbang perusahaan tempat dia kerja. Harus sarjana, rajin menabung, bermuka alim, dan syarat-syarat konyol lainnya. Pelaku atau calon kriminal yang punya banyak bakat, langsung sirna harapannya untuk bertaubat ketika tak kuasa menembus pagar listrik perusahaan itu. Mereka ingin dites, tetapi di muka sudah tereliminasi oleh administrasi.

Polisi, Bobby, dan warga yang mementingkan diri sendiri, seperti tak mau paham dengan problematika itu. Mungkin mereka memang tak pernah merasakan susahnya mencari kerja ketika tak punya gelar akademik, orang dalam, uang agen, wajah yang cerah, dan yang paling menghina yaitu SKCK yang harus bersih.

Dengan fakta bahwa rerata perusahaan terlalu eksklusif, pelaku kriminal yang ingin hijrah jadinya mentok menjadi sopir angkot. Setidaknya mendaftar jadi sopir angkot tidak dibutuhkan ijazah mentereng serta SKCK. Tapi nahasnya, ketika mereka menjadi sopir angkot, kalian para warga memarahinya karena ugal-ugalan. Tidakkah kalian sadar bahwa itu satu-satunya pekerjaan yang bisa digarap?

Tentu tidak dibenarkan ugal-ugalan di jalan, tetapi jangan menyalahkan mereka sepihak kalau tak punya solusi yang bijak. Mereka begitu demi hidup dari hari ke hari: setoran! Misalnya mobil angkot yang kalian bawa mendapati saingan satu jurusan di depan dan di belakang. Pikiran survive kalian pasti akan berusaha mendahului yang di depan dan menjauh dari yang belakang agar penumpang tidak keburu habis; agar hidup kalian untuk hari ini bisa makan dan memberi uang jajan ke anak istri untuk esok hari. Maka kalau bijak, cobalah kalian berikan dulu solusi ke Bobby untuk urusan mencari makan di lapangan ini.

Alih-alih solusi win-win, sekarang Bobby malah merazia sopir angkot setiap hari. Dividiokan, viral, menjadi walikota idaman karena mendapat tepuk tangan meriah untuk ke sekian kalinya.

Kalau para pelaku atau calon kriminal tidak menjadi sopir angkot, ya paling-paling mereka menjadi tukang parkir. Dari sini bisa kita lihat bahwa mereka sangat berusaha untuk tidak (lagi) berbuat kriminal.

Tetapi nahas lagi, ketika menjadi tukang parkir, kita para warga si paling sempura sibuk mengeluh bahwa tukang parkir tak ubahnya pemalak atau pungli. Kita terus memojokkannya hingga mereka viral dan diolok-olok seantero negeri. Bobby pun menyambutnya dengan sweeping ke para tukang parkir, supaya makin dicintai warga.

Alhasil muncul kebijakan baru: Bobby mendigitalkan perparkiran. Sungguh itu sangat menyiksa para pekerja lepas yang banyak diisi oleh mantan atau yang rentan melakukan kriminal. Bobby berdalih bahwa kebijakannya itu akan menambah pundi-pundi kas daerah alih-alih ke kantong organisasi kepemudaan (organisasi para ketua/mafia yang menaungi pemuda-pemuda "unik").

Kita lantas senang, padahal Bobby baru saja memperkaya kota. Mending kalau ada timbal baliknya: menyalurkan bansos misalnya. Tapi jangankan bansos. Para kriminal itu bahkan tak terdata di Disdukcapil. Dan kalaupun terdaftar, pembagian bansos di Medan ini masih jauh panggang dari api. Pemerintah ingin memberantas mafia di jalanan, tapi seolah segan terhadap mafia di tubuh mereka sendiri.

Nah, sementara warga bersorak-sorai, si tukang parkir dan sopir angkot tadi balik atau menjadi tukang begal karena tak ada lagi apa pun yang bisa digarap.

Motto kota Medan dulu adalah bekerja sama dan sama-sama bekerja. Ada baiknya kita cari solusi untuk semua, bukan sekadar solusi ala pahlawan kesiangan

Masalah utama Medan adalah ketimpangan. Entah itu ekonomi atau pendidikan, ketimpangan sejujurnya lebih marak ketimbang kriminalitas. Sekarang lebih bagus warga saling mengerti sembari berharap Bobby membawa Medan ke arah yang dijanjikan. Tidak perlu kemaruk ingin membalas kekejian pelaku kriminal, apalagi sampai mendukung tindakan tembak di tempat. Serahkan saja yang begituan ke pengadilan, toh kriminalitas juga berkat kita semua.

Tapi ada persoalan juga di sini. Karena begitu dipenjara, kehidupan mereka mandek seketika. Negara ini masih memakai pola pikir menghukum ketimbang membina. Dan setelah dipulangkan, tidak dipikirkan bagaimana mereka hidup dari cara yang benar.

Beda di Amerika Serikat. Di sana pelaku kriminal yang dikembalikan ke publik akan menjadi tanggung jawab negara. Negara sangat paham bahwa sulit mencari pekerjaan bagi mantan warga binaan. Maka negara mengatur pekerjaan untuk mereka. Atau untuk orang-orang dengan keahlian tertentu bisa direkrut ke dalam aparat keamanan. Itu adalah kiat jitu agar mereka tidak terjerembap kembali ke jurang kriminal.

Di kita tidak. Warga binaan yang pulang ke publik malah jadi buah bibir, dipersulit mencari kerja, dan kalau perlu tidak diberi kesempatan untuk hidup lagi. Kita tidak sadar bahwa hukuman seperti ini akan membuat mereka balik lagi melakukan tindakan kriminal.

Warga +62 memang terkenal senang menghukum orang berkali-kali. Itulah fakta di negara yang katanya paling ramah-tamah di dunia...

~Rio

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Medan Selengkapnya
Lihat Medan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun