Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis JM Group

A proud daddy

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

ODHA Bukan Pendosa

7 Desember 2021   10:11 Diperbarui: 8 Desember 2021   19:09 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi (kompas.com)

Sebelum virus HIV dikenali atau ditemukan dan sebelum penyakit yang ditimbulkannya berhasil diidentifikasi, sindrom penurunan imun tubuh akibat infeksi virus tersebut disebut gay syndrome. 

Penyebutan tersebut berhubungan dengan latar belakang  para penderita awal yang terdeteksi tahun 1981 di komunitas pria homoseksual dan pengguna narkoba di Amerika Serikat.

Tiga tahun kemudian (1984) penyakit tersebut secara resmi disebut HIV-AIDS, setelah para ilmuwan berhasil mengidentifikasi AIDS dan virus penyebabnya yakni HIV. 

Itulah nama yang dikenal umum hingga sekarang dan kini kita memiliki sebutan lebih sopan terhadap para penyintas yakni ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS).

Akantetapi, konotasi negatif yang sudah termuat dalam penamaan pertama tersebut terus melekat hingga sekarang (4 dekade sejak penemuan kasus pertama), sekalipun berbagai data telah menunjukkan bahwa banyak ODHA adalah orang-orang biasa, seperti masyarakat pada umumnya, tidak memiliki perilaku-perilaku menyimpang secara sosial.  

Dari berbagai studi selama 4 dekade ini juga kita ketahui bahwa HIV-AIDS tidak mengenal jenis kelamin, suku, agama atau negara. Artinya para korban tidak hanya dari kalangan jenis kelamin tertentu atau oritentasi seks tertentu, tidak hanya dari suku, agama atau negara tertentu. 

Maka menggenalisir semua ODHA sebagai pelaku perbuatan menyimpang adalah tindakan tak berdasar serta tidak manusiawi sama sekali.

Mitos tentang Kutukan

Stigma paling mengerikan kepada ODHA berasal dari orang-orang yang beragama secara konservatif dengan cakrawala berpikir yang sempit. Mereka meyakini bahwa ODHA dikutuk Tuhan. Stigma tak manusiawi seperti ini telah muncul sejak kasus HIV-AIDS mendapat perhatian global.

Sebagai contoh, pada bulan Juli tahun 2000 dalam sebuah simposium internasional yang diadakan oleh forum keagamaan di Afrika, disampaikan bahwa penderita HIV-AIDS terinfeksi penyakit tersebut karena dosa-dosa mereka, dan mereka pantas mendapatkan penderitaan tersebut (Latifa dan Purwaningsih, 2011). 

Walaupun pernyataan gamblang seperti disampaikan dalam simposium tersebut tak pernah lagi kita dengar dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya perhatian global pada HAM kaum marjinal, masih banyak masyarakat (religius) yang memelihara stigma tersebut. 

Stigma tersebut terus tersebar hingga menyerupai mitos yang tidak pernah dipikirkan kebenaran dan konsekuensinya. Inilah salah satu sumber dari masih maraknya perlakuan diskriminatif terhadap ODHA.

Untuk menunjukkan bahwa stigma tersebut sungguh tak manusiawi, tak berdasar dan secara logis bertentangan dengan nilai-nilai agama, saya tertarik membuat sebuah illustrasi sederhana:

Seorang remaja putus asa terjerumus dalam pergaulan tak sehat sehingga menggunakn jarum suntik narkoba bersama teman-temannya. Dalam pertumbuhannya dia kemudian berubah, berhasil sembuh, melanjutkan pendidikan, mendapat pekerjaam halal, kemudian menikahi wanita baik-baik. Tanpa diketahuinya ternyata dia telah terifeksi HIV di masa remajanya yang suram. Istrinya yang tak mengetahui masa lalu suaminya juga akhirnya tertular dan mereka memiliki anak yang juga tertular virus tersebut.

Pertanyaannya, apakah istri dan anak dari lelaki tersebut juga dikutuk Tuhan? Saya tak yakin ada agama di dunia ini yang menjawab "ya" atas pertanyaan tersebut. 

Anak tersebut dilahirkan tanpa bisa memilih siapa yang menjadi ayah atau ibunya. Wanita tersebut juga menikahi pria yang nilainya orang baik karena memang tak pernah menunjukkan sifat-sifat buruk sejak dikenalnya. 

Apakah dia berdosa dan layak dikutuk karena menikahi pria yang dinilainya baik? Selanjutnya, apakah lelaki itu, yang telah menyadari kesalahannya, kembali ke cara hidup yang benar, adalah orang yang layak dikutuk juga?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sengaja diajukan di sini tanpa pretensi memasuki wilayah Teologi atau penafsiran ajaran agama manapun. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah upaya mengetuk nurani kemanusiaan kita sebagai insan beragama. 

Dengan nurani kemanusiaan tersebut, saya menyakini semua agama di dunia ini mengajarkan keberpihakan (preferential option) kepada para korban dan orang-orang yang menderita.

Dalam illustrasi di atas, anak, istri, bahkan lelaki tersebut adalah korban dari musibah yang datang di luar pengetahuan dan di luar kuasa mereka. Karena itu mereka juga adalah orang-orang yang menderita. 

Bukan saja karena penyakit yang ada dalam tubuh mereka benar-benar mendatangkan penderitaan fisik dan mematikan, tetapi juga karena upaya-upaya yang mesti mereka tempuh untuk bertahan dari penyakit tersebut mendatangkan penderitaan psikis akibat beban ekonomi dan sosial. 

Obat-obat yang harus mereka komsumsi sangat mahal dan seringkali langka seperti di masa pandemi ini sebagaimana diliput KOMPAS tahun lalu (08/07/20). Akses mereka ke fasilitas medis juga kerap lebih sulit dan pergaulan sosial mereka juga menjadi sangat terbatas. 

Akumulasi dari semua itu telah mendatangkan penderitaan yang sangat berat. Kepada orang-orang menderita seperti itulah semestinya orang-orang beragama menunjukkan dirinya sebagai tempat berlindung.

Mitos Penularan Melalui Hubungan Sosial

Stigma tak manusiawi tersebut kemudian diperparah informasi-informasi keliru yang terus diyakini masyarakat sebagaimana layaknya mitos. Di antaranya adalah informasi bahwa HIV dapat menular melalui interaksi sosial seperti berjabat tangan, duduk berdekatan, berbicara tatap muka dan sebagainya. Anggapan keliru ini membuat banyak orang enggan bergaul dengan ODHA.

Sesungguhnya telah banyak pemerhati kesehatan yang melakukan upaya-upaya pencerahan masyarakat untuk mengoreksi anggapan keliru tersebut. 

Pandu Riono, ahli Epidiomologi Universitas Indoenesia, dalam salah satu kolomnya di majalah Tempo (06/12/04) menekankan bahwa HIV bukan jenis virus yang mudah berpindah dari satu orang ke orang lainya. 

HIV tidak mampu bertahan di luar tubuh manusia. Maka perpindahan virus tersebut tidak mungkin terjadi hanya karena berjabat tangan apalagi duduk berdekatan.

Selain itu, kemajuan teknologi informasi juga memungkinkan kita mengetahui lebih banyak informasi valid tentang virus agar kita tidak terus meneruh hidup dengan mitos. 

Dalam salah satu website yang dikelola lembaga kesehatan, misalnya, diterangkan bahwa air liur dan air mata tidak termasuk medium penularan virus tersebut. 

Dengan demikian sangat tidak beralasan sama sekali menjauhi ODHA dengan alasan  menghindari penularan melalui interaksi sosial sehari-hari.

Sebagai penutup, artikel ini disusun dengan keyakinan bahwa dosa adalah urusan tiap pribadi dengan Tuhan. Tapi kepedulian sosial terutama terhadap mereka yang lemah dan menderita adalah urusan semua manusia. 

Dengan perspektif ini semestinya kita sebagai mahluk beragama menunjukkan simpati kepada ODHA dan menerima mereka sebagai bagian utuh dari masyarakat atau komunitas di mana kita hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun